30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pemuda Dikumpulkan lalu Dimeriam oleh Jepang

67 Tahun Lalu, Ribuan Warga Tebingtinggi Dibantai (2/habis)

Sambungan dari: Jepang Tembaki Setiap Pemuda yang Terlihat…

SAKSI: M Suhanak saat ditemui  Tugu 13  berada  Kota Tebingtinggi (kanan).//sopian/sumut pos
SAKSI: M Suhanak saat ditemui dan Tugu 13 yang berada di Kota Tebingtinggi (kanan).//sopian/sumut pos

Untuk mengenang jasa para pahlawan yang melakukan pertempuran melawan penjajah Jepang, kini Tebingtinggi telah mendirikan Tugu 13 Desember. Tugu itu terletak di pusat kota, tepatnya di samping Lapangan Merdeka Jalan Pahlawan Kota Tebingtinggi.

Setiap tahun, warga Tebingtinggi pun memperingati hari bersejarah itu. Mereka memperingatinya di Lapangan Merdeka dan di makam tanpa pusara di Titi Gantung Bulian Kota Tebingtinggi.

Suhanak pun melanjutkan ceritanya. Setelah sembunyi beberapa hari akibat serangan Jepang pada 13-15 Desember 1945, Suhanak baru berani keluar rumah. Pada 17 Desember 1945, terjadilah kesepakatan damai antara Jepang dengan barisan pemuda Tebingtinggi. Perwakilan Residen Sumatera Timur melakukan perundingan damai dengan pihak perwakilan Jepang.

“Ketika itu saya pun mencari tahu informasi selanjutnya, mendengar cerita dari teman-teman yang masih selamat. Pembantaian Jepang sangat biadab.
Masyarakat (pemuda) yang terlihat dikumpulkan dan langsung ditembaki dengan meriam hingga tewas. Di Titi Gantung, tepatnya sekarang Kelurahan Brohol, ratusan pemuda dari Dolok Masihul dan Tebingtinggi sekitarnya yang akan membantu pemuda di pusat Kota ditembaki saat melintas di atas jembatan pada tanggal 14 hingga 15 Desember 1945. Mereka semua mati hingga ada yang terjebur ke Sungai Padang yang kala itu banjir besar, ratusan pemuda tewas di sana,” kata Suhanak.

Begitu juga dengan laporan teman-teman lainnya, kata mereka hampir semua di seluruh penjuru sudut kota dan jalur masuk ke Kota Tebingtinggi banyak pemuda yang tewas ditembaki tentara Jepang. Kebanyakan mereka masyarakat biasa yang tidak tahu apa-apa. “Setiap melihat pemuda, tentara Jepang langsung menembaknya. Kalau tidak dikumpulkan terlebih dahulu di sebuah tempat, langsung dihabisi dengan senapan karabyn. Ditaksir sekitar ribuan masyarakat meninggal saat itu mulai tanggal 13 hingga 15 Desember,” bilangnya.

Dan tentu saja banyak petinggi Pesindo, Komite Nasional, BPI, TKR, dan masyarakat yang meninggal akibat kejahatan perang tentara Jepang saat itu. “Banyak yang mati Pak, saya masih bisa selamat dan sekarang menjadi pahlawan sekaligus veteran Kota Tebingtinggi,” katanya dengan suara pelan.
Persis dengan yang diungkapkan Suhanak, saksi lain yang bernama Tengku Hanif (74) pun tak dapat menyembunyikan kengeriannya. Keturunan dari Tengku Hasan — yang dibunuh Jepang di Kebun Bahilang – ini, bercerita pada Sumut Pos ketika ditemui di Gedung Juang DAC Jalan Sutomo Kota Tebingtinggi. Hanif merupakan warga Jalan Prof Dr Hamka Kota Tebingtinggi. “Saat itu saya masih 10 tahun, tapi melihat langsung ketika tentara Jepang datang ke rumah dan langsung membawa bapak saya. Kami tidak tahu bapak dibawa ke mana, saya bersama ibu di uruh berdiam diri di rumah. Abang saya, Ibrahim, juga turut dibawa Jepang,” jelas  Hanif.

