MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) di konsesi TobaPulp dinilai telah memenuhi syarat sebagai ’kebun raya mini’. Penilaian ini disampaikan Komisi B DPRD Sumatera Utara, Jumat pekan lalu. Saat itu, Komisi B menyaksikan hutan alam di green belt di konsesi HTI di Aeknauli, dekat Parapat, yang masih tumbuh lebat dan dilindungi, berdampingan dengan tanaman-pokok ekaliptus.
“KPPN dinilai telah memenuhi syarat sebagai ‘kebun raya mini’. Tinggal membenahi sedikit saja. Hanya memerlukan sedikit penyempurnaan seperti penyiapan akses masuk dan fasilitas lain. Usul “kebun raya mini” saya pikir ide kreatif,” kata Direktur TobaPulp (PT Toba Pulp Lestari,Tbk), Juanda Panjaitan, di Medan, Kamis (18/12/2014).
KPPN adalah satu dari tiga komponen area hutan alam yang dipertahankan dan dilindungi di areal konsesi TPL untuk mengemban fungsi lindung. KPPN area yang dicadangkan sebagai tempat berlangsung dan berkembangnya kehidupan flora dan fauna endemik secara lestari serta sebagai representasi kawasan biodiversitas. Dua lainnya, sempadan sungai hutan alam berfungsi memelihara kontiniunitas dan kualitas air sungai, sekaligus sebagai koridor satwa liar. Sedangkan green belt yaitu hutan alam yang dipertahankan sebagai sekat antar blok HTI (hutan tanaman industri), di samping sebagai pengatur tata air (resapan air tanah).
Dalam kunjungan lapangan Komisi-B DPRD Sumut pimpinan Donald Lumbanbatu SE (Gerindra), anggota komisi Ir Ramses Simbolon (Gerindra) secara spontan mengusulkan agar TobaPulp membangun “kebun raya mini” saat menyaksikan hutan alam –termasuk di dalamnya tanaman kehidupan aren– di green belt masih terpelihara baik. Pohon-pohon aren itu masih saja dapat diambil hasil (air nira)-nya oleh petani sekitar hutan.
Ramses menyebut istilah “kebun raya” untuk dua tujuan. Pertama, agar hasil non-kayunya tetap dapat diambil oleh petani. Kedua, supaya dapat dikunjungi publik dalam konsep wisata-hutan (ecotourisme). Wisata-hutan sendiri dapat menghasilkan manfaat ganda, yakni agar publik mengenali hutan tropis sebagai kekayaan alam Indonesia, serta sekaligus memahami pengelolaan HTI secara bertanggung jawab tidak menghalangi perlindungan terhadap hutan alam dalam porsi yang cukup.
KPPN
Areal KPPN, sempadan sungai, dan green belt tersedia lebih dari cukup di konsesi Toba Pulp seluas l.k. 190 ribu hektare, karena kebijakan tata ruang areal kerja yang mencadangkan kawasan lindung dan tanaman kehidupan lebih luas dari yang diwajibkan peraturan.
Untuk kawasan lindung, misalnya, disediakan areal seluas 45.590 hektar (24,2%) atau lebih luas dari kewajiban 10%. Sedangkan untuk tanaman kehidupan seluas 14.226 hektar (7,6%) lebih luas dari kewajiban 5%.
Hal itu dimungkinkan karena perusahaan hanya mengambil porsi untuk penanaman tanaman pokok ekaliptus (Eucalyptus spp) sebesar 40% (sekitar 75 ribu hektar) atau jauh lebih kecil dari porsi yang diizinkan hingga 70% (112 ribu hektar). Kebijakan itu untuk lebih memastikan bahwa hutan alam tersedia dalam porsi cukup untuk mengemban fungsi lindung. Sebab pembangunan HTI oleh perusahaan menganut filosofi “lestari dan berkelanjutan (sustainable).”
KPPN ada di sektor Aeknauli (masuk wilayah administrasi kabupaten Simalungun dan Asahan) dan Sektor Tele (masuk wilayah administrasi kabupaten Humbahas, Samosir, Dairi, Pakpak Bharat). KPPN ini adalah suatu area cukup luas di dalam konsesi, yang sengaja dipertahankan tetap sebagai hutan alam, agar tetap dapat menjadi tempat hidup dan berkembang flora dan fauna untuk selama-lamanya.
