30 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Jepang Tembaki Setiap Pemuda yang Terlihat…

67 Tahun Lalu, Ribuan Warga Tebingtinggi Dibantai (1)

13 Desember 1945 yang lalu ribuan warga Tebingtinggi dibantai Jepang. Kota perkebunan itu bak kota mati. Mayat bergelimpangan. Kini setelah 67 tahun berlalu, masih tersisa sedih bagi saksi hidup. Kemarin, kepada Sumut Pos mereka menceritakan apa yang dirasa dan dilihatnya.

SOPIAN, Tebingtinggi

SAKSI: M Suhanak saat ditemui .//sopian/sumut pos
SAKSI: M Suhanak saat ditemui .//sopian/sumut pos

Rumah di Jalan Bukit Bundar Lingkungan III kelurahan Lalang Kecamatan Rambutan Kota Tebingtinggi itu terlihat sederhana. Semipermanen. Luasnya rumah hanya 5×8 meter. Namun, rumah itu dimiliki seseorang yang memiliki pengalaman yang cukup panjang. Dia adalah M Suhanak alias Mamat Es. Lelaki itu kini berusia 84 tahun. Ya, dia adalah saksi hidup dari peristiwa berdarah di Tebingtinggi 67 tahun yang lalu.

Saat kejadian Suhanak berusia 17 tahun. “Sejak Jepang kalah perang dengan sekutu, kondisi tentara Jepang mulai mengalami kesulitan di Tebingtinggi. Terutama mereka yang menguasai hampir semua sektor perkebunan yang ada di sekitar Tebingtinggi. Pemuda di mana-mana mulai melakukan perampasan senjata dan memblokir jalan masuk menuju Tebingtinggi dari berbagai arah,” Suhanak mulai bercerita tentang peristiwa tersebut.

Lalu, tanpa diminta, lelaki tua itu langsung bercerita. Diterangkannya, sebelum terjadi pristiwa berdarah penyerangan besar-besaran tentara Jepang ke Tebingtinggi, pada tanggal 10 Agustus 1945 seluruh pemuda-pemuda yang tergabung dalam Pesindo melakukan penghentian rombongan tentara Jepang dari Medan menuju ke Limapuluh (sekarang masuk Kabupaten Batubara) tepatnya di Stasiun Kereta Api di Perlanaan. Saat itu sekira pukul 08.00 WIB, ratusan pemuda dan Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) menghentikan laju kereta api di Stasiun Tebingtinggi yang membawa rombongan bekas Gubernur Jepang Nakasima dengan dikawal sekitar 80 tentara jepang bersenjata lengkap.

“Rombongan Gurbenur yang akan melintas menuju Perlanaan dihentikan. Para pemuda kala itu meminta agar tentara Jepang menyerahkan seluruh senjata kepada barisan pemuda Pesindo,” katanya.

Karena tidak ingin terjadinya pertumpahan dara saat itu, pimpinan tentara Jepang meminta diadakannya perundingan dengan pemuda Pesindo. Menanggapi hal itu, Ketua Pesindo yang saat itu dijabat oleh RM Deblot Sundoro (tewas ditembak 13 Desember) melakukan rapat di Kantor Komite Nasional tepatnya di Jalan Sutomo yang kini menjadi Gedung Juang 45 Kota Tebingtinggi. Perundingan sangat alot, karena pihak Jepang tidak mau memberikan senjata api, granat, boyonet, pedang panjang samurai, dan ribuan amunisi senjata karabyn.

Hari menjelang malam, kondisi tentara Jepang beserta pimpinannya yang masih ditahan di salah satu gerbong KA di stasiun mulai mengalami kelaparan. Mereka memang belum makan dari siang hingga malam. “Akhirnya, pemimpin mereka memutuskan untuk memberikan semua senjata dan amunisi serta peralatan perang dengan melakukan barter.

Yakni, sebungkus nasi untuk setiap orang Jepang. Menanggapi permintaan itu, para pemuda kemudian mengumpulkan nasi bungkus yang diambil dari beberapa warung makan di kota. Setelah Jepang menyerahkan semua senjatanya kepada para pemuda, rombongan itu kemudian dilepaskan,” jelas Suhanak.

