26.7 C
Medan
Wednesday, May 22, 2024

Soal Pencemaran Air Danau Toba Akibat KJA, Kebanyakan Rapat Minim Tindakan

no picture

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi telah menjatuhkan sanksi administrasi berupa sanksi tertulis kepada PT Aquafarm Nusantara pada 1 Februari 2019. Namun sayang, sampai hari ini Pemprovsu melalui Dinas Lingkungan Hidup belum mempublis lagi kelanjutan atau respon atas sanksi teguran tersebut.

Padahal, dalam surat teguran tertulis yang dilayangkan kepada Aquafarm, banyak sekali bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan perusahaan modal asing (PMA) tersebut selama beroperasi di wilayah ini. Antara lain mengenai dugaan pencemaran air Danau Toba, daya dukung dan daya tampung perairan Danau Toba tidak dapat lagi menerima dampak kegiatan keramba jaring apung (KJA) yang diproduksi perusahaan asal Swiss tersebut.

Pengamat Lingkungan Jaya Arjuna menyayangkan lambatnya sikap Pemprovsu atas aktivitas KJA oleh sejumlah perusahaan yang beroperasi di kawasan Danau Toba. Ia menilai, seharusnya untuk menyikapi masalah ini pemerintah provinsi maupun daerah serta stakeholder terkait, mesti melakukan langkah-langkah komprehensif dan juga teknis. “Jadi bukan dengan rapat-rapat saja. Harus mengacu pada hal-hal teknis juga untuk mengupayakan kualitas air (Danau Toba) terjaga,” katanya, Minggu (24/3).

Hemat dia, perusahaan-perusahaan di sana sudah berulangkali melakukan kerusakan lingkungan. Tapi sayang, pemerintah saat ini masih diam dan tidak melakukan tindakan tegas apapun. “Sudah berapa kali perusahaan KJA ini melakukannya. Bukan hanya sekali perusahaan itu melakukan ini, sudah ada tiga atau empat kali. Tapi apa yang DLH dan Pemprovsu dan pemkab lakukan hingga saat ini? Dasar hukum itu kan ada,” cetusnya.

Menurutnya, bila perusahaan atau perorangan melakukan pencemaran lingkungan, dengan membuang bangkai-bangkai ikan ke dasar perairan Danau Toba adalah bentuk hukum pidana. “Kalau membuang ikan mati itu sebagai limbah, itu sudah hukum pidana,” ujarnya, seraya menyebut untuk proses hukuman apa yang dapat dilekatkan kepada perusaahan itu adalah gawe dari pihak kepolisian. “Membuang limbah itu ada sanksinya, kita gak tahu apa sanksinya karena polisi dan hakim yang menetapkan. Gara-gara itu perairan bisa rusak, jika terbukti air sudah rusak bisa dibilang itu adalah kerusakan lingkungan dan hukumannya pidana,” sambung Jaya.

Dirinya juga menyayangkan kurang proaktifnya DPRD Sumut menyuarakan tentang masalah ini, dan juga belum melakukan upaya-upaya konkrit sesuai kewenangan yang dimiliki. “Jalankan aja perdanya dengan konsisten, kalau perdanya sudah bagus pertahanankan, tetapi kalau belum perbaiki,” kata akademisi Universitas Sumatera Utara ini.

Saat ini, beber dia, air Danau Toba telah tercemar dengan banyaknya KJA yang beroperasi di perairan itu. Padahal dalam aturan yang berlaku, untuk pengusaha KJA di Danau Toba hanya diberlakukan maksimal 10 ribuan ton produksi ikan. Apabila jumlah ini lebih, artinya air itu telah rusak dan tercemar akibat KJA ini. “Ada 10 ribu ton yang diperbolehkan kalau tidak salah, bagikan saja kuota berapa untuk produksi Ikan berapa kepada perusahaan tersebut,” kata dia.

Bahas Pencemaran, Bukan Administrasi

Sekretaris Eksekutif Yayasan Pecinta Danau Toba (YPDT) Joe Marbun juga meminta pemerintah, dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup Sumut yang memiliki kewenangan melakukan penyelidikan melalui PPNS nya, harus bersikap tegas. “Pemerintah melalui Dinas Lingkungan Hidup yang diberi kewenangan untuk menjalankan tugas dan fungsinya dalam melakukan pengawasan memiliki PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang memiliki fungsi menyelidikan dugaan tindak pidana. Artinya, yang harus dibahas ini adalah masalah dumping limbahnya, bukan masalah adminstrasi atau kuota produksi perusahaan itu,” ungkapnya.

