26.7 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Tolak Tagihan Pajak Restoran dan Rumah Makan, PKL Binjai Buat Petisi

BINJAI, SUMUTPOS.CO – Kebijakan Pemerintah Kota (Pemko) Binjai terkait penagihan pajak restoran dan rumah makan kepada pedagang kaki lima (PKL), masih jadi masalah. Soalnya, penagihan pajak yang ditekankan oleh Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Binjai dilakukan saat pandemi.

PETISI: PKL Kota Binjai membuat petisi yang digagas Komunitas Bikoku atas kebijakan Pemko menagih pajak restoran dan rumah makan di Kota Binjai.

Karenanya, PKL di Kota Binjai menggalang kekuatan dengan petisi untuk menggagalkan penagihan pajak restoran dan rumah makan tersebut. Mereka yang menyatakan setuju agar Pemko Binjai membatalkan penagihan pajak menandatangani spanduk sepanjang lima meter.

“Kami dari Komunitas Binjai Kotaku (Bikoku), mewakili teman-teman PKL memohon kepada Wali Kota Binjai, jangan dikutip pajak restoran kepada pedagang,” ujar Koordinator Komunitas Bikoku, Maya Susanti di Jalan Raimin, Binjai Timur, Rabu (22/9).

Spanduk berisi tulisan menolak penagihan pajak restoran dan rumah makan kepada PKL serta ditandatangani oleh mereka yang rencananya akan diserahkan kepada Wali Kota Binjai, Amir Hamzah. Dia menceritakan, awalnya secara pribadi menolak dengan tegas kebijakan pajak kepada PKL melalui media sosial.

Seiring berjalannya waktu, dia mendapat banyak pengaduan dari PKL atas keresahan pajak restoran tersebut. Bahkan, keresahan tersebut mendorong teman-teman PKL untuk turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka di depan Balai Kota Binjai.

Namun, Maya menolaknya atas sejumlah pertimbangan. Atas hal ini, terbentuklah sebuah petisi untuk menolak pajak kepada PKL.

“Masa pandemi, kita juga berpikir untuk membuat demo. Banyak pedagang yang mau unjuk rasa kepada pemerintah karena kesal atas penagihan pajak,” kata Maya.

Pandemi menjadi alasan utama penolakan penagihan pajak. Sebab, pendapatan mereka anjlok. Buntutnya, kebijakan penagihan pajak dinilai PKL Binjai membebani mereka.

“Semua yang mengadu adalah yang berjualan dipinggir jalan. Saat ini omzet berkurang, dan mereka cerita kepada saya, sangat terdampak karena pandemi,” ujarnya.

Ditambah lagi, PKL baru yang banting setir karena dipecat perusahaan lantaran pandemi pun resah atas kebijakan Pemko Binjai. “Ada juga yang baru berjualan karena terdampak PHK dari perusahaan, dan baru mau berjualan tapi sudah dikutip pajak,” ungkapnya.

Melalui petisi ini, Maya mengajak agar PKL lain untuk menandatanganinya. Dia berharap, Pemko Binjai lebih bijak lagi mendongkrak pendapatan asli daerah.

Bukan melalui pajak restoran kepada PKL. Jika kebijakan pajak PKL terus berjalan, Maya menilai, masyarakat tambah sengsara.

“Kami mohon mempertimbangkan pengutipan pajak restoran yang mencapai 10 persen kepada PKL,” terangnya.

Pandangan senada juga disampaikan Rian, penjual burger di Jalan Juanda, Binjai Timur. Pria muda ini bingung untuk membayarnya setelah mendapat surat penagihan pajak.

Dia berjualan dengan menggunakan gerobak di bahu jalan. “Saya berjualan di pinggir jalan dengan menggunakan gerobak, kenapa harus mendapatkan tagihan pajak restoran juga,” kata dia.

Dirinya yang sudah setahun berjualan belum pernah mendengar sosialisasi atau pemberitahuan dari Pemerintah Kota Binjai, terkait pajak ini. Namun tiba-tiba, sambung dia, Pemko Binjai menagih pajak kepada PKL. “Sudah setahun saya berjualan. Belum ada pajak yang ditagihkan kepada saya,” jelasnya.

Rian harus bayar pajak Rp30 ribu setiap harinya. Bagi dia, hal tersebut cukup memberatkan karena masih dalam kondisi pandemi.

“Pendapatan berkurang, kalau untuk membayar pajak tidak mungkin bisa. Karena saya harus bayar sewa lagi, dan belanja barang jualan lagi,” jelasnya.

