DELISERDANG, SUMUTPOS.CO – Kasus dugaan tindak pidana penggunakan surat palsu yang dilaporkan PT Perkebunan Nusantara II (PTPN 2) melalui Kepala Bagian Hukum, Ganda Wiatmaja terhadap Rokani dkk, terus bergulir di Polda Sumut. Setelah penyidik melakukan pemeriksaan saksi, ahli, dan pengumpulan bukti-bukti, saat ini penyidik Polda Sumut telah meningkatkan status perkara laporan PTPN II tersebut ke tahap penyidikan.
Penasehat Hukum PTPN 2, Hasrul Benny Harahap mengatakan, dugaan pemalsuan/penggunaan surat palsu yang dilakukan Rokani dkk terkait surat klaim Afdeling III Penara berupa SKTL (Surat keterangan Tentang Pembagian Tanah Sawah dan Ladang) yang diterbitkan tanggal 20 Desember 1953 juga data indentitas para Penggugat.
Dijelaskannya, lahan Afdeling III Penara, kebun Tanjung Garbus, Kecamatan Tanjung Morawa seluas 533 hektar sejak dilakukan nasionalisasi tahun 1958, dikuasai dan kelola oleh Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) hingga saat ini dikelola oleh PTPN II dengan alas hak HGU yang telah dilakukan perpanjangan terakhir berdasarkan sesuai SK HGU No.62/Penara tanggal 20 Juni 2003.
“Kita sudah mengambil langkah-langkah hukum, di antaranya mengajukan PK (Peninjauan Kembali), sesuai surat permohonan no.4/2022 tanggal 16 Maret 2022, karena adanya sejumlah kejanggalan dalam Putusan Mahkamah Agung RI,” jelas Hasrul Benny Harahap.
Didalangi Mafia Tanah?
Kuatnya upaya pihak luar untuk menguasai lahan HGU seluas 464 hektar itu, diduga didalangi sejumlah oknum mafia tanah di Sumatera Utara. Sebab, posisi lahan tersebut saat ini sangat strategis sebagai daerah pengembangan kawasan Bandara Kualanamu. Padahal, di areal tersebut sudah ditanami kelapa sawit. “Kita punya data lengkap secara hukum, lahan tersebut HGU aktif. Makanya kita heran bagaimana bisa keluar putusan yang memenangkan mereka di atas lahan HGU,” tambah Hasrul Benny lagi.
Menurutnya, strategi yang diterapkan pihak luar dalam upaya merebut aset negara (PTPN II) itu tergolong cukup licik. Di awal mereka diduga merekayasa sejumlah berkas lama yang sangat diragukan keabsahannya sebagai dasar ajuan gugatan, menarik dan menghimpun orang untuk menjadi anggota yang ikut menggugat, dan untuk lebih meyakinkan perjuangannya mereka menggandeng organisasi petani HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) untuk munculkan kesan seolah ini perjuangan kaum petani. “Padahal yang ada di balik itu diduga adalah oknum-oknum mafia tanah, yang selama ini mengobok-obok lahan HGU PTPN II yang berada di lokasi strategis,” tambah Hasrul.
Beberapa hari sebelumnya, pihak PTPN II menolak rencana Pengadilan Negeri Lubukpakam yang akan melakukan eksekusi dan pencocokan objek perkara (konstatering) dan memvalidasi atas lahan Afdeling III Penara, Kebun Tanjung Garbus. Disebutkan, objek perkara adalah tanah eks PTP IX, namun anehnya tanah yang akan dijadikan objek eksekusi adalah tanah eks PTP II/PNP II. Selain itu PTPN II juga menilai, surat-surat yang digunakan oleh penggugat di PN Lubukpakam tersebut adalah diduga palsu atau bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya.
“Afdeling III Penara diperoleh Negara Republik Indonesia dari Nasionalisasi Perusahaan Belanda berdasarkan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 jo Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1959. Dengan demikian tidak mungkin lahan Afdeling III Penara merupakan milik masyarakat” jelas Hasrul Benny Harahap.
“Kami telah buat laporan atas dugaan tindak pidana pemalsuan surat atau menggunakan surat palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHPidana jo Pasal 266 KUH Pidana dalam perkara perdata No 05/Pdt.G/2011/Pn-LP di Polda Sumut. Termasuk proses penyelidikan tindak pidana korupsi di Pidsus Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dan perlawanan atas penetapan eksekusi (verzet),” tambah Hasrul Benny. (rel)