25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Yahyar: Kami Sedang Baca Takhtim di Kelas

istimewa for sumut pos
ORANGTUA KORBAN: Para orangtua pelajar yang tewas diterjang banjir bandang di Kabupaten Mandailing Natal saat acara tahlilan malam ketiga, Senin (15/10) malam.

MADINA, SUMUTPOS.CO – Jarak bongkahan batang kayu yang menggelinding dari hulu sungai, hanya sekitar beberapa menit saja dari lokasi tempat mereka belajar-mengajar. Sesaat sebelum kejadian, Yahyar Nasution, seorang guru madrasah di Desa Muara Saladi, Kecamatan Ulu Pungkut Madina, tengah membaca takhtim bersama muridnya.

DI lokasi pengungsian, Desa Huta Godang kecamatan yang sama, Yahyar menceritakan bagaimana kejadian banjir bandang, Jumat (12/10) lalu sekitar Pukul 16.30 WIB itu menimpa sekolah mereka. Suara gelondongan kayu bergemuruh menjadi tanda darurat baginya dan anak murid untuk menyelamatkan diri. Waktu sekitar satu menit di jarak puluhan meter saja, seketika itu pula dirinya harus berlari mencari tempat berlindung.

Guru madrasah berusia 33 tahun ini pun mengaku dalam waktu singkat, harus mengarahkan anak-anak didiknya berlari ke belakang sekolah untuk berlindung dari hantaman bongkahan kayu besar yang menggelinding mengikuti alur sungai kecil yang tidak jauh dari sekolah.

“Jam belajar waktu itu. Kami pas (sedang) membaca takhtim. Tiba-tiba saya dengar suara kayu seperti gemuruh. Sempat saya lihat ke bawah (hilir), kemudian saya lihat ke atas (hulu) sudah datang air memutar batang pohon yang menggelinding,” cerita Yahyar dalam bahasa Mandailing.

Melihat itu, ayah dua anak ini pun seketika menginstruksikan muridnya untuk berlari keluar kelas, ke belakang sekolah atau ke tempat yang tinggi agar tidak tertimpa gelondongan kayu. Sejumlah anak pun mengikutinya, kemudian yang lainnya ada yang berlari ke jalan atau berlari ke gedung sekolah di bagian lain di atas.

“Sebagian lagi tidak sempat lari, karena jaraknya (bongkahan kayu) 10 meter lagi sampai di sekolah. Makanya ada juga yang mengikuti saya,” katamya.

Kebun coklat di bagian atas sekolah, menjadi tempat bagi Yahyar untuk menyelamatkan diri. Berpegangan di batang pohon coklat bersama anak-anak itu, membuat dirinya kemudian selamat dari terjangan air bercampur lumpur membawa gelondongan kayu beserta akarnya ke arah Sungai Pungkut, sungai besar di Kecamatan itu.

Kurang lebih satu menit kejadian itu berlangsung kata Yahyar, ia yang berhasil lolos dari maut, langsung memeriksa anak didiknya di sekitar sekolah. Beberapa orang yang berada di luar sekolah, ia temukan tertimbun atap seng, kayu dan lumpur. Tak pikir panjang, dirinya langsung mencari satu persatu anak-anak asuhnya sebelum beberapa menit kemudian, warga kampung pun yang bahkan kehilangan rumahnya, berlari ke sekolah untuk memastikan kondisi sang anak.

Sayangnya kata Yahyar, anak-anak yang tidak sempat keluar dari ruang kelas terumbu reruntuhan tembok sekolah, bersama bongkahan kayu yang menghantam keras. Namun sesaat setelah kejadian, ia mengaku tak sempat berfikir sedih atau menangis. Hanya upaya pencarian baginya terpenting saat itu.

“Setelah itu saya lihat ke bawah, sudah rata (rumah warga). Saya temukan ada yang tertimbun lumpur, ada juga yang selamat di gedung sekolah yang di atas,” kata Yahyar yang saat itu mengajar sendiri karena sang istri yang juga guru di sana, ia minta pulang melihat rumah sebelum kejadian.

Tidak lama berselang, dia pun melihat warga desa datang berlari ke lokasi sekolah, membantu menemukan anak-anak, korban banjir bandang Madina yang menewaskan 12 orang muridnya di dalam kelas, dan tak sempat melarikan diri. Tak peduli anak siapa, Yahyar terus saja mencari sebelum bantuan pemerintah setempat datang tidak lama setelah kejadian.

Hingga kini, rasa trauma masih terus membayangi Yahyar. Bahkan sepeda motor miliknya yang rusak dihantam banjir, tak tega ia pandangi. Ia pun masih enggan melihat bagaimana kondisi sekolah dan pemukiman di Desa Muara Saladi, lokasi terparah terdampak banjir bandang. Hanya doa dan harapan, agar dirinya bersama istri bisa kembali mengajar setelah peristiwa itu, walaupun sedih bercampur takut masih kuat melekat di ingatannya.

Baginya, meskipun bukan anak kandung, murid-murid, korban banjir bandang adalah anak didiknya, yang saat itu mengaji bersama, mengajarkan takhtim untuk bekal pendidikan agama di usia sekolah dasar. Sambil bercerita, terselip harapan semoga anak-anak yang selamat, segera bisa mendapatkan pendidikan lagi, dengan bantuan pemerintah agar proses belajar mengajar bisa dilanjutkan. (bersambung)

istimewa for sumut pos
ORANGTUA KORBAN: Para orangtua pelajar yang tewas diterjang banjir bandang di Kabupaten Mandailing Natal saat acara tahlilan malam ketiga, Senin (15/10) malam.

