MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kasus diagnosa pasien suspect Covid-19 di sejumlah rumah sakit di Kota Medan, mulai menuai polemik. Sejumlah keluarga pasien marah-marah, karena menuduh pihak RS ‘meng-covid-kan’ keluarga mereka, padahal mereka menilai bukan Covid-19.
Informasi diperoleh, aksi penolakan terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Pirngadi Medan, Jumat (24/7). Aksi tersebut tersebar di media sosial (medsos). Dalam video itu, keluarga beranggapan pasien meninggal itu bukan karena Covid-19, sehingga mereka mau agar jenazah almarhum dapat dikebumikan dengan layakn
Kasubbag Hukum dan Humas RSUD dr Pirngadi Medan, Edison Perangin-angin, yang dikonfirmasi membenarkan adanya protes keluarga terkait penegakan diagnosa ini. Namun Edison menegaskan, saat ini pihak keluarga sudah kooperatif dan menerima proses pemulasaran jenazah sesuai protokol Covid-19. “Iya benar, tapi sudah tidak ada masalah dan keluarga sudah menerima,” ungkapnya kepada wartawan.
Menurut Edison, keluarga koperatif setelah diberikan penjelasan oleh pihak kepolisian dan ada di antara keluarga yang memahami.
Info lebih lanjut Edison mengaku tidak begitu mengetahui pasti. “Tugas rumah sakit sesuai peraturan adalah sampai pemulasaran. Setelah itu kita serahkan ke penyidik,” jelasnya.
Disinggung soal hasil pemeriksaan yang dilakukan, Edison mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan, dokter memang mengindikasikan si pasien sebagai suspect Covid-19. Si pasien sempat mendapatkan perawatan (isolasi) di rumah sakit milik Pemko Medan ini selama sekitar dua hari.
“Hasil swabnya belum keluar, si pasien sudah terlebih dahulu meninggal. Hanya saja indikasi dokter mengarah ke Covid-19, dengan komorbid kalau tidak salah adalah pneumonia,” terangnya.
Protes di RSU Martha Friska
Tak hanya di RSUD dr Pirngadi Medan, protes keluarga atas penegakan status pasien Covid-19 juga terjadi di RS rujukan darurat Covid-19 RSU Martha Friska Multatuli. Sedikit berbeda, di rumah sakit ini, aksi protes keluarga yang terekam dan beredar di sosial media, terjadi karena seorang anak terlihat marah-marah, lantaran tidak terima orangtuanya divonis sebagai pasien Covid-19.
Video yang diunggah pengguna media sosial bernama Sitanggang Margana I itu viral di media sosial sejak kemarin dan beredar di sejumlah grup Facebook.
Dalam video itu, laki-laki tersebut berteriak atas kejanggalan yang dialaminya sebagai keluarga pasien. Dia menyebut pihak rumah sakit merekayasa hasil diagnosa penyakit orangtuanya. Pria itu sempat salah menyebut nama rumah sakit tersebut, namun kemudian diralatnya.
Keluhan utamanya, pihak rumah sakit mendiagnosa ibunya terkena Covid-19. “Orangtuaku tidak penyakit Covid, tetapi dibuat penyakit Covid. Mereka tidak ada yang berani keluar, bertanggungjawab untuk berbicara samaku. Di sini ada pihak pengamanan, ada tentara ada polisi. Kalau mereka jujur, kenapa mesti takut datang kemari untuk menjumpain aku,” katanya dengan nada emosi.
“Jangan semakin banyak korban! Orang tidak covid dibilang covid. Supaya cair dana terisi perut binatang-binatang itu semua,” teriak pria tersebut sambil menunjuk ke gedung RS Martha Friska di Multatuli, Medan.
Masih seperti dalam video itu, pria itu menyebutkan bahwa dia sudah berkali-kali menghubungi pihak rumah sakit, namun tidak ada seorang pun yang mau melayaninya.
Tak lama kemudian, seorang perempuan mencoba menariknya dan menenangkannya agar tidak terbawa emosi lebih jauh lagi. “Udalah bang, udah,” katanya menahan emosi pria tersebut.