Esok harinya, 11 Desember 1945 pagi, Suhanak kembali melakukan penjagaan patroli di Simpang Beo dekat Kantor Camat Tebingtinggi (sekarang Jalan KL Yos Sudarso) dengan beberapa temannya seperti Idham, Ibrahim Hasibuan dan Mucthar (sudah meninggal). Saat itu Kota Tebingtinggi sepi dari lalu lalang tentara Jepang yang biasa keluar masuk untuk membeli berbagai keperluan.

“Siang itu sepi, tentara Jepang tetap bertahan di perkebunan-perkebunan seperti Kebun Bahilang, Kebun Sei Berong, Kebun Rambutan, Kebun Manaco, Kebun Pabatu, dan beberapa perkebunan di Kabupaten Deliserdang (sekarang masuk kabupaten Serdang Bedagai).

Mereka tidak berani keluar karena para pemuda telah memblokir jalan masuk menuju Tebingtinggi dengan menumbangkan pohon-pohon karet, drum, dan batu besar di tengah jalan,” ungkap Suhanak.

Hari berlalu, 12 Desember 1945 kondisi Tebingtinggi tetap lengang. Akhirnya pimpinan Jepang Kuzui yang bermarkas di Kampung Binjai Kebun Sei Berong sekitar 10 KM dari Tebingtinggi mengundang Amir Hamzah, pengurus Barisan Pemuda Indonesia (BPI) Tebingtinggi. Undangan ini terjadi pada tanggal 13 Desember 1945 pagi hari.

“Kata almarhum Amir Hamzah terjadilah kesepatakan bahwa seluruh pemuda-pemuda Tebingtinggi tidak akan melakukan pemblokiran jalan dan melakukan perampasan senjata dan melakukan pembantaian kepada tentara Jepang yang tidak mau menyerahkan senjatanya.

Hal ini disampaikan beliau di Kantor Komite Nasional dan Kantor Pesindo kepada para semua pemuda-pemuda. Maka, saat itu tenanglah kondisi para pemuda yang selama ini terus bergerilya melakukan patroli,” bilang Suhanak.

Sekira pukul 14.00 WIB, menurut laporan beberapa teman yang melakukan patroli di sudut-sudut titik jalan mau masuk ke Kota Tebingtinggi terlihat serdadu Jepang bersenjata lengkap berbaris memasuki kota. Mereka masuk melalui berbagai sektor, dari semua sudut penjuru seperti dari arah kebun Gunung Manaco, Dolok Masihul, Kebun Rambutan, Kebun Pabatu, Kebun Sei Berong, dan Kebun Paya Pinang.

Merasa sudah dilakukan perdamaian, para pemuda tidak ambil peduli dengan masuknya tentara Jepang. Saat itu pemuda menduga para tentara itu ingin berbelanja kebutuhan ke pasar di Tebingtinggi.

“Sekira pukul 14.30 WIB, ada laporan dari baris pemuda Pesindo terdengar dentuman meriam sangat keras di Paya Pasir. Informasinya tentara Jepang melakukan penyerangan ke Kota Tebingtinggi dengan menembaki semua pemuda yang terlihat. Saya sempat lari dari Kantor Pesindo sore itu. Pak RM Deblot Sundoro masih di dalam kantor. Puluhan tentara Jepang menembaki seluruh pemuda di Pesindo. Saya selamat kabur dari tembakan tentara Jepang.

Saya berlari sembunyi ke sebuah klenteng di Jalan Simalungun dan kemudian lari menuju rawa-rawa di Jalan Kartini. Keesokan harinya saya kembali ke rumah dengan menyamar nama menjadi Mamat ES,” kisah lelaki yang terdaftar dengan nama M Suhanak di Kantor Pesindo itu.

