PARMAKSIAN, SUMUTPOS.CO – Belasan komentar dari belasan aktivis mahasiswa dari enam perguruan tinggi di Medan yang berkunjung ke pabrik TPL (PT Toba Pulp Lestari,Tbk) dan ke HTI (hutan tanaman industri) TPL di sektor Habinsaran, di dekat garis perbatasan Tobasamosir dengan Tapanuli Utara, melukiskan perasaan mereka setelah menyaksikan TPL dari dekat.
”Ternyata yang diisukan itu tidak benar; ternyata tidak mencemari lingkungan; tidak mencemari sungai Asahan; sekarang saya tahu isu itu tidak benar; jelas (kami) tidak (melihat) ada perusakan lingkungan,” adalah komentar yang dituliskan Jhoni Frens Gultom (UNIKA), Irawan Gultom (USU), Gresiana Sipayung (UDA), Ayub H Boy Panggabean (PTKI) dan Juhendro Silitonga (STIH Graha Kirana), dalam “Kesan dan Pesan” di logbook TPL, menanggapi isu-isu negatif yang sering dilontarkan oleh segelintir pihak tentang perusahaan penghasil pulp (bubur kertas) yang dituduh mencemari lingkungan dan merampas tanah-tanah ulayat masyarakat tersebut.
Pada hari pertama Rabu (19/8), para aktivis mahasiswa diketuai Freddy Siagian (UDA) itu langsung meluncur dari Medan menuju HTI TPL (PT Toba Pulp Lestari,Tbk) di sektor Habinsaran. Di sana mereka menyaksikan kegiatan pemanenan ekaliptus (Eucalyptus sp) sebagai bahan baku pabrik di Parmaksian, yang dalam waktu kurang dari 90 hari sudah harus tertanami kembali dengan tanaman baru. Penyiapan lahan-tanam tidak boleh menerapkan cabut akar dan pembakaran. Dengan demikian dahan, ranting, daun dan serasah pohon-pohon hasil panen dibiarkan menjadi pupuk alami untuk pohon baru.
Para aktivis USU, UNIKA, UDA, PTKI, STIH Graha Kirana dan USM Indonesia itu, secara khusus menyaksikan pohon-pohon haminjon (kemenyan) alam pilihan di HTI sebagai sumber benih pohon-induk (mother plant) di pusat pembibitan di kompleks pabrik. Di pembibitan, peneliti senior Adventris Huta-Gaol mendemonstrasikan cara “melahir”-kan bibit dengan mengadopsi teknologi kloning, sehingga dari 1.000 pohon-induk dapat dihasilkan seribu bibit haminjon setiap bulan untuk kemudian ditanam bersama masyarakat petani atau dibagikan secara gratis untuk dibudidayakan di tanah milik penduduk.
Selain menyaksikan pembibitan –produksi bibit ekaliptus mencapai 2 juta per bulan–, di pabrik para aktivis yang secara individual tergabung dalam organisasi pergerakan dan juga BEM (badan eksekutif mahasiswa) menyaksikan proses produksi (bahan baku kayu menjadi pulp untuk ekspor), serta pengolahan limbah (cair, gas, padat) hingga memenuhi baku-mutu yang ditetapkan Pemerintah. Khusus limbah cair, mereka menyaksikan pengalirannya ke badan Sungai Asahan yang mengalir sejauh 150 km hingga ke kota Tanjungbalai, sedangkan hulunya berada di tepian Danau Toba di kota Porsea, kira-kita 7 km dari pabrik.
INILAH KOMENTAR MEREKA
Para aktivis yang sebagian besar mengaku memperoleh informasi negatif TPL dari berbagai media –termasuk media sosial– merasa surprise mendapat kesempatan menyaksikan fakta lapangan, lalu kemudian melukiskan perasaan mereka karena fakta di lapangan telah meyakinkan mereka bahwa isu itu tidak benar.
Komentar senada sebelumnya sudah diungkapkan oleh 41 orang rekan mereka sesama aktivis dari 14 kampus, yang datang berkunjung pada 2 episode sejak akhir Mei 2015. Angka itu belum termasuk kedatangan sekitar 100 mahasiswa non-aktivis dari berbagai kampus seperti USI Siantar, PTKI Medan dan binaan Tanoto Foundation, sebuah yayasan penyedia beasiswa terkemuka.
Tentang isu penyerobotan tanah ulayat, Samuel Sitorus (STIH Graha Kirana) menyebutkan: “tidak melanggar peraturan”. Sementara Juhendro Silitonga mengemukakan “semua berita kerugian masyarakat, salah”, Jhoni Frens Gultom menulis “tidak merugikan masyarakat”. Ayub H Boy Panggabean menyimpulkan, “(sekarang saya) tahu isu (negatif itu) tidak benar”, dan dengan kalimat yang lebih sempurna Fredy Siagian (UDA) menguraikan, “hasil pengamatan saya TPL tidak melakukan perampasan tanah rakyat”.
Kesimpulan itu mengemuka setelah mereka mengetahui konsesi TPL seluas 188.050 hektar di 12 kabupaten umumnya kawasan hutan negara teregister berfungsi HP (hutan produksi tetap) yang kemudian dikembangkan menjadi HTI berdasarkan izin Pemerintah. Logikanya, kawasan hutan negara teregister bebas dari pembebanan hak.
Yang menarik, sedikitnya lima orang aktivis menyerukan perlunya diselenggarakan forum terbuka untuk membuka kesempatan bagi publik mengetahui fakta-fakta obyektif perusahaan di lapangan. Simon Panggabean (USU) menyebut “perlu seminar terkait isu-isu.” Irawan Gultom (USU) mengistilahkannya “sosialisasi budidaya haminjon.”
Fredy Siagian menuliskan “lakukan konferensi kepada masyarakat supaya tau dengan jelas info yang sesungguhnya.” M Alpin (PTKI) menyebut “perlu seminar untuk bantah isu-isu jelek.” Usul serupa sebenarnya pertama kali dilontarkan mahasiswi penerima beasiswa Tanoto Foundation beralamat di Jalan Jamin Gintings Medan, usai mengunjungi TPL bersama 75 rekannya akhir Juli lalu. Rekannya Novita Dwiyana Siagian, penduduk Simalaingkar, bahkan menyatakan kesediaannya ikut kegiatan sosialisasi. (rel/mea)