30.6 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Budaya Taat Aturan Masih Lemah, Penanganan Covid-19 di Sumut Bisa Lebih Panjang

TEMU PERS: Abdul Hakim Siagian dalam konferensi pers di Media Center Gugus Tugas Penanganan Percepatan Covid-19 Kantor Gubsu, Senin (20/4).
TEMU PERS: Abdul Hakim Siagian dalam konferensi pers di Media Center Gugus Tugas Penanganan Percepatan Covid-19 Kantor Gubsu, Senin (20/4).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Masa penanggulangan virus Corona atau Covid-19 di Sumatera Utara dapat semakin panjang, jika masyarakat tidak taat aturan dan imbauan yang ditetapkan pemerintah.

Selain itu, sikap tidak disiplin dengan protokol yang berlaku, juga akan menimbulkan regulasi-regulasi lain yang lebih menekan dan dampaknya lebih menyulitkan serta merepotkan, khususnya bagi masyarakat yang bekerja di sektor informal dengan penghasilan tidak tetap dan rendahn

“Budaya taat hukum atau aturan yang masih lemah di tengah masyarakat, bisa memperpanjang masa penanganan wabah Covid-19. Untuk itu, diharapkan aturan yang berlaku seperti social distancing atau jaga jarak, mengenakan masker, tidak membuat aktivitas kerumunan serta berdiam di rumah saat tidak ada kepentingan dilaksanakan dengan benar,” kata Abdul Hakim Siagian dalam konferensi pers di Media Center Gugus Tugas Penanganan Percepatan (GTPP) Covid-19 Kantor Gubsu, Senin (20/4).

Sesuai tajuk yang dibahas tentang ‘Usul, Regulasi dan Perannya dalam Penanganan Covid-19 di Sumut’, Abdul Hakim mengungkapkan, selain bisa memperpanjang masa penanganan wabah, tidak disiplin dengan protokol yang berlaku juga akan menimbulkan regulasi-regulasi lain yang lebih menekan dan dampaknya lebih menyulitkan serta merepotkan khususnya bagi masyarakat yang bekerja di sektor informal, pekerja dengan penghasilan tidak tetap dan rendah.

“Kita berharap karantina wilayah atau PSBB tidak perlu diambil. Tetapi jika memang harus, maka ketegasan aparat dalam memberikan sanksi dan kerja sama masyarakat sangat dibutuhkan,” tuturnya.

Dalam sistem hukum, lanjut dia, ada tiga aspek strategis yang paling penting dalam penanganan Covid-19. Pertama, kelembagaan. Situasi di Sumut menunjukkan bahwa kelembagaan terkait penanganan Covid-19 sudah bersinergi dengan baik. “Saya menilai seluruh pihak sudah bahu-membahu dan saling rangkul dalam menghadapi wabah ini. Apresiasi saya sampaikan kepada Pemprov Sumut, gugus tugas dan tentunya tim medis selaku garda terdepan,” ucapnya.

Berikutnya, substansi peraturan perundang-undangan menyangkut tentang posisi dan kondisi Sumut saat ini. Sebagaimana diketahui, Gubernur Sumut telah menaikkan status Sumut dari Siaga Darurat menjadi Tanggap Darurat Covid-19. Dengan begitu, tinggal selangkah lagi. “Justru karena itu, kita berharap jangan sampai regulasi ini harus, mesti, menekan, memaksa, Pemprovsu mengusulkan ke menteri Kesehatan untuk menerapkan PSBB,” sebutnya.

Terakhir, adalah budaya hukum terkait ketaatan masyarakat dan ketegasan aparat. “Budaya hukum kita masih lemah. Poin paling penting dalam pendekatan hukum yang perlu kita ingat adalah kalau kita tidak patuh konsekuensinya bisa dikenai kurungan penjara,” tegasnya.

Meski begitu, Abdul Hakim menilai, dalam Maklumat Kapolri Nomor 1/2020 yang berlaku efektif 19 Maret lalu sudah efektif ditiadakan keramaian dan sebagainya.Walau demikian, menurut dia, evaluasinya kurang begitu efektif dan tak berhasil karena respon masyarakat ada sebagian yang memandang enteng. Bahkan, di aparat kepolisiannya juga belum bersinergi sedemikian rupa.

