MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) kembali menghentikan penuntutan 2 perkara pidana umum melalui restorarive justice (RJ). Kedua perkara di antaranya, kasus penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sumut Yos A Tarigan mengatakan, dua perkara tersebut yakni dari Kejari Tanjungbalai Asahan dan Kejari Binjai.
“Dua perkara yang diusulkan adalah perkara penganiaayaan dan perkara kekerasan dalam rumah tangga disetujui oleh Jampidum,” ungkapnya, Sabtu (11/6).
Perkara pertama, kata dia, yang diusulkan dan disetujui adalah dari Kejari Tanjungbalai Asahan dengan tersangka Sangkot Marbun (50) dipersangkakan dengan Pasal 351 Ayat (1) KUHPidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. “Di mana, tersangka saat itu diduga terhasut dan sakit hati setelah mendengar cerita dari orang di warung bahwa ia disebut sebagai panangko (pencuri) oleh korban yang bernama Gumara Dihon Pasaribu (42) tak lain adalah tetangganya sendiri,” jelasnya.
Karena merasa tidak senang tadi, lanjutnya, tersangka langsung menganiaya korban di depan rumah korban. Setelah perkara ini bergulir ke Kejari Tanjungbalai, digagas untuk menghentikan penuntutannya berdasarkan Perja No 15 tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang mengutamakan pemulihan kembali kepada keadaan semula.
Perkara kedua, katanya, yakni tersangka Robonson Simarmata alias Robin (47) yang menampar pipi kanan saksi Desy Tiurnida Simatupang sebanyak satu kali dan memukul kepala isterinya sendiri dengan handphone.
“Perbuatan tersangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) atau Pasal 44 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dan setelah dimediasi, antara tersangka dan korban sudah sepakat untuk berdamai,” bebernya.
Pertimbangan dilakukannya penghentian penuntutan dengan penerapan RJ terhadap perkara ini karena perkara pertama, antara tersangka dan korban masih tetangga sebelah rumah dan perkara kedua adalah suami isteri.
“Kemudian, pertimbangan penghentian penuntutan ini berpedoman pada Peraturan Jaksa Agung No 15 tahun 2020 yaitu, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, jumlah kerugian dibawah Rp2,5, ancaman hukuman dibawah 5 tahun penjara, adanya perdamaian antara tersangka dengan korban dan direspons positif oleh keluarga,” terangnya.
Selain bertujuan untuk memulihkan keadaan semula, tambah Yos, antara tersangka dan korban sudah ada kesepakatan berdamai dan tersangka menyesali perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Proses pelaksanaan perdamaian juga disaksikan oleh keluarga, tokoh masyarakat dan tokoh agama serta difasilitasi oleh Kajari, Kasi Pidum dan jaksa yang menangani perkaranya. (man/azw)