MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sulitnya mendapatkan batu giok saat ini ‘memaksa’ para pecinta batu khususnya keturunan Tionghoa di Medan, beralih ke batu jenis bacan dan pancawarna. Pilihan itu diambil karena kilau dan warna kedua batu itu tak kalah dengan giok.
Hal ini dikatakan Ketua Pecinta Batu Permata Sumatera Utara, Marojahan Batubara SE saat diwawancarai, Kamis (19/2).
“Kebanyakan mereka suka Giok Maijid dari Birma. Namun, giok jenis itu sudah sangat sulit didapat dan harganya mahal, sampai puluhan juta. Begitu juga dengan batu jenis Giok Nevrid yang terbilang ada di beberapa negara, tapi saat ini terbilang sulit didapat. Oleh karenanya, mereka beralih ke jenis batu bacan dan pancawarna,” ungkap Marojahan.
Selain itu, Marojahan juga menyebut warga keturunan Tionghoa pecinta batu di Medan juga melihat dari warna batu. Dikatakannya, saat ini kebanyakan mereka memakai batu berwarna hijau, biru dan merah. Sedang secara umum, batu dengan warna tersebut juga banyak digunakan para pecinta batu, khususnya jenis bacan, safir,ruby dan kalsadoni. Hal senada juga disampaikan ahli dan pengamat batu lainnya bernama Lutfi.
Disebut Lutfi juga menyebut pecinta batu saat ini sudah beralih ke jenis bacan.Selain kekerasan yang terdapat pada batu itu yang melebihi batu jenis giok.
“Menurut saya dan juga pengakuan mereka, warna hijau dari bacan itu, bagi mereka Fengsui,” ungkap Lutfi. Begitu juga dengan aura dingin yang ditimbulkan batu bacan, disebut Lutfi menjadi alasan mereka beralih ke batu Bacan. Terlebih, disebut Lutfi kalau batu jenis bacan saat ini sudah tergolong batu mulia, sehingga sejajar dengan batu-batu lain yang berstandard internasional. (ain/deo)
MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sulitnya mendapatkan batu giok saat ini ‘memaksa’ para pecinta batu khususnya keturunan Tionghoa di Medan, beralih ke batu jenis bacan dan pancawarna. Pilihan itu diambil karena kilau dan warna kedua batu itu tak kalah dengan giok.
Hal ini dikatakan Ketua Pecinta Batu Permata Sumatera Utara, Marojahan Batubara SE saat diwawancarai, Kamis (19/2).
“Kebanyakan mereka suka Giok Maijid dari Birma. Namun, giok jenis itu sudah sangat sulit didapat dan harganya mahal, sampai puluhan juta. Begitu juga dengan batu jenis Giok Nevrid yang terbilang ada di beberapa negara, tapi saat ini terbilang sulit didapat. Oleh karenanya, mereka beralih ke jenis batu bacan dan pancawarna,” ungkap Marojahan.
Selain itu, Marojahan juga menyebut warga keturunan Tionghoa pecinta batu di Medan juga melihat dari warna batu. Dikatakannya, saat ini kebanyakan mereka memakai batu berwarna hijau, biru dan merah. Sedang secara umum, batu dengan warna tersebut juga banyak digunakan para pecinta batu, khususnya jenis bacan, safir,ruby dan kalsadoni. Hal senada juga disampaikan ahli dan pengamat batu lainnya bernama Lutfi.
Disebut Lutfi juga menyebut pecinta batu saat ini sudah beralih ke jenis bacan.Selain kekerasan yang terdapat pada batu itu yang melebihi batu jenis giok.
“Menurut saya dan juga pengakuan mereka, warna hijau dari bacan itu, bagi mereka Fengsui,” ungkap Lutfi. Begitu juga dengan aura dingin yang ditimbulkan batu bacan, disebut Lutfi menjadi alasan mereka beralih ke batu Bacan. Terlebih, disebut Lutfi kalau batu jenis bacan saat ini sudah tergolong batu mulia, sehingga sejajar dengan batu-batu lain yang berstandard internasional. (ain/deo)