Video itu sudah beredar di berbagai grup media sosial dan menuai berbagai tanggapan dari warganet.
Video yang dibagikan akun Sitanggang Margana I itu sudah ditonton ribuan kali dan dibagikan hingga 3.600 kali dengan komentar hingga 400-an lebih.
Direktur RS Martha Friska, dr Fransiscus Ginting, yang dikonfirmasi wartawan menerangkan, bahwasanya pasien yang yang dimaksud merupakan rujukan dari rumah sakit swasta dengan diagnosa suspect Covid -19 dan gejala pneumonia berat. Si pasien telah dirawat lebih kurang tiga hari.
“Hasil swab pertamanya menunjukkan PCR negatif. (Namun terhadap) pasien Covid-19 harus dilakukan dua kali swab untuk penegakan diagnosa. Bila salahsatu positif, disebut Covid-19 terkonfirmasi,” terangnya.
Dia melanjutkan, karena pasien baru satu kali swab yang hasilnya negatif, maka diagnosanya adalah probable Covid-19. Menurut dia, bisa saja swab yang kedua ketika dilakukan hasilnya adalah positif. “Kita sudah edukasi dan berbicara kepada keluarga pasien sampai tengah malam. Pasien yang masuk ke RS Martha Friska adalah pasien berat rujukan rumah sakit lainnya. Keluarga pasien telah menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bila pasien meninggal maka pemakaman (akan dilakukan) sesuai dengan pasien Covid-19,” ujarnya.
Franssiscus menyebutkan, begitu juga dengan pasien yang meninggal dengan gejala Covid -19, bila hasil swab belum selesai keluar, maka diagnosanya adalah pasien probable Covid-19 dan pemakaman sesuai alur pasien Covid-19, sesuai buku petunjuk pelaksanaan kemenkes terbaru.
“Semua boleh marah, memaki, dan mengancam kami yang bekerja 24 jam merawat pasien, dan kami hanya diam. Apakah ini adil? Tuhan yang tau, kami akan tetap bekerja melayani pasien kami,” ucapnya.
Franssiscus menambahkan, kendati lelah fisik dan mental, tim akan tetap bekerja. Dia juga memaklumi karena wabah Covid-19 semuanya masih baru menyebabkan ketidakpahaman di masyarakat.
“Masyarakat mungkin emosional, kami bisa terima. Tapi hati kami sebagai manusia juga sakit dan pedih, melihat pasein kami yang meninggal setelah kami rawat maksimum dan kami dimaki- maki, kami hanya bisa diam,” imbuhnya.
Protes di RS Mitra Medika
Sementara itu di RS Mitra Medika Medan, seorang keluarga pasien mengaku sempat kesal, karena saat ibunya dibawa untuk opname, Jumat (24/7), pihak RS hendak memasukkannya ke ruang isolasi.
“Saya disuruh tanda tangani pernyataan, bersedia ibu saya dimasukkan ruang isolasi. Padahal ibu saya hanya sakit diabetes. Selama ini dirawat di rumah saja. Sama sekali tidak ada indikasi Covid-19. Saya ya jelas menolaklah,” kata L, putri si calon pasien, kepada Sumut Pos.
Perdebatan terus terjadi selama ibunya masuk ruang IGD. “Mereka memaksa ibu masuk ruang isolasi, dengan alasan ada kemungkinan sakitnya menjadi Covid-19. Susah juga melawan argumentasi mereka. Akhirnya, saya bawa pulang ibu saya ke rumah. Batal opname,” cetusnya rada kesal.
Ia mengaku curiga ada indikasi RS hendak ‘meng-covid-kan’ pasien meski tidak ada indikasi ke arah itu. “Masak langsung mau masuk ruang isolasi? Ada-ada saja,” katanya.
Sebelumnya, pernah ada video anggota DPRD Medan, Edy Syahputra marah-marah karena jenazah rekannya politisi PAN Medan divonis positif Covid-19 dan tidak bisa disemayamkan di rumah. Edy bahkan sempat menantang petugas: “Mana coronanya? Biar kutelan.” (ris/net)