Mulai sore itu, 13 hingga tanggal 15 Desember 1945 ledakan senjata masih terdengar dari berbagai penjuru Kota Tebingtinggi. Suhanak semakin ketakutan. Dia bersembunyi di dalam rumah dan tak berani keluar. “Peristiwa selanjutnya kurang tahu persis, karena saya terus bersembunyi di dalam rumah,” akunya. (bersambung)

67 Tahun Lalu, Ribuan Warga Tebingtinggi Dibantai (1)

13 Desember 1945 yang lalu ribuan warga Tebingtinggi dibantai Jepang. Kota perkebunan itu bak kota mati. Mayat bergelimpangan. Kini setelah 67 tahun berlalu, masih tersisa sedih bagi saksi hidup. Kemarin, kepada Sumut Pos mereka menceritakan apa yang dirasa dan dilihatnya.

SOPIAN, Tebingtinggi

SAKSI: M Suhanak saat ditemui .//sopian/sumut pos
SAKSI: M Suhanak saat ditemui .//sopian/sumut pos

Rumah di Jalan Bukit Bundar Lingkungan III kelurahan Lalang Kecamatan Rambutan Kota Tebingtinggi itu terlihat sederhana. Semipermanen. Luasnya rumah hanya 5×8 meter. Namun, rumah itu dimiliki seseorang yang memiliki pengalaman yang cukup panjang. Dia adalah M Suhanak alias Mamat Es. Lelaki itu kini berusia 84 tahun. Ya, dia adalah saksi hidup dari peristiwa berdarah di Tebingtinggi 67 tahun yang lalu.

Saat kejadian Suhanak berusia 17 tahun. “Sejak Jepang kalah perang dengan sekutu, kondisi tentara Jepang mulai mengalami kesulitan di Tebingtinggi. Terutama mereka yang menguasai hampir semua sektor perkebunan yang ada di sekitar Tebingtinggi. Pemuda di mana-mana mulai melakukan perampasan senjata dan memblokir jalan masuk menuju Tebingtinggi dari berbagai arah,” Suhanak mulai bercerita tentang peristiwa tersebut.

Lalu, tanpa diminta, lelaki tua itu langsung bercerita. Diterangkannya, sebelum terjadi pristiwa berdarah penyerangan besar-besaran tentara Jepang ke Tebingtinggi, pada tanggal 10 Agustus 1945 seluruh pemuda-pemuda yang tergabung dalam Pesindo melakukan penghentian rombongan tentara Jepang dari Medan menuju ke Limapuluh (sekarang masuk Kabupaten Batubara) tepatnya di Stasiun Kereta Api di Perlanaan. Saat itu sekira pukul 08.00 WIB, ratusan pemuda dan Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) menghentikan laju kereta api di Stasiun Tebingtinggi yang membawa rombongan bekas Gubernur Jepang Nakasima dengan dikawal sekitar 80 tentara jepang bersenjata lengkap.

“Rombongan Gurbenur yang akan melintas menuju Perlanaan dihentikan. Para pemuda kala itu meminta agar tentara Jepang menyerahkan seluruh senjata kepada barisan pemuda Pesindo,” katanya.

Karena tidak ingin terjadinya pertumpahan dara saat itu, pimpinan tentara Jepang meminta diadakannya perundingan dengan pemuda Pesindo. Menanggapi hal itu, Ketua Pesindo yang saat itu dijabat oleh RM Deblot Sundoro (tewas ditembak 13 Desember) melakukan rapat di Kantor Komite Nasional tepatnya di Jalan Sutomo yang kini menjadi Gedung Juang 45 Kota Tebingtinggi. Perundingan sangat alot, karena pihak Jepang tidak mau memberikan senjata api, granat, boyonet, pedang panjang samurai, dan ribuan amunisi senjata karabyn.

Hari menjelang malam, kondisi tentara Jepang beserta pimpinannya yang masih ditahan di salah satu gerbong KA di stasiun mulai mengalami kelaparan. Mereka memang belum makan dari siang hingga malam. “Akhirnya, pemimpin mereka memutuskan untuk memberikan semua senjata dan amunisi serta peralatan perang dengan melakukan barter.

Yakni, sebungkus nasi untuk setiap orang Jepang. Menanggapi permintaan itu, para pemuda kemudian mengumpulkan nasi bungkus yang diambil dari beberapa warung makan di kota. Setelah Jepang menyerahkan semua senjatanya kepada para pemuda, rombongan itu kemudian dilepaskan,” jelas Suhanak.

