Kabupaten Labuhanbatu termasuk salah satu daerah di Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Usianya kini sudah 67 tahun. Namun, dari 9 kecamatan yang ada di Labuhanbatu, masih ditemukan beberapa wilayah yang terkesan seperti terisolir akibat minimnya fasilitas umum hingga kurangnya bantuan kepada masyarakat setempat. Seperti Dusun Seipatopis, Desa Seijawijawi, Kecamatan Panaihulu. Lokasi dusun yang berada di seberang Sungai Bilah itu terkesan tidak terurus.
Kunjungan Sumut Pos, Sabtu (13/4) ke dusun itu ternyata membuka mata bahwa terdapat 33 kepala keluarga di Dusun Seipatopis berharap perhatian serius dari Bupati Pemkab Labuhanbatu H Tigor Panusunan Siregar.
Padahal sebut pengakuan Zulkarnain Tanjung, Baharuddin Nasution dan lainnya warga di sana, saat Pilkada lalu mereka seluruhnya memilih bupati sekarang.
Diceritakan mereka, perkampungan yang sudah ada sejak tahun 1960-an itu belum juga memiliki fasilitas umum seperti jalan yang layak.
Jika musim penghujan, jalan utama mereka yang tembus ke salah satu tangkahan sulit dilalui. Kalaupun bisa, harus mencungkil tanah yang menempel di roda sepeda motor. “Kalau tidak dicongkel, ya didorong ramai-ramailah,” ujar warga.
Sejak tahun 2003 lalu setelah dilakukan penimbunan badan jalan utama, hingga kini sama sekali tidak pernah tersentuh pembangunan jalan. Sehingga badan jalan yang ada memiliki lubang bekas roda sepeda motor, bahkan hampir sekitar 1 kilo meter menuju pelabuhan ditumbuhi semak di kanan-kiri jalan. “Kalau orang bapak sampai kota, tolonglah sampaikan permintaan kami sama pak bupati ya, biar dibangunnya jalan ini,” harap mereka.
Parahnya lagi disaat mereka akan melangsir hasil panen di kebun warga, akibat tidak baiknya sarana jalan harga buah, sayur, dan padi menjadi tidak berharga. Sebab, masyarakat yang biasanya menjemput ke daerah tersebut, kini enggan membeli. “Ya terpaksalah dijual dengan harga murah, karena kitapun tidak mampu melangsirnya keluar,” tambah Untung Nasution, Hasan Nasution dan Nasib Siregar.
Fasilitas jalan yang sangat tidak layak diperparah dengan tidak adanya jaringan instalasi listrik dari PLN. Dari dulu hingga kini warga masih menggantungkan harapannya kepada penerangan lampu hasil mesin genset milik salah seorang masyarakat sekitar dengan biaya tagihan yang terbilang besar. Untuk satu bola lampu ukuran 45 watt, setiap bulannya dikenakan biaya sebesar Rp50 ribu, itu pun dapat dipergunakan sejak pukul 18.00-24.00 WIB.
Belakangan, merasa seperti dianak tirikan terkait penyediaan penerangan itu. Sebab, dari sebelas dusun yang ada di seberang sungai tersebut, hanya mereka lah yang belum merasakan nikmatnya fasilitas Negara itu. “Sementara dua dusun yang ada di kanan-kiri dusun kami ini sudah diterangi listrik dari PLN. Kalaupun ditemui kemari, paling sekitar 20 tiangnya itu,” sebut warga.
Saat Sumut Pos berkunjung ke dusun tetangga, ternyata kondisi di sana tidak jauh berbeda. Walau badan jalan setapak yang dikerjakan dengan rabat beton, ternyata sebagian sudah banyak yang berlubang. Buruknya fasilitas umum di sana juga digambarkan oleh jembatan yang menghubungkan beberapa dusun sudah rusak parah. (jok)