Melihat kondisi bapaknya dibawa Jepang, saat itu keluarga tidak bisa berbuat apa-apa. Dari informasi yang mereka dapat, mayat orangtuanya ditemukan di Kebun Bahilang bersama warga lainnya. “Saya langsung menangis ketika menemukan jenazah bapak saya yang sudah terbujur dengan kondisi meninggal,” kata Hanif.

Seingat Hanif, kondisi Tebingtinggi saat sore hingga malam pada 13 Desember 1945 itu sangat mencekam. Dentuman senjata api serta meriam masih terdengar di mana-mana. Para pemuda tidak ada yang tinggal di rumah, mereka masing-masing bersama keluarga menyelamatkan diri. “Kota Tebingtinggi seperti kota mati, Jepang melakukan patroli di sudut-sudut kota,” katanya.

Selang waktu, para pelaku sejarah maupun whli waris akhirnya meminta kepada pihak Pemko Tebingtinggi melalui wali kotanya untuk menjadikan peristiwa 13 Desember 1945 menjadi arsip nasional. Selain itu, meminta Pemerintah Indonesia Indonesia melalui Pemerintah Kota Tebingtinggi untuk menuntut pemerintahan Jepang kala itu. “Kami menuntut pihak Jepang untuk bertanggung jawab atas perbuatan itu, ribuan masyarakat Tebingtinggi mati menjadi korban pembatantaian kejahatan perang,” pinta Hanif.

Siti Aisyah Hasibuan (84) kakak kandung dari mantan wali kota Tebingtinggi dan wali kota Tebingtinggi sekarang juga menceritakan pembantaian tersebut. Ceritanya, keluarga besar Hasibuan yang dulu tinggal di Jalan Ir H Juanda melarikan diri dengan bersembunyi di daerah lokasi kebun Paya Pinang. “Tidak ada keluarga yang meninggal akibat ditembak Jepang, sebelum terjadinya kontak senjata dengan para pemuda, orangtua kami sempat menyelamatkan keluarga semua,” ungkap Siti Aisyah.

Saat itu, Siti Aisyah mendengar kabar dari temannya yang lagi belanja di Pasar Gambir Tebingtinggi, di sana juga terjadi pembantaian. Bahkan di tempat itu dr Kumpulan Pane menjadi korban keganasan Jepang. “Kata teman saya saat itu, banyak warga yang meninggal di Pasar Gambir ditembaki Jepang. Mereka hanya pedagang dan pembeli. Dan, sekarang jalan tersebut diberi nama Jalan Pusara Pejuang,” katanya.

Wali Kota Tebingtinggi Ir Umar Zunaidi Hasibuan ketika ditemui di rumah dinas di Jalan Sutomo Kota Tebingtinggi, mengatakan sebenarnya Pemerintah Kota Tebingtinggi akan mengungkap kejadian pembantaian tersebut. “Kita ungkap kejadian ini untuk memacu semangat patriotisme masyarakat Kota Tebingtinggi melihat perjuangan pemuda dan masyarakat dalam melawan penjajah Jepang kala itu yang harus mengobarkan nyawa dan harta benda,”jelas Umar.

“Kami meminta dengan tegas kepada Pemerintah Jepang untuk meminta maaf langsung kepada masyarakat Kota Tebingtinggi. Pemko Tebingtinggi juga akan membuat peristiwa berdarah ini menjadi Arsip Nasional,” tambahnya.

Ketua DPRD Kota Tebingtinggi Syarial Malik pun senada dengan wali kota. “Ini sudah masuk kejahatan perang, Jepang harus meminta maaf kepada masyarakat Tebingtinggi,” tegasnya.

Dari literatur yang diperoleh Sumut Pos, sebuah buku yang disusun M Kassim dan Amir Taat Nasution, pada pristiwa berdarah 13 Desember 1945 di Tebingtinggi telah jatuh korban dari pihak Indonesia sebanyak 600 orang dan korban dari pihak Jepang hanya 48 orang saja. Data itu dikutip M Kassim dan Amir Taat Nasution dari buku yang berjudul Officiele Bescheiden de Nederlandsche Indonesische Betrekking. Tetapi, menurut hasil penelitian dan pembahasan ditambah dengan fakta-fakta tulisan dan perincian penjelasan saksi-saksi, ditafsirkan bahwa warga Tebingtinggi yang jadi korban sebanyak 1.108 jiwa terdiri dari anak-anak, wanita, dan pemuda. (*)

