31.7 C
Medan
Sunday, April 28, 2024

Sarana Rusak Akibat Pengembangan TPK 2

Foto: Fachrul Rozi/Sumut Pos  Sejumlah permukiman nelayan berdiri di sekitar bibir pantai Sungai Nonang, Belawan. Soal rencana mega proyek tanggul rob sepanjang 12 kilometer, hingga belum disosialisasikan ke masyarakat.

MEDAN, SUMUTPOS.CO  -Rencana PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) 1 membangun Terminal Peti Kemas (TPK) tahap kedua, menyisakan cerita pahit bagi kaum nelayan di Belawan, Sumut. Pasalnya, dampak pembangunan TPK tersebut, mengakibatkan kerusakan parah bagi ambai (sarana jaring udang) milik nelayan.

Perwakilan Forum Masyarakat Belawan Membangun (Formabem) Ahmad Jafar, didampingi Masri, Syamsiah, dan Iswadi, mengungkapkan, pihaknya sangat menyesalkan rencana pembangunan dari perusahaan pelat merah tersebut. Akibat pengerukan alur baru di lokasi mata pencaharian nelayan tersebut, saat ini para nelayan mengalami kerugian hampir Rp1 miliar.

“Ini bermula dari adanya rencana pembangunan persiapan TPK 2 oleh Pelindo. Rencananya mereka akan bangun di ujung pelabuhan TPK sekarang, tepatnya di Muara Kualadeli (dulu bernama Kualabelawan atau Ujung Ringkai), dekat Ocean Pasifik Belawan,” ungkap Jafar, saat menyampaikan aspirasi di hadapan anggota Komisi C DPRD Medan di UPT Pangkalan Pendaratan Ikan, Kampung Nelayan Indah, Belawan, Selasa (15/11).

Proses pembangunan saat ini, lanjut Jafar, Pelindo tengah melakukan pengerukan di lokasi tersebut. Setelah itu sepanjang 700 meter tengah laut, akan dilakukan reklamasi (penimbunan). Kondisi tersebut, menurutnya, memberi dampak kerusakan sarana ambai milik nelayan, sehingga mereka tidak bisa mengoperasikan alat untuk menjaring udang. “Usaha itu yang selama ini jadi penopang hidup kami di sini. Tapi sekarang lapak tersebut sudah tidak ada, dan kami minta kompensasi dari Pelindo,” harapnya.

Ada sekitar 15 kepala keluarga (KK) yang tinggal di lokasi tersebut. Menurutnya, ada sebanyak 19 unit ambai yang rusak akibat dampak pembangunan TPK itu. “Dan yang memiliki ambai itu, lima orang di antara kami. Satu ambai harganya Rp50 juta, kalau dikali 19 unit, jumlahnya sekitar Rp950 juta. Tapi itu pun tidak harga baku. Kalau Pelindo beritikad baik kepada kami, ganti ruginya bisa tak sampai segitu,” jelas Jafar.

Mewakili aspirasi anggota, kepada Pelindo mereka meminta agar kiranya berkenan memberi kompensasi dan menyediakan lokasi yang baru. “Sudah setahun kami mengalami kondisi seperti ini. Pembangunan di sana juga sudah setahun berlangsung, dan ini sudah mau selesai pengerukan. Setelah itu barulah dilakukan penimbunan. Namun semuanya sudah rusak dan kami tidak bisa memungsikan alat tersebut. Apalagi untuk mendatangkan bahan baku seperti itu, adanya di daerah Stabat dan Aceh,” beber Jafar lagi.

Kaum nelayan di sana juga sudah berjuang agar aspirasi mereka disahuti Pelindo. Namun selama ini upaya tersebut kandas, lantaran Pelindo selalu ‘buang badan’ menyikapi persoalan dimaksud. Pelaksana pekerjaan, seperti PT Wika, PT Prima, PT Hutama Karya, di bawah naungan Pelindo, untuk mensubkan pekerjaan tersebut, juga diakui mereka selalu berkilah. “Ketika ditanya ke PT Prima juga tidak mendapat jawaban, dan buang bola ke Pelindo. Mereka pun sebenarnya juga pernah melakukan sosialisasi, pekerjaan sudah mau selesai, mereka bilang itu tanggung jawab PT Prima. Kami tanya (PT Prima), mereka beralasan hanya melaksanakan tugas,” kata Jafar, seraya menyebutkan, jarak tempuh dari Kampung Nelayan ke lokasi reklamasi sekitar 1,5 jam melalui jalur air.

Menyikapi hal itu, Ketua Komisi C Boydo HK Panjaitan, didampingi Sekretaris Zulkifli Lubis, dan anggota lainnya, mengaku, pihaknya sangat berempati atas keluhan para nelayan tersebut. “Kami mendukung permintaan nelayan terhadap Pelindo, terkait kompensasi atas rusaknya 19 unit ambai mereka, yang per unitnya senilai Rp50 juta,” jelasnya.

Seharusnya, lanjutnya, Pelindo bertanggung jawab atas nasib para nelayan ini. “Perusahaan ini kan memiliki CSR, ini bisa digunakan untuk membantu warga yang mengalami kehilangan mata pencaharian,” tegas Boydo.

