TANJUNGBALAI, SUMUTPOS.CO – Banyak pelabuhan yang memiliki jasa ferry sebagai jembatan penghubung Indonesia-Malaysia, salah satunya Pelabuhan Tanjung Balai, Sumatera Utara. Uniknya, pelabuhan ini berada di tengah ‘pelabuhan tikus’.
Ketika wartawan menyambangi pelabuhan yang terletak di Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara, Kamis (19/6), tampak bangunan berwarna kuning gading ramai dengan sejumlah orang di parkiran gedung yang hanya seluas satu lapangan futsal. Di tengah gedung terdapat pintu utama dari kaca yang terbuka.
“Dari tahun 1980-an lah pelabuhan ini sudah beroperasi. Dari dulu, sejak sebelum ada kota, ini nelayan semua. Pelabuhan ini berangkat dari Sungai Silau ke Port Klang di Malaysia,” kata Kepala Kantor Imigrasi Tanjung Balai, Ridwan Manurung.
Sebelum pintu masuk ke dalam gedung, di sisi kiri terdapat loket pas pelabuhan yang tidak beroperasi, padahal sejumlah penumpang dan pengantar telah berada di dalam gedung. Begitu masuk, terdapat sebuah toserba sederhana di samping ruang tunggu pengantar yang hanya berukuran 4×4 meter.
Ruangan pengantar dengan ruangan steril khusus penumpang hanya dipisahkan sekat setinggi 50 cm. Sehingga, bukan penumpang pun bisa masuk ke ruangan steril. Di ruangan steril tampak mesin X-ray besar milik Bea dan Cukai. Saat wartawan ada di pelabuhan itu, mesin tersebut tak beroperasi.
Di ruangan steril ini, banyak orang bukan petugas hilir mudik hingga ke booth imigrasi, di mana paspor dan keperluan penumpang diperiksa petugas. Orang yang hilir mudik itu tampak berbincang-bincang dengan salah satu oknum petugas. Entah apa yang mereka perbincangkan, namun setelah itu muncul seorang penumpang wanita yang ingin ke Malaysia.
“Kita sesuai SOP, lihat paspor, kondisi baik, dicekal juga tidak ada dalam daftar. Kalau ada masalah, kita selidiki,” ujar Ridwan.
Booth atau loket imigrasi di pelabuhan kecil ini hanya ada dua. Sehingga penumpang harus mengantre walau tak sepanjang di bandara internasional di Indonesia. Setelah loket imigrasi, terdapat ruang tunggu penumpang, 60 persen luas gedung itu digunakan untuk ruang tunggu penumpang.
“Kapal ferry di sini satu kali keberangkatan dan satu kali kedatangan setiap harinya. Rata-rata penumpang 300 orang, sebulan bisa sampai 9.000 orang. Normalnya Tanjung Balai-Port Klang itu 4-5 jam, tapi ada speedboat juga itu 3 jam,” kata Ridwan.
Sesekali penumpang yang sudah berada di kapal kembali turun untuk meminta stempel imigrasi, rupanya mereka masuk ke dermaga melalui pintu kedatangan. Pintu keberangkatan dan pintu kedatangan hanya berjarak 10 meter. Dua pintu ini pun terhubung di dalam gedung dan di luar gedung.
Pelabuhan ini dikelilingi pemukiman nelayan. Kiri-kanannya pun rumah warga yang disulap menjadi gudang ikan untuk nelayan yang baru selesai melaut. Banyaknya kapal nelayan yang tak kalah besar dengan ferry itu membuat pelabuhan ini sebagai jembatan Indonesia-Malaysia di tengah ‘pelabuhan tikus’.
“Umumnya ini, kapalnya malah orang nelayan, dialih fungsi tadi seperti itu. Mungkin sudah ada jaringan mereka, sulit diawasi dengan sarana prasarana kita,” ujar Ridwan. (net/bbs)