67 Tahun Lalu, Ribuan Warga Tebingtinggi Dibantai (2/habis)

Sambungan dari: Jepang Tembaki Setiap Pemuda yang Terlihat…

SAKSI: M Suhanak saat ditemui  Tugu 13  berada  Kota Tebingtinggi (kanan).//sopian/sumut pos
SAKSI: M Suhanak saat ditemui dan Tugu 13 yang berada di Kota Tebingtinggi (kanan).//sopian/sumut pos

Untuk mengenang jasa para pahlawan yang melakukan pertempuran melawan penjajah Jepang, kini Tebingtinggi telah mendirikan Tugu 13 Desember. Tugu itu terletak di pusat kota, tepatnya di samping Lapangan Merdeka Jalan Pahlawan Kota Tebingtinggi.

Setiap tahun, warga Tebingtinggi pun memperingati hari bersejarah itu. Mereka memperingatinya di Lapangan Merdeka dan di makam tanpa pusara di Titi Gantung Bulian Kota Tebingtinggi.

Suhanak pun melanjutkan ceritanya. Setelah sembunyi beberapa hari akibat serangan Jepang pada 13-15 Desember 1945, Suhanak baru berani keluar rumah. Pada 17 Desember 1945, terjadilah kesepakatan damai antara Jepang dengan barisan pemuda Tebingtinggi. Perwakilan Residen Sumatera Timur melakukan perundingan damai dengan pihak perwakilan Jepang.

“Ketika itu saya pun mencari tahu informasi selanjutnya, mendengar cerita dari teman-teman yang masih selamat. Pembantaian Jepang sangat biadab.
Masyarakat (pemuda) yang terlihat dikumpulkan dan langsung ditembaki dengan meriam hingga tewas. Di Titi Gantung, tepatnya sekarang Kelurahan Brohol, ratusan pemuda dari Dolok Masihul dan Tebingtinggi sekitarnya yang akan membantu pemuda di pusat Kota ditembaki saat melintas di atas jembatan pada tanggal 14 hingga 15 Desember 1945. Mereka semua mati hingga ada yang terjebur ke Sungai Padang yang kala itu banjir besar, ratusan pemuda tewas di sana,” kata Suhanak.

Begitu juga dengan laporan teman-teman lainnya, kata mereka hampir semua di seluruh penjuru sudut kota dan jalur masuk ke Kota Tebingtinggi banyak pemuda yang tewas ditembaki tentara Jepang. Kebanyakan mereka masyarakat biasa yang tidak tahu apa-apa. “Setiap melihat pemuda, tentara Jepang langsung menembaknya. Kalau tidak dikumpulkan terlebih dahulu di sebuah tempat, langsung dihabisi dengan senapan karabyn. Ditaksir sekitar ribuan masyarakat meninggal saat itu mulai tanggal 13 hingga 15 Desember,” bilangnya.

Dan tentu saja banyak petinggi Pesindo, Komite Nasional, BPI, TKR, dan masyarakat yang meninggal akibat kejahatan perang tentara Jepang saat itu. “Banyak yang mati Pak, saya masih bisa selamat dan sekarang menjadi pahlawan sekaligus veteran Kota Tebingtinggi,” katanya dengan suara pelan.
Persis dengan yang diungkapkan Suhanak, saksi lain yang bernama Tengku Hanif (74) pun tak dapat menyembunyikan kengeriannya. Keturunan dari Tengku Hasan — yang dibunuh Jepang di Kebun Bahilang – ini, bercerita pada Sumut Pos ketika ditemui di Gedung Juang DAC Jalan Sutomo Kota Tebingtinggi. Hanif merupakan warga Jalan Prof Dr Hamka Kota Tebingtinggi. “Saat itu saya masih 10 tahun, tapi melihat langsung ketika tentara Jepang datang ke rumah dan langsung membawa bapak saya. Kami tidak tahu bapak dibawa ke mana, saya bersama ibu di uruh berdiam diri di rumah. Abang saya, Ibrahim, juga turut dibawa Jepang,” jelas  Hanif.