Ia menyebut, dalih pemerintah daerah yang menunggu duduk perkara kasus dumping limbah oleh polisi baru berani memberi sanksi, agaknya sebuah alasan memutar balikkan kewenangan. “Yang seharusnya dilakukan adalah PPNS turun melakukan menyelidikan dengan didampingi oleh polisi. Nah setelahnya bila ada ditemukan dugaan tindak pidana, tinggal PPNS melemparkan ke polisi sementara pemerintah memberikan sanksi pencabutan izin,” tegasnya.

Melihat yang terjadi saat ini seakan-akan ada saling lempar tanggungjawab yang dilakukan DLH Sumut atas kasus tersebut. “Jadi tidak saling lempar tanggung jawab. Karena hal itu merupakan tugas dan kewenangan yang diatur Undang-Undang,” terang Joe.

Pemerintah daerah pada dasarnya memiliki kewenangan tersendiri dalam kasus ini. Menurut Joe, ada penyesatan informasi yang dilakukan pemerintah daerah terhadap masalah dumping limbah yang diduga dilakukan PT AN ke Danau Toba. “Jadi begini, Pemprov Sumut diberi kewenangan dalam membentuk aturan. Harusnya mereka mengawal mengawasi aturan yang mereka buat itu. Lah, ini kok malah mereka takut akan gugatan balik yang berpotensi dilakukan PT AN,” kata dia.

Kemudian, terkait lambatnya Pemprov Sumut memberikan sanksi terhadap dugaan pencemaran air Danau Toba itu, YPDT meminta agar Gubernur Sumut mengeluarkan statemen tegas terkait permasalah limbah dumping yang terjadi di Danau Toba diduga dilakukan PT AN. “Sampai saat ini kita belum tahu tahapan apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah menghadapi isu pencemaran lingkungan di Danau Toba.

Pemprov Sumut belum pernah berbicara terkait dumping limbah itu. Mereka hanya bicara masalah soal administrasi yang dilanggar perusahaan asal luar negeri tersebut. Kita minta agar Pemprov Sumut sekarang ini bicara dan konsen soal masalah pencemarannya, jadi agar jangan ada penyesatan informasi di sini,” pungkas Joe.

Kepala DLH Sumut Binsar Situmorang tampak berkelit saat ingin dikonfirmasi Sumut Pos ihwal kelanjutan sanksi teguran tertulis pada Aquafarm, awal Februari lalu. Ia beralasan sedang ada rapat saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon. “Kami lagi rapat ini, nanti saja ya,” katanya sembari menutup telepon. Meski sudah dikirimkan pesan singkat sekaitan pertanyaan konfirmasi dan coba dihubungi kembali, mantan Kadis Tarukim Sumut ini tetap enggan menjawab dan memberi keterangan.

Meski begitu, ia sebelumnya mengungkapkan, sebagaimana hasil investigasi pihaknya atas kejadian pencemaran dan kerusakan akibat ikan mati di perairan Danau Toba oleh Aquafarm, ditemukan bahwa perusahaan asal Swiss itu lakukan pelanggaran karena over kapasitas produksi.

Kemudian Aquafarm melanggar dari sisi daya dukung dan daya tampung perairan Danau Toba. Pelanggaran lain Aquafarm tidak mengelola limbah cairnya di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada pabrik pakan ikan di Kabupaten Serdang Bedagai. “Sanksi tertulis telah dikirimkan, kita tunggu dalam enam bulan ini,” ujarnya.

Namun pembekuan seluruh izin tersebut, baru akan dilakukan setelah semua mekanisme sanksi tidak dijalankan Aquafarm. Sesuai UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), pada Pasal 76 ayat 1 ayat 2, terdapat empat mekanisme sanksi.

Artinya gubernur tidak boleh langsung mencabut izin lingkungan, tetapi harus melalui empat tahapan mekanisme sanksi administratuf, yaitu teguran tertulis, pemaksaan, pembekuan izin lingkungan dan pencabutan izin lingkungan.