Dengan kata lain, dari pendekatan kultur budaya ini jangan sampai menyebabkan Sumut harus mengikuti Jakarta, Jawa Barat sebagian kabupaten/kota dan Sumatera Barat. “Kita berharap masyarakat disiplin, taat kepada hukum dan ini sejalan dengan Majelis Ulama Indonesia yang menganjurkan bila dalam kondisi tidak sehat maka beribadahlah di rumah,” tuturnya.

Lebih lanjut Abdul Hakim mengatakan, jika memang nantinya karantina wilayah (PSBB) jadi diterapkan di Sumut, diharapkan ketegasan aparat, disiplin masyarakat, harus menunjukkan kebersamaan. Karena, dengan begitu mata rantai penularan Covid-19 bisa dicegah dan ditekan. Kalau tidak, banyak prediksi dan analisis bahwa Indonesia akan mengalami puncak pada Mei-Juni. Bahkan, analisis dari kalangan universitas terkenal di luar negeri kemungkinan Indonesia akan menerapkan social dan physical distancing sampai 2022.

“Jika ini yang dihadapi tentu akan sulit membayangkan bagaimana dampak dari bencana yang dialami oleh masyarakat secara ekonomi terganggu. Realitanya, saat ini masyarakat miskin di Indonesia jumlahnya lebih dari 30 juta, dan juga rentan terhadap pekerja sektor informal,” paparnya.

Maka dari itu, tidak bisa tidak bila PSBB diterapkan. Disisi lain muncul tanggung jawab negara yang harus memenuhi kebutuhan masyarakat, dan ini bukan persoalan mudah. Apalagi, sekarang ini Pemprovsu sedang giat-giatnya melakukan berbagai program pembangunan yang sudah dijalankan dan direncanakan, sehingga pastinya terkendala. Sementara, masyarakat akan lebih buruk menghadapi hal lain.

“Untuk itu, penerapan social dan physical distancing ini dipatuhi dengan bekerja dari rumah, tidak keluar rumah dan lainnya. Hal ini kemungkinan yang efektif untuk memutus mata rantai penularan virus. Jika tidak efektif juga nantinya, diharapkan gubernur Sumut berani dan harus didukung masyarakat untuk mengusulkan PSBB kepada menteri Kesehatan. Dan bila ini menjadi pilihan terakhir, kita berharap ketegasan aparat hukum, ketaatan masyarakat mematuhinya. Diharapkan pula kesiapan seluruh aparatur pemerintah terkait untuk mem-back up kebutuhan yang tersedia,” cetusnya.

Pun demikian, tambah dia, gubernur Sumut tak berharap mengusulkan PSBB. Akan tetapi, sejumlah kabupaten/kota di Sumut sudah masuk kategori zona merah. Hal ini sudah cukup syarat salah satunya untuk mengajukan PSBB. Namun, di samping itu tidak ingin banyak kecolongan dan menjadi korban.

“PSBB adalah pilihan terakhir. Oleh karenanya, diminta kepada masyarakat Sumut untuk taat terhadap imbauan pemerintah dan tokoh agama dalam pencegahan penularan virus ini. Kita berharap ketegasan gubernur Sumut dan merespon cepat situasi serta kondisi yang terjadi saat ini, jangan mau terlalu kecolongan apabila kriteria syarat untuk mengajukan PSBB sudah dipenuhi. Maka, konsekuensi yang tidak bisa ditolak sehingga Sumut akan masuk PSBB,” pungkas Abdul Hakim.

