25.6 C
Medan
Monday, June 3, 2024

Ratusan Babi Mendadak Mati di Dairi, Hasil Lab: Penyakit Endemik

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menyatakan kalau kematian ratusan babi di Kabupaten Dairi ternyata belum terpapar virus African Swine Fever (ASF) atau demam babi Afrika. Hal ini diketahui setelah dilakukan penelitian oleh tim gabungan, baik dari pusat, provinsi dan kabupaten, paskamendapat laporan tentang kematian hewan kaki empat tersebut.

“Dari laporan yang kita terima kejadiannya itu pada 21 September 2019n

Sejak itu, kami bersama Balai Veteriner Medan didampingi petugas kabupaten setempat sudah turun ke lapangan. Sebagai bagian dari tugasnya, Balai Veteriner menginvestigasi penyebab kematian babi tersebut untuk kemudian diambil sampel.

Hasil isolasi sementara kita, kematian mendadak babi tersebut bukan karena ASF, namun akibat penyakit endemik biasa,” kata Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut, Azhar Harahap melalui Kepala Bidang Kesehatan Hewan, Mulkan Harahap menjawab Sumut Pos, Minggu (13/10).

Sejak tanggal tersebut, kata dia, tim turun ke lapangan dan mengambil sampel di Dairi, Humbang Hasundutan, Deliserdang, Simalungun, Binjai, Batubara dan Tapanuli Utara. Bahkan sampel babi yang mati mendadak di Dairi, sudah diperiksa Balai Veteriner lewat laboratorium.

“Dan sampai dengan pemeriksaan terakhir belum dinyatakan ASF. Masih diperlukan tahapan pemeriksaan lebih lanjut. Karena untuk menyatakan ada penyakit baru tidak mudah, ada tahapan-tahapannya,” katanya.

Pihaknya dalam hal ini juga telah bekerja sama dengan Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, di mana tim mereka sudah turun untuk melakukan peninjauan langsung. Tim dari pusat itu juga telah melihat langsung hasil laboratoriumnya dan pihaknya sudah menggelar lokakarya di hotel berbintang di Medan sekaligus mengkaji bahaya dari virus ASF tersebut.

“Kegiatan juga diikuti kabupaten terkait yang punya populasi babi dominan di Sumut. Dan hasil labnya belum menyatakan itu (virus ASF) sembari kita menunggu tahapan berikutnya oleh Balai Veteriner,” katanya.

Sembari menunggu hasil tersebut, pihaknya sudah mengeluarkan edaran dan standart operasional prosedur (SOP) sebagai upaya antisipasi penyebaran virus ASF di Sumut. Salah satunya dengan memperketat lalu lintas area dari wilayah peternakan babi tersebut. “Apalagi kalau sudah ada yang mati itu, langsung dikubur di situ dan jangan diperjualbelikan atau dibuang di sungai,” katanya.

Lantas wabah atau penyakit apa yang menyerang ratusan babi di Dairi sampai bisa mati mendadak? “Itu penyakit endemik yang secara alamiah memang ada di negara kita. Namanya hog cholera, penyakit menular pada babi,” katanya.

Diberitakan, para peternak babi di 11 kecamatan Kabupaten Dairi mengalami kerugian hingga ratusan juta rupiah. Pasalnya, ratusan ternak babi milik mereka mati mendadak, mulai dari anakan hingga indukan berbobot besar.

Salah satu peternak babi, Lumpin Pangaribuan (40) kepada wartawan, Kamis (10/10) menyampaikan, hewan ternaknya sejak beberapa minggu terakhir sudah mati sebanyak 7 ekor. Akibatnya ia mengalami kerugian mencapai Rp 50 juta, karena babi yang mati itu sudah indukan dan memiliki bobot di atas 80 kilogram (kg).

Kerugian lebih besar dialami peternak lainnya. Lumpin menyebut, ternak babi milik tetangganya bermarga Simorangkir, sudah mati 15 ekor. “Di Sidikalang ini, serangan penyakit itu sudah luar biasa. Babi yang sudah divaksin pun turut mati,” katanya.