Melihat kondisi bapaknya dibawa Jepang, saat itu keluarga tidak bisa berbuat apa-apa. Dari informasi yang mereka dapat, mayat orangtuanya ditemukan di Kebun Bahilang bersama warga lainnya. “Saya langsung menangis ketika menemukan jenazah bapak saya yang sudah terbujur dengan kondisi meninggal,” kata Hanif.

Seingat Hanif, kondisi Tebingtinggi saat sore hingga malam pada 13 Desember 1945 itu sangat mencekam. Dentuman senjata api serta meriam masih terdengar di mana-mana. Para pemuda tidak ada yang tinggal di rumah, mereka masing-masing bersama keluarga menyelamatkan diri. “Kota Tebingtinggi seperti kota mati, Jepang melakukan patroli di sudut-sudut kota,” katanya.

Selang waktu, para pelaku sejarah maupun whli waris akhirnya meminta kepada pihak Pemko Tebingtinggi melalui wali kotanya untuk menjadikan peristiwa 13 Desember 1945 menjadi arsip nasional. Selain itu, meminta Pemerintah Indonesia Indonesia melalui Pemerintah Kota Tebingtinggi untuk menuntut pemerintahan Jepang kala itu. “Kami menuntut pihak Jepang untuk bertanggung jawab atas perbuatan itu, ribuan masyarakat Tebingtinggi mati menjadi korban pembatantaian kejahatan perang,” pinta Hanif.

Siti Aisyah Hasibuan (84) kakak kandung dari mantan wali kota Tebingtinggi dan wali kota Tebingtinggi sekarang juga menceritakan pembantaian tersebut. Ceritanya, keluarga besar Hasibuan yang dulu tinggal di Jalan Ir H Juanda melarikan diri dengan bersembunyi di daerah lokasi kebun Paya Pinang. “Tidak ada keluarga yang meninggal akibat ditembak Jepang, sebelum terjadinya kontak senjata dengan para pemuda, orangtua kami sempat menyelamatkan keluarga semua,” ungkap Siti Aisyah.

Saat itu, Siti Aisyah mendengar kabar dari temannya yang lagi belanja di Pasar Gambir Tebingtinggi, di sana juga terjadi pembantaian. Bahkan di tempat itu dr Kumpulan Pane menjadi korban keganasan Jepang. “Kata teman saya saat itu, banyak warga yang meninggal di Pasar Gambir ditembaki Jepang. Mereka hanya pedagang dan pembeli. Dan, sekarang jalan tersebut diberi nama Jalan Pusara Pejuang,” katanya.

Wali Kota Tebingtinggi Ir Umar Zunaidi Hasibuan ketika ditemui di rumah dinas di Jalan Sutomo Kota Tebingtinggi, mengatakan sebenarnya Pemerintah Kota Tebingtinggi akan mengungkap kejadian pembantaian tersebut. “Kita ungkap kejadian ini untuk memacu semangat patriotisme masyarakat Kota Tebingtinggi melihat perjuangan pemuda dan masyarakat dalam melawan penjajah Jepang kala itu yang harus mengobarkan nyawa dan harta benda,”jelas Umar.

“Kami meminta dengan tegas kepada Pemerintah Jepang untuk meminta maaf langsung kepada masyarakat Kota Tebingtinggi. Pemko Tebingtinggi juga akan membuat peristiwa berdarah ini menjadi Arsip Nasional,” tambahnya.

Ketua DPRD Kota Tebingtinggi Syarial Malik pun senada dengan wali kota. “Ini sudah masuk kejahatan perang, Jepang harus meminta maaf kepada masyarakat Tebingtinggi,” tegasnya.

Dari literatur yang diperoleh Sumut Pos, sebuah buku yang disusun M Kassim dan Amir Taat Nasution, pada pristiwa berdarah 13 Desember 1945 di Tebingtinggi telah jatuh korban dari pihak Indonesia sebanyak 600 orang dan korban dari pihak Jepang hanya 48 orang saja. Data itu dikutip M Kassim dan Amir Taat Nasution dari buku yang berjudul Officiele Bescheiden de Nederlandsche Indonesische Betrekking. Tetapi, menurut hasil penelitian dan pembahasan ditambah dengan fakta-fakta tulisan dan perincian penjelasan saksi-saksi, ditafsirkan bahwa warga Tebingtinggi yang jadi korban sebanyak 1.108 jiwa terdiri dari anak-anak, wanita, dan pemuda. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/