Ia berharap, melalui petisi penolakan pajak restoran oleh pedagang kaki lima, Wali Kota Binjai Amir Hamzah membatalkan pengutipan tersebut. “Saya minta kepada pemerintah pajak dihilangkan kepada PKL. Kalah retribusi kami tidak keberatan membayarnya kepada pemerintah,” tandasnya.

PKL yang mendantangani petisi rupanya memilih pasangan Almarhum Juliadi-Amir Hamzah saat pemilihan kepala daerah tahun 2020 lalu. Tak ayal, mereka mengungkapkan rasa penyesalannya atas kebijakan yang dibuat Amir Hamzah setelah terpilih memimpin Kota Binjai dan dilantik sebagai orang nomor satu.

PKL pun juga menyesalkan sikap Anggota DPRD Kota Binjai yang tenang seperti air mengalir menyikapi persoalan pajak. Ternyata, intensif wakil rakyat berpengaruh dengan besaran pajak yang diraih Pemko Binjai.

“Sampai dengan saat ini, tidak ada satupun anggota dewan dan datang yang mendukung para pedagang. Apalagi Wali Kota Amir Hamzah,” kata Wanda, penjual Burger di Jalan Soekarno-Hatta, Kota Binjai.

Wanda adalah pedagang baru yang banting setir usai terdampak PHK karena pengurangan jumlah karya akibat pandemi. Berjalan pun baru tiga bulan, dia susah dapat surat cinta dari BPKAD Binjai.

“Baru tiga bulan jualan sudah dapat tagihan pajak yang harus dibayarkan. Seharinya Rp30 ribu,” ujar dia.

Wanda juga harus bayar uang sewa tempat lantaran berjualan di pinggir jalan. “Dapat sehari misalnya Rp100 ribu, belum lagi harus bayar uang lampu, sewa tempat juga dan sampah. Mana mungkin cukup untuk bayar pajak itu,” ungkapnya.

Dirinya bersama dengan pedagang kaki lima lainnya, tak habis pikir melihat kebijakan Amir Hamzah yang baru menjabat sebagai Wali Kota. “Heran kami dengan pemerintah saat ini, gak tahu lagi harus ngomong apa,” ujar dia.

Wanda berharap melalui petisi penolakan penagihan pajak kepada pedagang kaki lima, Amir Hamzah dapat terbuka hatinya. “Kita mohon kepada pemerintah agar tidak memberatkan masyarakat,” pungkasnya. (ted/azw)

BINJAI, SUMUTPOS.CO – Kebijakan Pemerintah Kota (Pemko) Binjai terkait penagihan pajak restoran dan rumah makan kepada pedagang kaki lima (PKL), masih jadi masalah. Soalnya, penagihan pajak yang ditekankan oleh Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Binjai dilakukan saat pandemi.

PETISI: PKL Kota Binjai membuat petisi yang digagas Komunitas Bikoku atas kebijakan Pemko menagih pajak restoran dan rumah makan di Kota Binjai.

Karenanya, PKL di Kota Binjai menggalang kekuatan dengan petisi untuk menggagalkan penagihan pajak restoran dan rumah makan tersebut. Mereka yang menyatakan setuju agar Pemko Binjai membatalkan penagihan pajak menandatangani spanduk sepanjang lima meter.

“Kami dari Komunitas Binjai Kotaku (Bikoku), mewakili teman-teman PKL memohon kepada Wali Kota Binjai, jangan dikutip pajak restoran kepada pedagang,” ujar Koordinator Komunitas Bikoku, Maya Susanti di Jalan Raimin, Binjai Timur, Rabu (22/9).

Spanduk berisi tulisan menolak penagihan pajak restoran dan rumah makan kepada PKL serta ditandatangani oleh mereka yang rencananya akan diserahkan kepada Wali Kota Binjai, Amir Hamzah. Dia menceritakan, awalnya secara pribadi menolak dengan tegas kebijakan pajak kepada PKL melalui media sosial.

Seiring berjalannya waktu, dia mendapat banyak pengaduan dari PKL atas keresahan pajak restoran tersebut. Bahkan, keresahan tersebut mendorong teman-teman PKL untuk turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka di depan Balai Kota Binjai.

Namun, Maya menolaknya atas sejumlah pertimbangan. Atas hal ini, terbentuklah sebuah petisi untuk menolak pajak kepada PKL.

“Masa pandemi, kita juga berpikir untuk membuat demo. Banyak pedagang yang mau unjuk rasa kepada pemerintah karena kesal atas penagihan pajak,” kata Maya.

Pandemi menjadi alasan utama penolakan penagihan pajak. Sebab, pendapatan mereka anjlok. Buntutnya, kebijakan penagihan pajak dinilai PKL Binjai membebani mereka.

