Sebuah bangunan tua peninggalan Belanda masaih berdiri di pinggir Jalan Panglima Sudirman Kelurahaan Labuhanbulik Kabupaten Labuhanbatu. Walau mulai usang, namun ada yang menarik perhatian wartawan koran ini saat berada di dalamnya. Apa itu?
Wartawan koran ini dengan mengendarai sepeda motor menuju ke Kelurahan Labuhanbilik, Kecamatan Panai Tengah, Kabupaten Labuhanbatu, Minggu (15/6) siang. Tiba di tangkahan/pelabuhan Tanjungsarangelang sepeda motor harus dinaikan dengan menggunakan kapal melintasi perairan Seiberombang. Sekitar 20 menit perjalanan, kapal pengangkut sepeda motor tadi merapat ke Pelabuhan Labuhanbilik, yang baru rampung dibangun. Sesaat kemudian awak media berjalan pelan menuju sebuah bangunan tua peninggalan Belanda.
Sekilas jika dipandang dari depan, tidak ada yang istimewa. Di sana hanya berdiri sebuah bangunan bertembok batu ukuran sekitar 4X5 meter dan kondisinya sedikit agak miring dikarenakan termakan usia. Ternyata, banguna tersebut adalah dinding yang menutupi satu buah sumur bor dengan dua alur pembuangan air.
Ketika masuk ke dalam, lantai sumur hampir keseluruhan terkelupas, menurun dan anjlok berkisar 10 centimeter.
Kebetulan, Kepala Lingkungan II Labuhanbilik, Hasan Basri saat itu sedang mencuci tangan usai melakukan pekerjaan. Dari dia lah dikorek informasi bahwa sumur bor peninggalan Belanda itu telah berusia 107 tahun.
“Sumur itu dibangun rahun 1906,” kata Basri kepada wartawan koran ini.
Menurut Hasan Basri sumur bor itu memiliki keunikan. Pipa penyalurnya yang belum pernah diganti tetap mengeluarkan air yang hangat tanpa menggunakan mesin pengisap.
Berbeda dengan sumut bor milik masyarakat, jika tidak menggunakan mesin pengisap, air tidak akan dapat keluar seperti itu. “Kalau warga di sini harus menggunakan mesin pengisap, tapi kalau sumur bor ini dari dulu begini saja ini, jalan saja terus dari pagi ke pagi. Pipanyapun masih yang dulu belum pernah diganti,” katanya sembari menyarankan penulis untuk mencoba air yang keluar di dua ujung pipa.
Benar memang. air bening yang keluar dari pipa sumur bor itu terasa panas namun tidak membuat kulit melepuh. Wajar saja jika orang-orang di sana sejak 107 tahun silam tidak khawatir untuk memandikan bayinya walau hari masih terlalu pagi. “Bahkan air itu bisa menghilangkan kudis-kudis kalau sering mandi di sini,” tambah Basri.
Keberadaan sumur bor peninggalan Belanda tersebut diakuinya sangat berguna bagi warga, khususnya untuk mandi dan mencuci. Tetapi air yang bening itu ternyata tidak dapat digunakan untuk menanak nasi.
“Kalau untuk masak nasi nanti nasinya jadi berwarna kuning, namun kalau untuk mencuci sayur baru dimasak pakai air lain, warna sayurnya pasti hijau kali, selera jadi kita melihatnya,” terang Hasan Basri lagi. Basri berharap pemerintah mau merehabil peninggalan Belanda itu. (jok)