Wajah Boru Karo (52) tampak tegang. Ibu yang akrab dipanggil dengan sebutan Mamak Elvi itupun sama sekali tak bisa tenang dalam perjalanan kembali ke rumahnya di Desa Sigaranggarang, Kabupaten Karo. Sementara di luar angkutan yang ditumpanginya, debu vulkanik pun garang menyerang.
Aminoer Rasyid, Karo
Melalui jendela angkutan, Selasa (14/1), mata Boru Karo terus-terusan menerawang jauh ke arah rumahnya yang berdekatan dengan Gunung Sinabung sambil sesekali memperhatikan laju kendaraan umum yang dikendarai sopir kenalannya.
Wanita paroh baya ini mendadak ingin melihat sejenak kondisi rumahnya sehubungan masih ada sejumlah barang berharga yang tertinggal di sana.
Dia tidak ingin barang-barang miliknya dan keluarganya tersebut bakalan tersapu oleh ‘muntahan’ lava pijar dari Gunung Sinabung. Pasalnya, seperti yang dia dengar, gunung yang kini berstatus awas level 4 tersebut diperkirakan akan benar-benar meletus dalam waktu dekat ini.
Tanda-tanda ke arah sana terus terlihat, Gunung Sinabung seolah-olah tak mau berhenti beraktivitas menunjukkan murka. Bahkan Desa Sigaranggarang yang hanya beradius 3 kilometer dari kawasan gunung yang ditempati Boru Karo tadi, kini tak terlihat lagi sedikitpun ‘kegarangannya’ menyusul menggeliatnya gunung yang lama tertidur itu.
Desa tersebut tidak terlihat lagi seperti layaknya desa. Sigaranggarang sudah terselimuti lumpur dari semburan erupsi Gunung Sinabung. Pun, tidak terdengar suara para bocah, semuanya telah beranjak untuk mengungsi. Yang tersisa hanyalah hewan-hewan peliharaan mereka. Ditambah lagi erupsi yang meluncurkan awan panas semenjak pagi menyemburkan debu vulkanik cukup tebal dan menjadikan kampung Boru Karo porak-poranda. Hujan pun tak bisamenjadi penyelamat. Hujan malah memperparah jalan menuju desa mereka.
Salah satu benda berharga yang menjadi target penyelamatan wanita tersebut adalah sepucuk ijazah kelulusan sekolah anaknya. “Baru hari ini ibu berani ke rumah karena memikirkan ijazah anak yang tertingga. Selama ini saya tidak teringat kalau ijazah anak saya masih berada di dalam lemari,” sebutnya.
Ia pun juga hendak membawa sejumlah pakaian yang masih tersimpan di lemari kamarnya untuk dirinya kelak dipakai selama di pengungsian yang telah menjadi ‘rumah barunya’ selama beberapa bulan ini.
Perjalanan ke rumahnya ini tidak bisa dilaluinya dengan mudah. Lumpur vulkanis setebal 20 cm telah menutupi kawasan di sana. Dengan menumpangi angkutan umum RIO, dia duduk di pojokan dengan wajah sendu menatap ruas jalan yang penuh lumpur. Jalanan yang rusak parah membuat mobil angkutannya itu meliuk dan bergoyang hebat. Boru Karo pun berulang menarik napas panjang dan sesekali menahan napas.
Angkutan yang ditumpanginya sulit untuk melintasi jalan tanjakan yang penuh lumpur, namun sang supir terus berusaha menempelkan kakinya di pedal gas untuk berusaha tetap dapat melintas. Usaha sang sopir banyak yang sia-sia. Ban mobilnya berputar terus, namun mobil tidak mau bergeser, hanya berdecit keras sambil meliuk ke kiri dan ke kanan saja tanpa melaju. Beruntung, dengan usaha yang luar biasa dari sopir, Boru Karo berhasil juga ke desanya, Sigaranggarang.
Sepulang dari rumahnya, sambil memeluk erat ijazah anaknya, Boru Karo mengisahkan pada Sumut Pos dengan terbata-bata tentang kondisi terkini tempat tinggalnya.
“Ambruk sudah rumahku dihantam debu Sinabung,” paparnya.
Tapi, tidak rumahnya saja. Rumah tetangga juga sudah banyak yang rata dengan tanah. “Bukan rumahku saja yang hancur, ladangku juga. Gara-gara Gunung Sinabung meletus aku tidak bisa panen kol dan kentang lagi. Acemmana ini!” rintihnya.
Kol dan kentang, dua komidutas andalan ladang Boru Karo. Tapi apa daya, panen yang dinanti tak akan diraih. “Padahal ladang itulah yang menjadi sumber penghasilanku selama ini termasuk untuk menyekolahkan semua anakku,” Boru Karo mulai terisak.
Wanita yang memiliki lima anak tersebut telah mengungsi sejak September 2013 di kantor Klasis GBKP Kabanjahe. Di posko pengungsian, dirinya dan para pengungsi lainnya harus menjalani kehidupan dengan ala kadarnya. Bahkan boleh dikatakan sangat berkekurangan. Namun dirinya terpaksa mengungsi sendirian di sini karena dua anaknya masih menimba ilmu di Unika Medan sementara dua lainnya mengungsi ke Kota Brastagi. Satuianaknya yang lain sudah menikah dan nasibnya juga sama, ya menjadi pengungsi.
Kehidupannya di pengungsian dijalani dengan penuh kesulitan. Minimnya air bersih di posko pengungsian, membuat banyak pengungsi yang tidak bisa membersihkan dirinya dengan layak. “Payah kali pun kami untuk mandi. Tak ada airnya,” terangnya.
Air yang disediakan oleh dinas terkait hanya cukup untuk masak dan mandi dua hari sekali. “Semua upaya pemerintah tidak dapat mengembalikan keceriaan saya,” pungkasnya. (rbb)