Sebelumnya, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi memastikan belum menerapkan PSBB dalam penanganan pandemi Covid-19. Menurut Edy, saat ini Sumut menggunakan konsep penyelesaian Covid-19 ini secara fisik dan nonfisik. Secara fisik, yaitu menyiapkan rumah sakit beserta tim medis dan segala peralatan yang dibutuhkan untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan orang yang terpapar virus corona. Sedangkan penanganan secara nonfisik, menyiapkan dampak sosial kepada seluruh masyarakat Sumut. Terutama, bagi mereka yang berdampak langsung mengalami penurunan pendapatan, sehingga sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. (prn/ris)

TEMU PERS: Abdul Hakim Siagian dalam konferensi pers di Media Center Gugus Tugas Penanganan Percepatan Covid-19 Kantor Gubsu, Senin (20/4).
TEMU PERS: Abdul Hakim Siagian dalam konferensi pers di Media Center Gugus Tugas Penanganan Percepatan Covid-19 Kantor Gubsu, Senin (20/4).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Masa penanggulangan virus Corona atau Covid-19 di Sumatera Utara dapat semakin panjang, jika masyarakat tidak taat aturan dan imbauan yang ditetapkan pemerintah.

Selain itu, sikap tidak disiplin dengan protokol yang berlaku, juga akan menimbulkan regulasi-regulasi lain yang lebih menekan dan dampaknya lebih menyulitkan serta merepotkan, khususnya bagi masyarakat yang bekerja di sektor informal dengan penghasilan tidak tetap dan rendahn

“Budaya taat hukum atau aturan yang masih lemah di tengah masyarakat, bisa memperpanjang masa penanganan wabah Covid-19. Untuk itu, diharapkan aturan yang berlaku seperti social distancing atau jaga jarak, mengenakan masker, tidak membuat aktivitas kerumunan serta berdiam di rumah saat tidak ada kepentingan dilaksanakan dengan benar,” kata Abdul Hakim Siagian dalam konferensi pers di Media Center Gugus Tugas Penanganan Percepatan (GTPP) Covid-19 Kantor Gubsu, Senin (20/4).

Sesuai tajuk yang dibahas tentang ‘Usul, Regulasi dan Perannya dalam Penanganan Covid-19 di Sumut’, Abdul Hakim mengungkapkan, selain bisa memperpanjang masa penanganan wabah, tidak disiplin dengan protokol yang berlaku juga akan menimbulkan regulasi-regulasi lain yang lebih menekan dan dampaknya lebih menyulitkan serta merepotkan khususnya bagi masyarakat yang bekerja di sektor informal, pekerja dengan penghasilan tidak tetap dan rendah.

“Kita berharap karantina wilayah atau PSBB tidak perlu diambil. Tetapi jika memang harus, maka ketegasan aparat dalam memberikan sanksi dan kerja sama masyarakat sangat dibutuhkan,” tuturnya.

Dalam sistem hukum, lanjut dia, ada tiga aspek strategis yang paling penting dalam penanganan Covid-19. Pertama, kelembagaan. Situasi di Sumut menunjukkan bahwa kelembagaan terkait penanganan Covid-19 sudah bersinergi dengan baik. “Saya menilai seluruh pihak sudah bahu-membahu dan saling rangkul dalam menghadapi wabah ini. Apresiasi saya sampaikan kepada Pemprov Sumut, gugus tugas dan tentunya tim medis selaku garda terdepan,” ucapnya.

Berikutnya, substansi peraturan perundang-undangan menyangkut tentang posisi dan kondisi Sumut saat ini. Sebagaimana diketahui, Gubernur Sumut telah menaikkan status Sumut dari Siaga Darurat menjadi Tanggap Darurat Covid-19. Dengan begitu, tinggal selangkah lagi. “Justru karena itu, kita berharap jangan sampai regulasi ini harus, mesti, menekan, memaksa, Pemprovsu mengusulkan ke menteri Kesehatan untuk menerapkan PSBB,” sebutnya.

Terakhir, adalah budaya hukum terkait ketaatan masyarakat dan ketegasan aparat. “Budaya hukum kita masih lemah. Poin paling penting dalam pendekatan hukum yang perlu kita ingat adalah kalau kita tidak patuh konsekuensinya bisa dikenai kurungan penjara,” tegasnya.

Meski begitu, Abdul Hakim menilai, dalam Maklumat Kapolri Nomor 1/2020 yang berlaku efektif 19 Maret lalu sudah efektif ditiadakan keramaian dan sebagainya.Walau demikian, menurut dia, evaluasinya kurang begitu efektif dan tak berhasil karena respon masyarakat ada sebagian yang memandang enteng. Bahkan, di aparat kepolisiannya juga belum bersinergi sedemikian rupa.

