31 C
Medan
Wednesday, February 26, 2025
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_img

Kasus Pelepasan HGU, Pakar Hukum Soroti Putusan Tipikor Bernuansa Perdata

DELISERDANG, SUMUTPOS.CO โ€“ Pakar hukum dari Universitas Sumatera Utara (USU) Edi Yunara, menyoroti pembayaran Rp5 miliar dari Direktur Utama PT Agung Cemara Realty (ACR) berinisial MJ, kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Deliserdang, dalam rangka memenuhi putusan kasasi Mahkamah Agung RI, pada kasus tipikor pengusaha Medan berinisial TS, yang kini sudah almarhum. TS dianggap bersalah dalam menerima pembayaran dari MJ, sebagai down payment perjanjian pengalihan tanah eks HGU PTPN 2 antara PT ACR dengan PT Erni Putra Terari (EPT).

Menurut Edi, yang pernah melakukan Forum Group Discussion (FGD) membahas kasus hukum TS, menyatakan, putusan kasasi Mahkamah Agung ini sangat aneh, dan baru pertama terjadi dalam peradilan di Indonesia.

โ€œKenapa pihak ketiga yang diminta membayar uang pengganti terpidana? Ini tidak lazim terjadi. Tapi anehnya, kenapa ini diamini oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung,โ€ ungkap Edi kepada wartawan, Sabtu (16/4) lalu.

Edi juga mengatakan, rasanya perlu ada suatu eksaminasi terhadap putusan ini. Terlepas TS bersalah atau tidak, Edi menilai, image pengadilan atau penyidik penegak hukum, khususnya jaksa saat itu sepertinya bermasalah.

โ€œDemi tegaknya keadilan, putusan ini harus dieksaminasi,โ€ katanya.

Dia juga mengatakan, sebagai akademisi, dia menilai, putusan tersebut boleh dikatakan cacat hukum. Tapi sebaliknya, jika ini jadi suatu yurisprudensi kalau seandainya itu adanya suatu korelasi hukum antara perkara tuntutan pidana tipikor dengan putusan bersifat perdata.

โ€œPutusan tipikor bernuansa perdata ini membawa kita kembali ke Oktober 2017, saat TS pertama ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung,โ€ tutur Edi.

Edi menilai, dalam FGD yang dilaksanakan di Fakultas Hukum USU beberapa waktu lalu, disimpulkan, TS tidak mungkin bersalah, karena tanah eks HGU tersebut telah dieksekusi dan diserahkan kepada pihak yang berhak.

Ditambah lagi, TS hanya berperan sebagai saksi dan kuasa direksi. Sementara, tanah tersebut sudah tidak tercatat nilainya lagi di neraca pembukuan PTPN 2.

Karena itu, kuat diduga ada peran mafia penegakan hukum dan peradilan dalam menghukum TS menjadi lebih terang, karena putusan memastikan TS harus dihukum tapi tanah harus diberikan ke pihak-pihak tertentu. Anehnya lagi, satu hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan adalah untuk PT ACR, melunasi kewajiban ke PT EPT untuk kemudian disetor ke negara.

โ€œPertanyaannya, kalau perjanjian tersebut mengakibatkan TS menjadi terpidana, kenapa perjanjian yang dianggap salah masih harus dilanjutkan? Naif sekali,โ€ sebutnya.

Dia menuturkan, dalam konteks ini masih ada upaya hukum yang bisa dilakukan ahli waris untuk membersihkan nama baik TS, meskipun sudah meninggal. Ahli waris bisa mengajukan PK (Peninjauan Kembali) ke Mahkamah Agung. โ€œAhli waris bisa mengajukan PK, itu dibenarkan. Apalagi tujuannya untuk membersihkan nama baik TS dengan dasar fakta, putusan itu seolah-olah TS bersalah dihukum tapi di satu sisi diperintahkan menerima pembayaran. Ini putusan paradoks,โ€ tukas Edi.

Pengacara TS, Fachruddin menyatakan, ahli waris TS telah mengajukan PK ke Mahkamah Agung. Namun, sejauh ini belum ada putusan. Menurut Fachruddin, banyak yang ganjil dari putusan pengadilan yang merugikan kliennya. Selama ini kliennya telah menjadi korban peradilan untuk kepentingan sekelompok orang.

Fachruddin mempertanyakan, kenapa pihak kejaksaan di 2019 menyerahkan kembali tanah kepada MJ mewakili PT ACR, sedangkan pembayaran uang pengganti tersebut belum dilunasi? Pelunasan kewajiban ke TS sebagai uang pengganti tidak serta merta berarti PT ACR bisa menerbitkan sertifikat kepemilikan atas tanah tersebut, karena kewajiban PT ACR secara yuridis adalah ke PT EPT bukan ke TS.

โ€œYang aneh, pembayaran tersebut dilakukan secara bertahap atau mencicil dengan jaminan aset rumah dan tanah MJ,โ€ beber Fachruddin.

Menanggapi hal ini, Kasi Intelijen Kejari Deliserdang, Syahron Hasibuan membenarkan, Kepala Kejari Deliserdang Jabal Nur, telah menerima kekurangan pembayaran dari almarhum Tamin Sukardi sejumlah Rp5 miliar. Pembayaran tersebut diserahkan oleh Mujianto sebagai pelaksana putusan Mahkamah Agung pada 6 April 2022. Meski begitu, Syahron tidak menjawab ketika ditanya apakah diperbolehkan Mujianto mencicil sementara tanah sudah dikembalikan?