Lebih lanjut Binsar menyebutkan Aquafarm melakukan tiga pelanggaran. Pertama, dari sisi kapasitas produksi. Aquafarm ternyata memproduksi ikan di luar kapasitas yang diizinkan berdasarkan Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (DPPL).”Harusnya izin kapasitas produksi 26.464.500 ekor atau 26.464,500 ton per tahun, namun kenyataannya 27.454.400 atau 27.454,400 ton per tahun. Dalam hal ini ada kelebihan 1.000.000 ekor atau 1.000 ton. Temuan ini berdasarkan Laporan Semester I Aquafarm ke Dinas LH Sumut,” sebutnya.

Pelanggaran kedua dari sisi daya dukung dan daya tampung perairan Danau Toba. Sesuai dengan diktum keempat keputusan Gubernur Sumut Nomor 660/4223/Tahun 2009 juga dinyatakan, apabila ternyata daya dukung dan daya tampung perairan Danau Toba tidak dapat lagi menerima dampak kegiatan KJA maka dokumen lingkungan PT Aquafarm harus ditinjau.

“Pada diktum ketiga Keputusan Gubernur Sumut Nomor:188.44/213/KPTS/2017 tentang Daya Dukung Perairan Danau Toba terhadap Kegiatan KJA menyatakan bahwa daya dukung maksimum Danau Toba untuk budidaya perikanan adalah 10.000 ton ikan per tahun. Artinya sudah melampuai banyak kapasitas. Sampai saat ini Aquafarm belum merevisi dokumennya. Sementara diktum itu sudah sering disosialisasikan,” katanya.

Pelanggaran lainnya ialah pada unit kegiatan pembenihan ikan, pengelolaan ikan, pabrik pakan ikan di Kabupaten Serdang Bedagai, berdasarkan hasil pengawasan bersama antara UPT Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan serta Kehutanan KLHK dan DLH ditemukan Aquafarm juga tidak mengelola limbah cairnya di IPAL.

“Mereka langsung menyalurkannya ke badan air sehingga dapat diperkirakan limbah cair yang dibuang ke badan air belum memenuhi baku mutu lingkungan. Dan ini bertentangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tepatnya Pasal 20 Ayat 3,” ucapnya. (prn/dvs)

no picture

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi telah menjatuhkan sanksi administrasi berupa sanksi tertulis kepada PT Aquafarm Nusantara pada 1 Februari 2019. Namun sayang, sampai hari ini Pemprovsu melalui Dinas Lingkungan Hidup belum mempublis lagi kelanjutan atau respon atas sanksi teguran tersebut.

Padahal, dalam surat teguran tertulis yang dilayangkan kepada Aquafarm, banyak sekali bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan perusahaan modal asing (PMA) tersebut selama beroperasi di wilayah ini. Antara lain mengenai dugaan pencemaran air Danau Toba, daya dukung dan daya tampung perairan Danau Toba tidak dapat lagi menerima dampak kegiatan keramba jaring apung (KJA) yang diproduksi perusahaan asal Swiss tersebut.

Pengamat Lingkungan Jaya Arjuna menyayangkan lambatnya sikap Pemprovsu atas aktivitas KJA oleh sejumlah perusahaan yang beroperasi di kawasan Danau Toba. Ia menilai, seharusnya untuk menyikapi masalah ini pemerintah provinsi maupun daerah serta stakeholder terkait, mesti melakukan langkah-langkah komprehensif dan juga teknis. “Jadi bukan dengan rapat-rapat saja. Harus mengacu pada hal-hal teknis juga untuk mengupayakan kualitas air (Danau Toba) terjaga,” katanya, Minggu (24/3).

Hemat dia, perusahaan-perusahaan di sana sudah berulangkali melakukan kerusakan lingkungan. Tapi sayang, pemerintah saat ini masih diam dan tidak melakukan tindakan tegas apapun. “Sudah berapa kali perusahaan KJA ini melakukannya. Bukan hanya sekali perusahaan itu melakukan ini, sudah ada tiga atau empat kali. Tapi apa yang DLH dan Pemprovsu dan pemkab lakukan hingga saat ini? Dasar hukum itu kan ada,” cetusnya.