Pihaknya juga dalam waktu dekat akan mengelar rapat dengar pendapat (RDP), mempertemukan Pelindo, nelayan, dan pelaksana proyek, serta pihak-pihak berkompeten lainnya. (prn/saz)

 

 

Foto: Fachrul Rozi/Sumut Pos  Sejumlah permukiman nelayan berdiri di sekitar bibir pantai Sungai Nonang, Belawan. Soal rencana mega proyek tanggul rob sepanjang 12 kilometer, hingga belum disosialisasikan ke masyarakat.

MEDAN, SUMUTPOS.CO  -Rencana PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) 1 membangun Terminal Peti Kemas (TPK) tahap kedua, menyisakan cerita pahit bagi kaum nelayan di Belawan, Sumut. Pasalnya, dampak pembangunan TPK tersebut, mengakibatkan kerusakan parah bagi ambai (sarana jaring udang) milik nelayan.

Perwakilan Forum Masyarakat Belawan Membangun (Formabem) Ahmad Jafar, didampingi Masri, Syamsiah, dan Iswadi, mengungkapkan, pihaknya sangat menyesalkan rencana pembangunan dari perusahaan pelat merah tersebut. Akibat pengerukan alur baru di lokasi mata pencaharian nelayan tersebut, saat ini para nelayan mengalami kerugian hampir Rp1 miliar.

“Ini bermula dari adanya rencana pembangunan persiapan TPK 2 oleh Pelindo. Rencananya mereka akan bangun di ujung pelabuhan TPK sekarang, tepatnya di Muara Kualadeli (dulu bernama Kualabelawan atau Ujung Ringkai), dekat Ocean Pasifik Belawan,” ungkap Jafar, saat menyampaikan aspirasi di hadapan anggota Komisi C DPRD Medan di UPT Pangkalan Pendaratan Ikan, Kampung Nelayan Indah, Belawan, Selasa (15/11).

Proses pembangunan saat ini, lanjut Jafar, Pelindo tengah melakukan pengerukan di lokasi tersebut. Setelah itu sepanjang 700 meter tengah laut, akan dilakukan reklamasi (penimbunan). Kondisi tersebut, menurutnya, memberi dampak kerusakan sarana ambai milik nelayan, sehingga mereka tidak bisa mengoperasikan alat untuk menjaring udang. “Usaha itu yang selama ini jadi penopang hidup kami di sini. Tapi sekarang lapak tersebut sudah tidak ada, dan kami minta kompensasi dari Pelindo,” harapnya.

Ada sekitar 15 kepala keluarga (KK) yang tinggal di lokasi tersebut. Menurutnya, ada sebanyak 19 unit ambai yang rusak akibat dampak pembangunan TPK itu. “Dan yang memiliki ambai itu, lima orang di antara kami. Satu ambai harganya Rp50 juta, kalau dikali 19 unit, jumlahnya sekitar Rp950 juta. Tapi itu pun tidak harga baku. Kalau Pelindo beritikad baik kepada kami, ganti ruginya bisa tak sampai segitu,” jelas Jafar.

Mewakili aspirasi anggota, kepada Pelindo mereka meminta agar kiranya berkenan memberi kompensasi dan menyediakan lokasi yang baru. “Sudah setahun kami mengalami kondisi seperti ini. Pembangunan di sana juga sudah setahun berlangsung, dan ini sudah mau selesai pengerukan. Setelah itu barulah dilakukan penimbunan. Namun semuanya sudah rusak dan kami tidak bisa memungsikan alat tersebut. Apalagi untuk mendatangkan bahan baku seperti itu, adanya di daerah Stabat dan Aceh,” beber Jafar lagi.

Kaum nelayan di sana juga sudah berjuang agar aspirasi mereka disahuti Pelindo. Namun selama ini upaya tersebut kandas, lantaran Pelindo selalu ‘buang badan’ menyikapi persoalan dimaksud. Pelaksana pekerjaan, seperti PT Wika, PT Prima, PT Hutama Karya, di bawah naungan Pelindo, untuk mensubkan pekerjaan tersebut, juga diakui mereka selalu berkilah. “Ketika ditanya ke PT Prima juga tidak mendapat jawaban, dan buang bola ke Pelindo. Mereka pun sebenarnya juga pernah melakukan sosialisasi, pekerjaan sudah mau selesai, mereka bilang itu tanggung jawab PT Prima. Kami tanya (PT Prima), mereka beralasan hanya melaksanakan tugas,” kata Jafar, seraya menyebutkan, jarak tempuh dari Kampung Nelayan ke lokasi reklamasi sekitar 1,5 jam melalui jalur air.

Menyikapi hal itu, Ketua Komisi C Boydo HK Panjaitan, didampingi Sekretaris Zulkifli Lubis, dan anggota lainnya, mengaku, pihaknya sangat berempati atas keluhan para nelayan tersebut. “Kami mendukung permintaan nelayan terhadap Pelindo, terkait kompensasi atas rusaknya 19 unit ambai mereka, yang per unitnya senilai Rp50 juta,” jelasnya.

Seharusnya, lanjutnya, Pelindo bertanggung jawab atas nasib para nelayan ini. “Perusahaan ini kan memiliki CSR, ini bisa digunakan untuk membantu warga yang mengalami kehilangan mata pencaharian,” tegas Boydo.

Pihaknya juga dalam waktu dekat akan mengelar rapat dengar pendapat (RDP), mempertemukan Pelindo, nelayan, dan pelaksana proyek, serta pihak-pihak berkompeten lainnya. (prn/saz)

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/