Pihaknya sengaja membuat putusan agar legalisir dilakukan bersama-sama dalam rangka efektif, efisien dan transparansi. Kemudian dibuatkan berita acaranya dan rapat pleno atas mekanisme yang telah selesai tersebut. “Kenapa terjadi sengketa, karena pada waktu itu dilakukan sendiri-sendiri. Makanya kita buat bersama-sama agar prosesnya lebih transparan. Penyelenggara juga harus efektif dan efisien,” pungkasnya.
Pengamat Politik dari USU, Agus Suriadi mengatakan dari kasus ini memang perlu disikapi dengan matang dari aspek hukumnya. Tentu saja kata dia para ahli hukum bisa melihat sisi juridis atas putusan Bawaslu berkaitan dengan ijazah dan SKPI. “Kalau saya justru memandang kasus ini dalam konteks lain yakni dari sisi sosiologis politis, dimana jangan hanya karena penafsiran yang berbeda dari paslon dan penyelenggara pemilu, proses demokratisasi politik di Sumut menjadi tercoreng dan bermuara kepada konflik,” katanya.
Walau begitu, Agus sendiri tak yakin kasus ini bisa memicu konflik yang luas di masyarakat. Masyarakat Sumut ia nilai sudah sangat matang dalam menyikapi persoalan-persoanal ini. “Dan tentu saja diperlukan contoh teladan dan ketokohan dari JR apapun keputusan nanti yang akan diambil,” katanya.
Diketahui, Pasal 180 ayat (1) PKPU Nomor 3 Tahun 2017 berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menghilangkan hak seseorang menjadi Calon Gubernur/Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati/Calon Wakil Bupati, dan Calon Walikota/Calon Wakil Walikota, dipidana dengan: (-) pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan, (-) denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)”.
Sekaitan aturan main ini, menurut Agus, belum tentu upaya gugatan JR ke PTTUN adalah langkah meloloskan dirinya dari ‘lobang jarum’. Apalagi ada norma ada perubahan pada norma keputusan sengketa pemilu saat ini, bahwa putusan itu tidak final dan mengikat lagi, melainkan mengikat saja. Agus menilai tidak bisa melihat dari satu pasal saja. Tentu saja ada pasal tertentu yang berkaitan dengan syarat pencalonan.
“Karena persoalan ini sudah menjurus pada persoalan tafsir hukum, tentu saja segala persoalan yang berkaitan dengan JR serta penyelenggara pemilu diselesaikan dengan mekanisme hukum juga,” katanya,” pungkasnya. (prn/adz)