Ia meminta pemerintah turun tangan untuk mengendalikan serangan penyakit itu. Baik memberikan bantuan obat-obatan mau pun lainnya. “Agar kerugian warga Dairi tidak bertambah,” ungkapnya.

Kepala Bidang Peternakan pada Dinas Pertanian Dairi, Jhon Manurung, Kamis (10/10) di Sidikalang mengatakan, hingga kini penyebab kematian babi di daerah itu belum diketahui pasti. Sesuai laporan warga, ternak babi yang mati mendadak sudah mencapai 700-an ekor. Penyakit itu dominan menyerang babi indukan. “Sesuai laporan warga, sudah sekitar 700 ekor hewan ternak itu mati sejak satu bulan terakhir,” ucapnya.

Kasus itu, menurutnya, belum bisa disebut wabah. Karena populasi hewan ternak babi di Dairi mencapai 100 ribu ekor. Begitupun, menurutnya tetap akan dilakukan pencegahan.

Beberapa waktu lalu, Balai Veteriner sudah membawa 12 ekor babi sebagai sampel. Dari sampel itu, tiga di antaranya diketahui terkena penyakit kolera. Tetapi yang 9 ekor masih dilakukan penelitian lebih intensif. Karena jenis penyakit kematian babi itu belum bisa disimpulkan,” katanya.

Ditanya apakah penyebab kematian babi itu disebabkan african swine fiver, Manurung mengaku belum mengetahui. Ditunggu saja hasilnya. Pihaknya selalu mengimbau peternak untuk membersihkan kandang dan mensterilkannya. “Kita membina peternak menerapkan biosekuriti (upaya mengurangi penyebaran organisme penyakit dengan cara menghalangi kontak langsung antara hewan dan mikroorganisme) di kandang,” ucapnya.

Penyakit yang menyerang ternak babi tidak menular kepada manusia. Untuk mengonsumsi daging babi, ia menyarankan agar betul- betul masak/dimasak di atas suhu 100 derajat Celsius.

Jhon Manurung juga mengimbau warga agar tidak membuang bangkai babi sembarangan, untuk mencegah penularan dan mencemari lingkungan. “Bangkai babi jangan dibuang ke sungai dan di daratan. Baiknya dibakar dan ditanam,” pungkasnya. (prn)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menyatakan kalau kematian ratusan babi di Kabupaten Dairi ternyata belum terpapar virus African Swine Fever (ASF) atau demam babi Afrika. Hal ini diketahui setelah dilakukan penelitian oleh tim gabungan, baik dari pusat, provinsi dan kabupaten, paskamendapat laporan tentang kematian hewan kaki empat tersebut.

“Dari laporan yang kita terima kejadiannya itu pada 21 September 2019n

Sejak itu, kami bersama Balai Veteriner Medan didampingi petugas kabupaten setempat sudah turun ke lapangan. Sebagai bagian dari tugasnya, Balai Veteriner menginvestigasi penyebab kematian babi tersebut untuk kemudian diambil sampel.

Hasil isolasi sementara kita, kematian mendadak babi tersebut bukan karena ASF, namun akibat penyakit endemik biasa,” kata Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut, Azhar Harahap melalui Kepala Bidang Kesehatan Hewan, Mulkan Harahap menjawab Sumut Pos, Minggu (13/10).

Sejak tanggal tersebut, kata dia, tim turun ke lapangan dan mengambil sampel di Dairi, Humbang Hasundutan, Deliserdang, Simalungun, Binjai, Batubara dan Tapanuli Utara. Bahkan sampel babi yang mati mendadak di Dairi, sudah diperiksa Balai Veteriner lewat laboratorium.

“Dan sampai dengan pemeriksaan terakhir belum dinyatakan ASF. Masih diperlukan tahapan pemeriksaan lebih lanjut. Karena untuk menyatakan ada penyakit baru tidak mudah, ada tahapan-tahapannya,” katanya.

Pihaknya dalam hal ini juga telah bekerja sama dengan Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, di mana tim mereka sudah turun untuk melakukan peninjauan langsung. Tim dari pusat itu juga telah melihat langsung hasil laboratoriumnya dan pihaknya sudah menggelar lokakarya di hotel berbintang di Medan sekaligus mengkaji bahaya dari virus ASF tersebut.