“Semua yang mengadu adalah yang berjualan dipinggir jalan. Saat ini omzet berkurang, dan mereka cerita kepada saya, sangat terdampak karena pandemi,” ujarnya.

Ditambah lagi, PKL baru yang banting setir karena dipecat perusahaan lantaran pandemi pun resah atas kebijakan Pemko Binjai. “Ada juga yang baru berjualan karena terdampak PHK dari perusahaan, dan baru mau berjualan tapi sudah dikutip pajak,” ungkapnya.

Melalui petisi ini, Maya mengajak agar PKL lain untuk menandatanganinya. Dia berharap, Pemko Binjai lebih bijak lagi mendongkrak pendapatan asli daerah.

Bukan melalui pajak restoran kepada PKL. Jika kebijakan pajak PKL terus berjalan, Maya menilai, masyarakat tambah sengsara.

“Kami mohon mempertimbangkan pengutipan pajak restoran yang mencapai 10 persen kepada PKL,” terangnya.

Pandangan senada juga disampaikan Rian, penjual burger di Jalan Juanda, Binjai Timur. Pria muda ini bingung untuk membayarnya setelah mendapat surat penagihan pajak.

Dia berjualan dengan menggunakan gerobak di bahu jalan. “Saya berjualan di pinggir jalan dengan menggunakan gerobak, kenapa harus mendapatkan tagihan pajak restoran juga,” kata dia.

Dirinya yang sudah setahun berjualan belum pernah mendengar sosialisasi atau pemberitahuan dari Pemerintah Kota Binjai, terkait pajak ini. Namun tiba-tiba, sambung dia, Pemko Binjai menagih pajak kepada PKL. “Sudah setahun saya berjualan. Belum ada pajak yang ditagihkan kepada saya,” jelasnya.

Rian harus bayar pajak Rp30 ribu setiap harinya. Bagi dia, hal tersebut cukup memberatkan karena masih dalam kondisi pandemi.

“Pendapatan berkurang, kalau untuk membayar pajak tidak mungkin bisa. Karena saya harus bayar sewa lagi, dan belanja barang jualan lagi,” jelasnya.

Ia berharap, melalui petisi penolakan pajak restoran oleh pedagang kaki lima, Wali Kota Binjai Amir Hamzah membatalkan pengutipan tersebut. “Saya minta kepada pemerintah pajak dihilangkan kepada PKL. Kalah retribusi kami tidak keberatan membayarnya kepada pemerintah,” tandasnya.

PKL yang mendantangani petisi rupanya memilih pasangan Almarhum Juliadi-Amir Hamzah saat pemilihan kepala daerah tahun 2020 lalu. Tak ayal, mereka mengungkapkan rasa penyesalannya atas kebijakan yang dibuat Amir Hamzah setelah terpilih memimpin Kota Binjai dan dilantik sebagai orang nomor satu.

PKL pun juga menyesalkan sikap Anggota DPRD Kota Binjai yang tenang seperti air mengalir menyikapi persoalan pajak. Ternyata, intensif wakil rakyat berpengaruh dengan besaran pajak yang diraih Pemko Binjai.

“Sampai dengan saat ini, tidak ada satupun anggota dewan dan datang yang mendukung para pedagang. Apalagi Wali Kota Amir Hamzah,” kata Wanda, penjual Burger di Jalan Soekarno-Hatta, Kota Binjai.

Wanda adalah pedagang baru yang banting setir usai terdampak PHK karena pengurangan jumlah karya akibat pandemi. Berjalan pun baru tiga bulan, dia susah dapat surat cinta dari BPKAD Binjai.

“Baru tiga bulan jualan sudah dapat tagihan pajak yang harus dibayarkan. Seharinya Rp30 ribu,” ujar dia.

Wanda juga harus bayar uang sewa tempat lantaran berjualan di pinggir jalan. “Dapat sehari misalnya Rp100 ribu, belum lagi harus bayar uang lampu, sewa tempat juga dan sampah. Mana mungkin cukup untuk bayar pajak itu,” ungkapnya.

Dirinya bersama dengan pedagang kaki lima lainnya, tak habis pikir melihat kebijakan Amir Hamzah yang baru menjabat sebagai Wali Kota. “Heran kami dengan pemerintah saat ini, gak tahu lagi harus ngomong apa,” ujar dia.

Wanda berharap melalui petisi penolakan penagihan pajak kepada pedagang kaki lima, Amir Hamzah dapat terbuka hatinya. “Kita mohon kepada pemerintah agar tidak memberatkan masyarakat,” pungkasnya. (ted/azw)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/