Dengan kata lain, dari pendekatan kultur budaya ini jangan sampai menyebabkan Sumut harus mengikuti Jakarta, Jawa Barat sebagian kabupaten/kota dan Sumatera Barat. “Kita berharap masyarakat disiplin, taat kepada hukum dan ini sejalan dengan Majelis Ulama Indonesia yang menganjurkan bila dalam kondisi tidak sehat maka beribadahlah di rumah,” tuturnya.

Lebih lanjut Abdul Hakim mengatakan, jika memang nantinya karantina wilayah (PSBB) jadi diterapkan di Sumut, diharapkan ketegasan aparat, disiplin masyarakat, harus menunjukkan kebersamaan. Karena, dengan begitu mata rantai penularan Covid-19 bisa dicegah dan ditekan. Kalau tidak, banyak prediksi dan analisis bahwa Indonesia akan mengalami puncak pada Mei-Juni. Bahkan, analisis dari kalangan universitas terkenal di luar negeri kemungkinan Indonesia akan menerapkan social dan physical distancing sampai 2022.

“Jika ini yang dihadapi tentu akan sulit membayangkan bagaimana dampak dari bencana yang dialami oleh masyarakat secara ekonomi terganggu. Realitanya, saat ini masyarakat miskin di Indonesia jumlahnya lebih dari 30 juta, dan juga rentan terhadap pekerja sektor informal,” paparnya.

Maka dari itu, tidak bisa tidak bila PSBB diterapkan. Disisi lain muncul tanggung jawab negara yang harus memenuhi kebutuhan masyarakat, dan ini bukan persoalan mudah. Apalagi, sekarang ini Pemprovsu sedang giat-giatnya melakukan berbagai program pembangunan yang sudah dijalankan dan direncanakan, sehingga pastinya terkendala. Sementara, masyarakat akan lebih buruk menghadapi hal lain.

“Untuk itu, penerapan social dan physical distancing ini dipatuhi dengan bekerja dari rumah, tidak keluar rumah dan lainnya. Hal ini kemungkinan yang efektif untuk memutus mata rantai penularan virus. Jika tidak efektif juga nantinya, diharapkan gubernur Sumut berani dan harus didukung masyarakat untuk mengusulkan PSBB kepada menteri Kesehatan. Dan bila ini menjadi pilihan terakhir, kita berharap ketegasan aparat hukum, ketaatan masyarakat mematuhinya. Diharapkan pula kesiapan seluruh aparatur pemerintah terkait untuk mem-back up kebutuhan yang tersedia,” cetusnya.

Pun demikian, tambah dia, gubernur Sumut tak berharap mengusulkan PSBB. Akan tetapi, sejumlah kabupaten/kota di Sumut sudah masuk kategori zona merah. Hal ini sudah cukup syarat salah satunya untuk mengajukan PSBB. Namun, di samping itu tidak ingin banyak kecolongan dan menjadi korban.

“PSBB adalah pilihan terakhir. Oleh karenanya, diminta kepada masyarakat Sumut untuk taat terhadap imbauan pemerintah dan tokoh agama dalam pencegahan penularan virus ini. Kita berharap ketegasan gubernur Sumut dan merespon cepat situasi serta kondisi yang terjadi saat ini, jangan mau terlalu kecolongan apabila kriteria syarat untuk mengajukan PSBB sudah dipenuhi. Maka, konsekuensi yang tidak bisa ditolak sehingga Sumut akan masuk PSBB,” pungkas Abdul Hakim.

Sebelumnya, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi memastikan belum menerapkan PSBB dalam penanganan pandemi Covid-19. Menurut Edy, saat ini Sumut menggunakan konsep penyelesaian Covid-19 ini secara fisik dan nonfisik. Secara fisik, yaitu menyiapkan rumah sakit beserta tim medis dan segala peralatan yang dibutuhkan untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan orang yang terpapar virus corona. Sedangkan penanganan secara nonfisik, menyiapkan dampak sosial kepada seluruh masyarakat Sumut. Terutama, bagi mereka yang berdampak langsung mengalami penurunan pendapatan, sehingga sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. (prn/ris)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/