Minat orang berbeda-beda. Karena itulah dunia ini indah seperti warna pelangi. Jika anak lelaki umumnya ingin jadi tentara, polisi, pilot, ahli mesin, dan sebagainya, pria muda ini justru suka mengemudi truk. Dia menikmatinya dan belum ingin beralih pekerjaan. Dan jika matanya nanti sembuh dari katarak, ia ingin menambah jarak tempuh truk yang biasa dikemudikannya, lalu pelan-pelan meraih sasarannya. Apa itu?
–—————————————————
Dame Ambarita, Padangsidimpuan
—————————————————-
Namanya Yudianto. Umurnya baru 17 tahun, baru lulus SMK beberapa bulan lalu.
Namun ia sudah bekerja. Menjadi sopir truk pengangkut sawit milik ayahnya.
Lulusan SMKN 1 Sinunukan Madina ini menarik biaya angkut dari para petani sawit, yang minta agar tandan buah segar (TBS) sawit hasil panen mereka diangkut ke pabrik kelapa sawit.
Meski ia menikmati pekerjaannya sebagai sopir truk pengangkut TBS sawit, ia terkendala oleh mata kanannya yang kena katarak sejak usia 7 bulan.
“Matanya kena katarak sejak kecil, tetapi baru benar-benar terganggu melihat setelah duduk di kelas 3 MTs (setara SMP, red). Meski tetap bisa mengikuti pelajaran dengan mata kirinya yang normal, tetapi tidak sepenuhnya lagi seperti sebelumnya,” kata Sumarni (39) ibunda Yudianto, yang mendampingi anak keduanya itu di ruang pemulihan pascaoperasi.
Anaknya salahseorang dari seribuan orang peserta katarak gratis Buka Mata Lihat Indahnya Dunia” yang digelar Tambang Emas Martabe bekerjasama dengan A New Vision dan Kodam I Bukit Barisan, di Rumah Sakit TNI AD Losung Batu Padangsidimpuan mulai 23 hingga 26 Oktober 2017 nanti.
Yudi sendiri, entah akibat penglihatannya yang terganggu atau memang benar tidak berminat, mengaku tidak suka pelajaran apapun selama di sekolah. Guru favoritnya juga tidak ada. Makanya dia tidak berminat melanjutkan sekolah hingga kuliah. “Bosan sekolah,” katanya cuek.
Apalagi, dia tidak menyukai jurusannya saat sekolah di SMK, yakni jurusan Teknik Komputer dan Jaringan.
“Salah jurusan saya,” cetusnya lalu menutupkan tangannya ke mulut menyembunyikan senyumnya agar tidak kelihatan.
Dia bercerita, sebenarnya ingin masuk jurusan Teknik Mesin, yang mendukung minatnya dalam seluk-beluk mesin truk milik ayahnya. Tetapi jurusan itu tidak tersedia di SMKN 1 Nunukan. Terpaksalah ia masuk jurusan yang tersedia di sana, yakni Teknik Komputer dan Jaringan.
“Yah.. paling tidak jadi paham teknik komputer dan jaringannya kan?”
“Nggak ngerti sama sekali. Setiap pelajaran, saya hanya mengganggu gurunya saja,” katanya terkesan tidak peduli.
Karena itulah setamat dari SMK, ia memilih bekerja mengemudi truk milik ayahnya untuk mengangkut sawit-sawit milik petani.
Sayang, katarak di matanya cukup mengganggu aktivitasnya mengemudi, terutama saat berbelok ke tikungan arah kanan. “Nggak kelihatan,” cetusnya singkat.
Agar terhindar dari bahaya, ia pun terpaksa mengemudi ekstra pelan di setiap tikungan ke kanan. Ini jelas mengurangi jarak tempuh truk yang mungkin bisa ditempuh lebih jauh jika penglihatannya normal.
Setiap hari ia mengemudi truk ke kebun-kebun sawit kurang lebih hanya 50 km. Ini jelas membatasi penghasilannya sebagai sopir.
Menurut ibunya Sumarni (39), waktu kecil mereka pernah membawa Yudi berobat ke bidan desa. Kata si bidan, katarak di mata Yudi baru bisa dioperasi setelah ia berumur 17 tahun. “Makanya kami tunggu hingga ia berumur 17 tahun baru dibawa berobat. Kebetulan ada Operasi Katarak Gratis, jadilah…,” kata ibunya malu-malu menjawab pertanyaan.
Mendapat info operasi dari Babinsa, penggemar olahraga volley dan badminton ini tidak merumitkan diri dengan membayangkan apapun soal operasi. “Nggak takut dan tidak membayangkan apapun. Jalani saja. Cuma memang sempat takut melihat pasien yang didorong keluar dari ruang operasi di atas kursi roda, dengan mata ditutup. Aku takut jika operasinya gagal,” akunya.
Pascaoperasi, ia merasa lega karena ternyata tidak seseram yang terlihat. Sekaligus senang karena semangat menunggu hasilnya. Ia berbaring tenang di ruang pemulihan, di antara para orang tua yang juga baru selesai dioperasi.
Setelah sembuh nanti, apa yang ingin kau lakukan?
“Mengemudi truk lebih jauh dari biasa, dan mengangkut sawit juga lebih banyak,” jawabnya semangat.
Ia sudah membayangkan tak perlu lagi ekstra pelan saat berbelok di tikungan jalan ke kanan. Sehingga bisa menempuh lebih dari 50 km per hari.
Tak ingin cari pekerjaan lain?
“Nggak.. saya suka mengemudi truk.
Saya insyaallah mau jadi pengusaha kebun sawit dan nantinya punya truk sendiri,” jawabnya, lagi-lagi dengan senyum dikulum.
Berharap bisa menikahi pacarnya nanti di usia 20, anak kedua dari lima bersauadara mengaku sama sekali tidak berharap warisan lahan sawit milik bapaknya. Melainkan ingin memiliki kebun dan truk sendiri dari hasil kerja kerasnya sendiri.
Di akhir obrolan, ia mengucapkan terimakasih pada pihak yang menyelenggarakan Operasi Katarak Gratis ini. (*)