Lalu, apa dasar Mujianto membayar sedangkan dia bukan terhukum? Syahron juga tidak merespons ketika dipertanyakan, apakah tidak melanggar hukum ahli waris disuruh membayar, karena Tamin Sukardi dipidana lantaran bayar Mujianto. (ris/saz)

DELISERDANG, SUMUTPOS.CO โ€“ Pakar hukum dari Universitas Sumatera Utara (USU) Edi Yunara, menyoroti pembayaran Rp5 miliar dari Direktur Utama PT Agung Cemara Realty (ACR) berinisial MJ, kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Deliserdang, dalam rangka memenuhi putusan kasasi Mahkamah Agung RI, pada kasus tipikor pengusaha Medan berinisial TS, yang kini sudah almarhum. TS dianggap bersalah dalam menerima pembayaran dari MJ, sebagai down payment perjanjian pengalihan tanah eks HGU PTPN 2 antara PT ACR dengan PT Erni Putra Terari (EPT).

Menurut Edi, yang pernah melakukan Forum Group Discussion (FGD) membahas kasus hukum TS, menyatakan, putusan kasasi Mahkamah Agung ini sangat aneh, dan baru pertama terjadi dalam peradilan di Indonesia.

โ€œKenapa pihak ketiga yang diminta membayar uang pengganti terpidana? Ini tidak lazim terjadi. Tapi anehnya, kenapa ini diamini oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung,โ€ ungkap Edi kepada wartawan, Sabtu (16/4) lalu.

Edi juga mengatakan, rasanya perlu ada suatu eksaminasi terhadap putusan ini. Terlepas TS bersalah atau tidak, Edi menilai, image pengadilan atau penyidik penegak hukum, khususnya jaksa saat itu sepertinya bermasalah.

โ€œDemi tegaknya keadilan, putusan ini harus dieksaminasi,โ€ katanya.

Dia juga mengatakan, sebagai akademisi, dia menilai, putusan tersebut boleh dikatakan cacat hukum. Tapi sebaliknya, jika ini jadi suatu yurisprudensi kalau seandainya itu adanya suatu korelasi hukum antara perkara tuntutan pidana tipikor dengan putusan bersifat perdata.

โ€œPutusan tipikor bernuansa perdata ini membawa kita kembali ke Oktober 2017, saat TS pertama ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung,โ€ tutur Edi.

Edi menilai, dalam FGD yang dilaksanakan di Fakultas Hukum USU beberapa waktu lalu, disimpulkan, TS tidak mungkin bersalah, karena tanah eks HGU tersebut telah dieksekusi dan diserahkan kepada pihak yang berhak.

Ditambah lagi, TS hanya berperan sebagai saksi dan kuasa direksi. Sementara, tanah tersebut sudah tidak tercatat nilainya lagi di neraca pembukuan PTPN 2.

Karena itu, kuat diduga ada peran mafia penegakan hukum dan peradilan dalam menghukum TS menjadi lebih terang, karena putusan memastikan TS harus dihukum tapi tanah harus diberikan ke pihak-pihak tertentu. Anehnya lagi, satu hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan adalah untuk PT ACR, melunasi kewajiban ke PT EPT untuk kemudian disetor ke negara.

โ€œPertanyaannya, kalau perjanjian tersebut mengakibatkan TS menjadi terpidana, kenapa perjanjian yang dianggap salah masih harus dilanjutkan? Naif sekali,โ€ sebutnya.

Dia menuturkan, dalam konteks ini masih ada upaya hukum yang bisa dilakukan ahli waris untuk membersihkan nama baik TS, meskipun sudah meninggal. Ahli waris bisa mengajukan PK (Peninjauan Kembali) ke Mahkamah Agung. โ€œAhli waris bisa mengajukan PK, itu dibenarkan. Apalagi tujuannya untuk membersihkan nama baik TS dengan dasar fakta, putusan itu seolah-olah TS bersalah dihukum tapi di satu sisi diperintahkan menerima pembayaran. Ini putusan paradoks,โ€ tukas Edi.

Pengacara TS, Fachruddin menyatakan, ahli waris TS telah mengajukan PK ke Mahkamah Agung. Namun, sejauh ini belum ada putusan. Menurut Fachruddin, banyak yang ganjil dari putusan pengadilan yang merugikan kliennya. Selama ini kliennya telah menjadi korban peradilan untuk kepentingan sekelompok orang.

Fachruddin mempertanyakan, kenapa pihak kejaksaan di 2019 menyerahkan kembali tanah kepada MJ mewakili PT ACR, sedangkan pembayaran uang pengganti tersebut belum dilunasi? Pelunasan kewajiban ke TS sebagai uang pengganti tidak serta merta berarti PT ACR bisa menerbitkan sertifikat kepemilikan atas tanah tersebut, karena kewajiban PT ACR secara yuridis adalah ke PT EPT bukan ke TS.

โ€œYang aneh, pembayaran tersebut dilakukan secara bertahap atau mencicil dengan jaminan aset rumah dan tanah MJ,โ€ beber Fachruddin.

Menanggapi hal ini, Kasi Intelijen Kejari Deliserdang, Syahron Hasibuan membenarkan, Kepala Kejari Deliserdang Jabal Nur, telah menerima kekurangan pembayaran dari almarhum Tamin Sukardi sejumlah Rp5 miliar. Pembayaran tersebut diserahkan oleh Mujianto sebagai pelaksana putusan Mahkamah Agung pada 6 April 2022. Meski begitu, Syahron tidak menjawab ketika ditanya apakah diperbolehkan Mujianto mencicil sementara tanah sudah dikembalikan?

Lalu, apa dasar Mujianto membayar sedangkan dia bukan terhukum? Syahron juga tidak merespons ketika dipertanyakan, apakah tidak melanggar hukum ahli waris disuruh membayar, karena Tamin Sukardi dipidana lantaran bayar Mujianto. (ris/saz)

spot_img

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

spot_imgspot_imgspot_img

Artikel Terbaru