Esok harinya, 11 Desember 1945 pagi, Suhanak kembali melakukan penjagaan patroli di Simpang Beo dekat Kantor Camat Tebingtinggi (sekarang Jalan KL Yos Sudarso) dengan beberapa temannya seperti Idham, Ibrahim Hasibuan dan Mucthar (sudah meninggal). Saat itu Kota Tebingtinggi sepi dari lalu lalang tentara Jepang yang biasa keluar masuk untuk membeli berbagai keperluan.

“Siang itu sepi, tentara Jepang tetap bertahan di perkebunan-perkebunan seperti Kebun Bahilang, Kebun Sei Berong, Kebun Rambutan, Kebun Manaco, Kebun Pabatu, dan beberapa perkebunan di Kabupaten Deliserdang (sekarang masuk kabupaten Serdang Bedagai).

Mereka tidak berani keluar karena para pemuda telah memblokir jalan masuk menuju Tebingtinggi dengan menumbangkan pohon-pohon karet, drum, dan batu besar di tengah jalan,” ungkap Suhanak.

Hari berlalu, 12 Desember 1945 kondisi Tebingtinggi tetap lengang. Akhirnya pimpinan Jepang Kuzui yang bermarkas di Kampung Binjai Kebun Sei Berong sekitar 10 KM dari Tebingtinggi mengundang Amir Hamzah, pengurus Barisan Pemuda Indonesia (BPI) Tebingtinggi. Undangan ini terjadi pada tanggal 13 Desember 1945 pagi hari.

“Kata almarhum Amir Hamzah terjadilah kesepatakan bahwa seluruh pemuda-pemuda Tebingtinggi tidak akan melakukan pemblokiran jalan dan melakukan perampasan senjata dan melakukan pembantaian kepada tentara Jepang yang tidak mau menyerahkan senjatanya.

Hal ini disampaikan beliau di Kantor Komite Nasional dan Kantor Pesindo kepada para semua pemuda-pemuda. Maka, saat itu tenanglah kondisi para pemuda yang selama ini terus bergerilya melakukan patroli,” bilang Suhanak.

Sekira pukul 14.00 WIB, menurut laporan beberapa teman yang melakukan patroli di sudut-sudut titik jalan mau masuk ke Kota Tebingtinggi terlihat serdadu Jepang bersenjata lengkap berbaris memasuki kota. Mereka masuk melalui berbagai sektor, dari semua sudut penjuru seperti dari arah kebun Gunung Manaco, Dolok Masihul, Kebun Rambutan, Kebun Pabatu, Kebun Sei Berong, dan Kebun Paya Pinang.

Merasa sudah dilakukan perdamaian, para pemuda tidak ambil peduli dengan masuknya tentara Jepang. Saat itu pemuda menduga para tentara itu ingin berbelanja kebutuhan ke pasar di Tebingtinggi.

“Sekira pukul 14.30 WIB, ada laporan dari baris pemuda Pesindo terdengar dentuman meriam sangat keras di Paya Pasir. Informasinya tentara Jepang melakukan penyerangan ke Kota Tebingtinggi dengan menembaki semua pemuda yang terlihat. Saya sempat lari dari Kantor Pesindo sore itu. Pak RM Deblot Sundoro masih di dalam kantor. Puluhan tentara Jepang menembaki seluruh pemuda di Pesindo. Saya selamat kabur dari tembakan tentara Jepang.

Saya berlari sembunyi ke sebuah klenteng di Jalan Simalungun dan kemudian lari menuju rawa-rawa di Jalan Kartini. Keesokan harinya saya kembali ke rumah dengan menyamar nama menjadi Mamat ES,” kisah lelaki yang terdaftar dengan nama M Suhanak di Kantor Pesindo itu.

Mulai sore itu, 13 hingga tanggal 15 Desember 1945 ledakan senjata masih terdengar dari berbagai penjuru Kota Tebingtinggi. Suhanak semakin ketakutan. Dia bersembunyi di dalam rumah dan tak berani keluar. “Peristiwa selanjutnya kurang tahu persis, karena saya terus bersembunyi di dalam rumah,” akunya. (bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/