Menurutnya, bila perusahaan atau perorangan melakukan pencemaran lingkungan, dengan membuang bangkai-bangkai ikan ke dasar perairan Danau Toba adalah bentuk hukum pidana. “Kalau membuang ikan mati itu sebagai limbah, itu sudah hukum pidana,” ujarnya, seraya menyebut untuk proses hukuman apa yang dapat dilekatkan kepada perusaahan itu adalah gawe dari pihak kepolisian. “Membuang limbah itu ada sanksinya, kita gak tahu apa sanksinya karena polisi dan hakim yang menetapkan. Gara-gara itu perairan bisa rusak, jika terbukti air sudah rusak bisa dibilang itu adalah kerusakan lingkungan dan hukumannya pidana,” sambung Jaya.

Dirinya juga menyayangkan kurang proaktifnya DPRD Sumut menyuarakan tentang masalah ini, dan juga belum melakukan upaya-upaya konkrit sesuai kewenangan yang dimiliki. “Jalankan aja perdanya dengan konsisten, kalau perdanya sudah bagus pertahanankan, tetapi kalau belum perbaiki,” kata akademisi Universitas Sumatera Utara ini.

Saat ini, beber dia, air Danau Toba telah tercemar dengan banyaknya KJA yang beroperasi di perairan itu. Padahal dalam aturan yang berlaku, untuk pengusaha KJA di Danau Toba hanya diberlakukan maksimal 10 ribuan ton produksi ikan. Apabila jumlah ini lebih, artinya air itu telah rusak dan tercemar akibat KJA ini. “Ada 10 ribu ton yang diperbolehkan kalau tidak salah, bagikan saja kuota berapa untuk produksi Ikan berapa kepada perusahaan tersebut,” kata dia.

Bahas Pencemaran, Bukan Administrasi

Sekretaris Eksekutif Yayasan Pecinta Danau Toba (YPDT) Joe Marbun juga meminta pemerintah, dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup Sumut yang memiliki kewenangan melakukan penyelidikan melalui PPNS nya, harus bersikap tegas. “Pemerintah melalui Dinas Lingkungan Hidup yang diberi kewenangan untuk menjalankan tugas dan fungsinya dalam melakukan pengawasan memiliki PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang memiliki fungsi menyelidikan dugaan tindak pidana. Artinya, yang harus dibahas ini adalah masalah dumping limbahnya, bukan masalah adminstrasi atau kuota produksi perusahaan itu,” ungkapnya.

Ia menyebut, dalih pemerintah daerah yang menunggu duduk perkara kasus dumping limbah oleh polisi baru berani memberi sanksi, agaknya sebuah alasan memutar balikkan kewenangan. “Yang seharusnya dilakukan adalah PPNS turun melakukan menyelidikan dengan didampingi oleh polisi. Nah setelahnya bila ada ditemukan dugaan tindak pidana, tinggal PPNS melemparkan ke polisi sementara pemerintah memberikan sanksi pencabutan izin,” tegasnya.

Melihat yang terjadi saat ini seakan-akan ada saling lempar tanggungjawab yang dilakukan DLH Sumut atas kasus tersebut. “Jadi tidak saling lempar tanggung jawab. Karena hal itu merupakan tugas dan kewenangan yang diatur Undang-Undang,” terang Joe.

Pemerintah daerah pada dasarnya memiliki kewenangan tersendiri dalam kasus ini. Menurut Joe, ada penyesatan informasi yang dilakukan pemerintah daerah terhadap masalah dumping limbah yang diduga dilakukan PT AN ke Danau Toba. “Jadi begini, Pemprov Sumut diberi kewenangan dalam membentuk aturan. Harusnya mereka mengawal mengawasi aturan yang mereka buat itu. Lah, ini kok malah mereka takut akan gugatan balik yang berpotensi dilakukan PT AN,” kata dia.

Kemudian, terkait lambatnya Pemprov Sumut memberikan sanksi terhadap dugaan pencemaran air Danau Toba itu, YPDT meminta agar Gubernur Sumut mengeluarkan statemen tegas terkait permasalah limbah dumping yang terjadi di Danau Toba diduga dilakukan PT AN. “Sampai saat ini kita belum tahu tahapan apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah menghadapi isu pencemaran lingkungan di Danau Toba.