Ada 3 lokasi area KPPN. Dua di antaranya di sektor Aek Nauli masing-masing seluas 359 hektar dan 159 hektar. Satu lagi di sektor Tele seluas 491 hektar. Sedikitnya 100 jenis pohon mengisi KPPN. Sebagian masuk kategori tanaman kehidupan dan sebagian lagi tanaman unggulan.
Tanaman kehidupan adalah tanaman yang hasil non-kayunya seperti getah, buah, dan airnya bernilai ekonomis dapat diambil oleh masyarakat sekitar hutan. Contohnya aren, kayu manis, kemenyan (haminjon), kemiri dan mangga. Adapun tanaman unggulan ialah tanaman masuk kategori kayu indah, nilai ekonomisnya tinggi untuk dijadikan kayu pertukangan, tetapi dilestarikan alias tidak dipanen untuk kepentingan sejarah dan penelitian. Contohnya kruing, meranti, sampinur dan ingul.
Ratusan jenis tanaman di KPPN itu di antaranya: alpukat, andaliman, anggrek toba, aren, attarasa, antahase (Weinmannia blumei), antuang (Manglictia glauca), api-api (Adinandra gumosa), beringin, bunga bangkai (Rafflesia), dadap, dakkap, epifit, durian, harimonting, horbo-horbo (Talauma rubra), humbang, hapas-hapas (Exbucklandia populnea),hatinggiran (Carallia brachiata), haundolok (Eugenia spp), hoting (Quercus spp), dan kaliandra. Kemudian kapur, kayu manis, kemenyan, kemiri, kruing, martolu (Schima wallichii), modang (Letsia firma), mangga hutan, meranti, mudar-mudar (Horsfieldia spp), nanggas (Styrax serrulatus), pinus, petai batak (pote), petani cina, prakpak (Schima spp), dan pasir-pasir. Seterusnya raru (Tarrietia rubiginosa), sampinur (Podocarpus imbricatus), sitarak (Macaranga Spp), sirih, sirsak, saur manaik, sipang-sipang (Scaphium macropodium) dan suren (ingul).
Menurut Juanda, seluruh vegetasi hutan di KPPN, sempadan sungai dan green belt tersebut, sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk mengemban fungsi kebun raya mini sebagaimana diusulkan DPRD Sumut. Hanya memerlukan sedikit penyempurnaan seperti penyiapan akses masuk dan fasilitas lain. Jadi masih perlu proses.
Ia lalu mengisahkan pengalaman para awak perusahaan sebagai ilustrasi menarik. Di tengah salah satu hutan KPPN di Aeknauli, mengalir sungai kecil berair jernih, sejuk, dan arusnya cukup deras. Pada pagi hari, saat matahari belum naik sepenggalah, suara burung dan hewan hutan –salah satunya siamang (imbo) — terdengar seakan bersahut-sahutan. Hal serupa juga terjadi pada saat mata hari mulai tenggelam. Tempo-tempo, bunga rafflesia pun tumbuh di KPPN dan sempadan sungai Tele. Hewan rusa, kijang, kancil ukuran besar (napuh), kambing hutan, kia-kia (lutung), beruk, monyet, kukang, musang, apalagi celeng (babi hutan) masih jamak ditemukan di kawasan lindung Tele dan Aek Nauli.
Demikian juga berbagai burung, seperti: tangkar uli sumatera, ayam hutan, sempidan aceh, elang, raja udang emas, rangkong, srigunting, kicuit, tekukur, perkutut, puyuh dan burung kipas, serta reptilian semisal ular phyton, biawak dan bunglon masih lazim dipergoki.
Di green belt Aek Nauli, dan juga di ladang milik penduduk di luar garis batas konsesi, petani saban hari datang maragat (menyadap air nira pohon-pohon aren) untuk diolah menjadi gula merah dan juga minuman khas lokal, tuak. Intinya, bagaikan air mengalir keserasian hidup di hutan masih terus berlangsung alami. (rel/mea)