MADINA, SUMUTPOS.CO – Jarak bongkahan batang kayu yang menggelinding dari hulu sungai, hanya sekitar beberapa menit saja dari lokasi tempat mereka belajar-mengajar. Sesaat sebelum kejadian, Yahyar Nasution, seorang guru madrasah di Desa Muara Saladi, Kecamatan Ulu Pungkut Madina, tengah membaca takhtim bersama muridnya.

DI lokasi pengungsian, Desa Huta Godang kecamatan yang sama, Yahyar menceritakan bagaimana kejadian banjir bandang, Jumat (12/10) lalu sekitar Pukul 16.30 WIB itu menimpa sekolah mereka. Suara gelondongan kayu bergemuruh menjadi tanda darurat baginya dan anak murid untuk menyelamatkan diri. Waktu sekitar satu menit di jarak puluhan meter saja, seketika itu pula dirinya harus berlari mencari tempat berlindung.

Guru madrasah berusia 33 tahun ini pun mengaku dalam waktu singkat, harus mengarahkan anak-anak didiknya berlari ke belakang sekolah untuk berlindung dari hantaman bongkahan kayu besar yang menggelinding mengikuti alur sungai kecil yang tidak jauh dari sekolah.

“Jam belajar waktu itu. Kami pas (sedang) membaca takhtim. Tiba-tiba saya dengar suara kayu seperti gemuruh. Sempat saya lihat ke bawah (hilir), kemudian saya lihat ke atas (hulu) sudah datang air memutar batang pohon yang menggelinding,” cerita Yahyar dalam bahasa Mandailing.

Melihat itu, ayah dua anak ini pun seketika menginstruksikan muridnya untuk berlari keluar kelas, ke belakang sekolah atau ke tempat yang tinggi agar tidak tertimpa gelondongan kayu. Sejumlah anak pun mengikutinya, kemudian yang lainnya ada yang berlari ke jalan atau berlari ke gedung sekolah di bagian lain di atas.

“Sebagian lagi tidak sempat lari, karena jaraknya (bongkahan kayu) 10 meter lagi sampai di sekolah. Makanya ada juga yang mengikuti saya,” katamya.

Kebun coklat di bagian atas sekolah, menjadi tempat bagi Yahyar untuk menyelamatkan diri. Berpegangan di batang pohon coklat bersama anak-anak itu, membuat dirinya kemudian selamat dari terjangan air bercampur lumpur membawa gelondongan kayu beserta akarnya ke arah Sungai Pungkut, sungai besar di Kecamatan itu.

Kurang lebih satu menit kejadian itu berlangsung kata Yahyar, ia yang berhasil lolos dari maut, langsung memeriksa anak didiknya di sekitar sekolah. Beberapa orang yang berada di luar sekolah, ia temukan tertimbun atap seng, kayu dan lumpur. Tak pikir panjang, dirinya langsung mencari satu persatu anak-anak asuhnya sebelum beberapa menit kemudian, warga kampung pun yang bahkan kehilangan rumahnya, berlari ke sekolah untuk memastikan kondisi sang anak.

Sayangnya kata Yahyar, anak-anak yang tidak sempat keluar dari ruang kelas terumbu reruntuhan tembok sekolah, bersama bongkahan kayu yang menghantam keras. Namun sesaat setelah kejadian, ia mengaku tak sempat berfikir sedih atau menangis. Hanya upaya pencarian baginya terpenting saat itu.

“Setelah itu saya lihat ke bawah, sudah rata (rumah warga). Saya temukan ada yang tertimbun lumpur, ada juga yang selamat di gedung sekolah yang di atas,” kata Yahyar yang saat itu mengajar sendiri karena sang istri yang juga guru di sana, ia minta pulang melihat rumah sebelum kejadian.

Tidak lama berselang, dia pun melihat warga desa datang berlari ke lokasi sekolah, membantu menemukan anak-anak, korban banjir bandang Madina yang menewaskan 12 orang muridnya di dalam kelas, dan tak sempat melarikan diri. Tak peduli anak siapa, Yahyar terus saja mencari sebelum bantuan pemerintah setempat datang tidak lama setelah kejadian.

Hingga kini, rasa trauma masih terus membayangi Yahyar. Bahkan sepeda motor miliknya yang rusak dihantam banjir, tak tega ia pandangi. Ia pun masih enggan melihat bagaimana kondisi sekolah dan pemukiman di Desa Muara Saladi, lokasi terparah terdampak banjir bandang. Hanya doa dan harapan, agar dirinya bersama istri bisa kembali mengajar setelah peristiwa itu, walaupun sedih bercampur takut masih kuat melekat di ingatannya.

Baginya, meskipun bukan anak kandung, murid-murid, korban banjir bandang adalah anak didiknya, yang saat itu mengaji bersama, mengajarkan takhtim untuk bekal pendidikan agama di usia sekolah dasar. Sambil bercerita, terselip harapan semoga anak-anak yang selamat, segera bisa mendapatkan pendidikan lagi, dengan bantuan pemerintah agar proses belajar mengajar bisa dilanjutkan. (bersambung)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/