“Kegiatan juga diikuti kabupaten terkait yang punya populasi babi dominan di Sumut. Dan hasil labnya belum menyatakan itu (virus ASF) sembari kita menunggu tahapan berikutnya oleh Balai Veteriner,” katanya.

Sembari menunggu hasil tersebut, pihaknya sudah mengeluarkan edaran dan standart operasional prosedur (SOP) sebagai upaya antisipasi penyebaran virus ASF di Sumut. Salah satunya dengan memperketat lalu lintas area dari wilayah peternakan babi tersebut. “Apalagi kalau sudah ada yang mati itu, langsung dikubur di situ dan jangan diperjualbelikan atau dibuang di sungai,” katanya.

Lantas wabah atau penyakit apa yang menyerang ratusan babi di Dairi sampai bisa mati mendadak? “Itu penyakit endemik yang secara alamiah memang ada di negara kita. Namanya hog cholera, penyakit menular pada babi,” katanya.

Diberitakan, para peternak babi di 11 kecamatan Kabupaten Dairi mengalami kerugian hingga ratusan juta rupiah. Pasalnya, ratusan ternak babi milik mereka mati mendadak, mulai dari anakan hingga indukan berbobot besar.

Salah satu peternak babi, Lumpin Pangaribuan (40) kepada wartawan, Kamis (10/10) menyampaikan, hewan ternaknya sejak beberapa minggu terakhir sudah mati sebanyak 7 ekor. Akibatnya ia mengalami kerugian mencapai Rp 50 juta, karena babi yang mati itu sudah indukan dan memiliki bobot di atas 80 kilogram (kg).

Kerugian lebih besar dialami peternak lainnya. Lumpin menyebut, ternak babi milik tetangganya bermarga Simorangkir, sudah mati 15 ekor. “Di Sidikalang ini, serangan penyakit itu sudah luar biasa. Babi yang sudah divaksin pun turut mati,” katanya.

Ia meminta pemerintah turun tangan untuk mengendalikan serangan penyakit itu. Baik memberikan bantuan obat-obatan mau pun lainnya. “Agar kerugian warga Dairi tidak bertambah,” ungkapnya.

Kepala Bidang Peternakan pada Dinas Pertanian Dairi, Jhon Manurung, Kamis (10/10) di Sidikalang mengatakan, hingga kini penyebab kematian babi di daerah itu belum diketahui pasti. Sesuai laporan warga, ternak babi yang mati mendadak sudah mencapai 700-an ekor. Penyakit itu dominan menyerang babi indukan. “Sesuai laporan warga, sudah sekitar 700 ekor hewan ternak itu mati sejak satu bulan terakhir,” ucapnya.

Kasus itu, menurutnya, belum bisa disebut wabah. Karena populasi hewan ternak babi di Dairi mencapai 100 ribu ekor. Begitupun, menurutnya tetap akan dilakukan pencegahan.

Beberapa waktu lalu, Balai Veteriner sudah membawa 12 ekor babi sebagai sampel. Dari sampel itu, tiga di antaranya diketahui terkena penyakit kolera. Tetapi yang 9 ekor masih dilakukan penelitian lebih intensif. Karena jenis penyakit kematian babi itu belum bisa disimpulkan,” katanya.

Ditanya apakah penyebab kematian babi itu disebabkan african swine fiver, Manurung mengaku belum mengetahui. Ditunggu saja hasilnya. Pihaknya selalu mengimbau peternak untuk membersihkan kandang dan mensterilkannya. “Kita membina peternak menerapkan biosekuriti (upaya mengurangi penyebaran organisme penyakit dengan cara menghalangi kontak langsung antara hewan dan mikroorganisme) di kandang,” ucapnya.

Penyakit yang menyerang ternak babi tidak menular kepada manusia. Untuk mengonsumsi daging babi, ia menyarankan agar betul- betul masak/dimasak di atas suhu 100 derajat Celsius.

Jhon Manurung juga mengimbau warga agar tidak membuang bangkai babi sembarangan, untuk mencegah penularan dan mencemari lingkungan. “Bangkai babi jangan dibuang ke sungai dan di daratan. Baiknya dibakar dan ditanam,” pungkasnya. (prn)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/