Pemprov Sumut belum pernah berbicara terkait dumping limbah itu. Mereka hanya bicara masalah soal administrasi yang dilanggar perusahaan asal luar negeri tersebut. Kita minta agar Pemprov Sumut sekarang ini bicara dan konsen soal masalah pencemarannya, jadi agar jangan ada penyesatan informasi di sini,” pungkas Joe.

Kepala DLH Sumut Binsar Situmorang tampak berkelit saat ingin dikonfirmasi Sumut Pos ihwal kelanjutan sanksi teguran tertulis pada Aquafarm, awal Februari lalu. Ia beralasan sedang ada rapat saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon. “Kami lagi rapat ini, nanti saja ya,” katanya sembari menutup telepon. Meski sudah dikirimkan pesan singkat sekaitan pertanyaan konfirmasi dan coba dihubungi kembali, mantan Kadis Tarukim Sumut ini tetap enggan menjawab dan memberi keterangan.

Meski begitu, ia sebelumnya mengungkapkan, sebagaimana hasil investigasi pihaknya atas kejadian pencemaran dan kerusakan akibat ikan mati di perairan Danau Toba oleh Aquafarm, ditemukan bahwa perusahaan asal Swiss itu lakukan pelanggaran karena over kapasitas produksi.

Kemudian Aquafarm melanggar dari sisi daya dukung dan daya tampung perairan Danau Toba. Pelanggaran lain Aquafarm tidak mengelola limbah cairnya di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada pabrik pakan ikan di Kabupaten Serdang Bedagai. “Sanksi tertulis telah dikirimkan, kita tunggu dalam enam bulan ini,” ujarnya.

Namun pembekuan seluruh izin tersebut, baru akan dilakukan setelah semua mekanisme sanksi tidak dijalankan Aquafarm. Sesuai UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), pada Pasal 76 ayat 1 ayat 2, terdapat empat mekanisme sanksi.

Artinya gubernur tidak boleh langsung mencabut izin lingkungan, tetapi harus melalui empat tahapan mekanisme sanksi administratuf, yaitu teguran tertulis, pemaksaan, pembekuan izin lingkungan dan pencabutan izin lingkungan.

Lebih lanjut Binsar menyebutkan Aquafarm melakukan tiga pelanggaran. Pertama, dari sisi kapasitas produksi. Aquafarm ternyata memproduksi ikan di luar kapasitas yang diizinkan berdasarkan Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (DPPL).”Harusnya izin kapasitas produksi 26.464.500 ekor atau 26.464,500 ton per tahun, namun kenyataannya 27.454.400 atau 27.454,400 ton per tahun. Dalam hal ini ada kelebihan 1.000.000 ekor atau 1.000 ton. Temuan ini berdasarkan Laporan Semester I Aquafarm ke Dinas LH Sumut,” sebutnya.

Pelanggaran kedua dari sisi daya dukung dan daya tampung perairan Danau Toba. Sesuai dengan diktum keempat keputusan Gubernur Sumut Nomor 660/4223/Tahun 2009 juga dinyatakan, apabila ternyata daya dukung dan daya tampung perairan Danau Toba tidak dapat lagi menerima dampak kegiatan KJA maka dokumen lingkungan PT Aquafarm harus ditinjau.

“Pada diktum ketiga Keputusan Gubernur Sumut Nomor:188.44/213/KPTS/2017 tentang Daya Dukung Perairan Danau Toba terhadap Kegiatan KJA menyatakan bahwa daya dukung maksimum Danau Toba untuk budidaya perikanan adalah 10.000 ton ikan per tahun. Artinya sudah melampuai banyak kapasitas. Sampai saat ini Aquafarm belum merevisi dokumennya. Sementara diktum itu sudah sering disosialisasikan,” katanya.

Pelanggaran lainnya ialah pada unit kegiatan pembenihan ikan, pengelolaan ikan, pabrik pakan ikan di Kabupaten Serdang Bedagai, berdasarkan hasil pengawasan bersama antara UPT Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan serta Kehutanan KLHK dan DLH ditemukan Aquafarm juga tidak mengelola limbah cairnya di IPAL.

“Mereka langsung menyalurkannya ke badan air sehingga dapat diperkirakan limbah cair yang dibuang ke badan air belum memenuhi baku mutu lingkungan. Dan ini bertentangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tepatnya Pasal 20 Ayat 3,” ucapnya. (prn/dvs)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/