26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Nelayan Ini Mundur dari ‘Silaunya’ Air Laut, Gara-gara…

 

Foto: Dame/Sumut Pos Dirham didampingi istri, usai operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe bekerja sama dengan A New Vision dan Kodam I Bukit Barisan, di Rumkit Putri Hijau Medan, pertengahan Desember kemarin.
Foto: Dame/Sumut Pos
Dirham didampingi istri, usai operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe bekerja sama dengan A New Vision dan Kodam I Bukit Barisan, di Rumkit Putri Hijau Medan, pertengahan Desember kemarin.

Kehidupan nelayan relatif keras. Apalagi bagi nelayan kecil yang bekerja pada tekong. Pergi pagi pulang siang; pergi siang pulang malam, penghasilan pas-pasan. Semua dilakoni karena nelayan adalah profesi. Tapi sejak dua tahun lalu, nelayan ini tak tahan lagi menanggung ‘silaunya’ air laut.

————————————
Dame Ambarita, Medan
————————————-

Namanya Dirham. Mirip nama mata uang yang berlaku di negara-negara Uni Emirat Arab. Meski menyandang nama yang identik dengan koin berbahan perak, pria berusia 38 ini belum pernah pernah memegang uang Dirham, apalagi mengoleksinya. Ia hanyalah nelayan kecil, yang bekerja pada tekong pemilik kapal di Desa Perlis Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Sumut.

“Sebelumnya, saya mencari nafkah sebagai nelayan jaring ikan. Sebagai nelayan dengan kapal kecil, kami biasanya mencari ikan jerbung (ikan tipis kecil yang biasanya dikeringkan, Red),” katanya saat diajak bincang-bincang, usai operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe bekerja sama dengan A New Vision dan Kodam I Bukit Barisan, di Rumkit Putri Hijau Medan, pertengahan Desember kemarin.

Pergi pagi pulang siang, atau pergi petang pulang malam, itulah kehidupannya bersama rekan-rekan satu profesi. Ia bahkan tidak mau menyebut dirinya nelayan. “Hanya kuli nelayan,” kata suami Mailida (34) ini sederhana.

Pendapatan sebagai kuli nelayan menurutnya nggak tentu. Tergantung cuaca. Kalau cuaca baik, setiap kuli nelayan bisa pulang membawa 10 kg  ikan jerbung ke rumah, di luar gaji dari toke. “Nantinya istri akan membelah ikan itu dan menjemurnya. Kalau udah kering, dijual Rp46 ribu per kg ke istri toke, untuk dijual lagi ke pasar,” tuturnya.

Ikan jerbung kering ini biasanya dibiarkan tawar, tidak diasinkan. Kalau digoreng, rasanya renyah seperti kerupuk.

Namun rezeki tak selalu melimpah. Kadang ikan yang terjaring tidak banyak. Jika demikian, nelayan pulanh dengan tangan hampa. Hanya berharap gaji yang tidak seberapa. Karena toke juga harus menanggung biaya bahan bakar dan perawatan kapal.

Dua tahun lalu, penglihatannya mulai kabur. Mata kanannya kena katarak. Apalagi saat memandang pantulan sinar matahari di atas permukaan laut. “Silau sekali. Saya tidak tahan,” cetusnya.

Namun anak istri harus makan. Ia pun memaksakan diri terus bekerja. Bahkan diakuinya, terkadang para kuli nelayan tetap degil pergi melaut untuk menambah penghasilan, meski tidak disuruh toke. Untuk menahan silau pantulan matahari, ia mencoba pakai kacamata hitam. Tetapi kurang mempan.

Sejumlah pengobatan tradisional dicobanya. Seperti meneteskan getah daun katarak ke mata, mencuci mata dengan air rebusan daun sirih, bahkan… meneteskan ASI yang diminta dari adik perempuannya, ke bola matanya. Hasilnya…. tak ada perubahan.

Setelah tidak mampu lagi melihat jelas, setahun lalu Dirham memutuskan mundur dari kehidupan laut. Ia beralih jadi penjaga masjid.

“Gaji Rp700 ribu per bulan, anak dua orang. Cukup beli beras segonilah,” kisahnya.

 

Foto: Dame/Sumut Pos Dirham didampingi istri, usai operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe bekerja sama dengan A New Vision dan Kodam I Bukit Barisan, di Rumkit Putri Hijau Medan, pertengahan Desember kemarin.
Foto: Dame/Sumut Pos
Dirham didampingi istri, usai operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe bekerja sama dengan A New Vision dan Kodam I Bukit Barisan, di Rumkit Putri Hijau Medan, pertengahan Desember kemarin.

Kehidupan nelayan relatif keras. Apalagi bagi nelayan kecil yang bekerja pada tekong. Pergi pagi pulang siang; pergi siang pulang malam, penghasilan pas-pasan. Semua dilakoni karena nelayan adalah profesi. Tapi sejak dua tahun lalu, nelayan ini tak tahan lagi menanggung ‘silaunya’ air laut.

————————————
Dame Ambarita, Medan
————————————-

Namanya Dirham. Mirip nama mata uang yang berlaku di negara-negara Uni Emirat Arab. Meski menyandang nama yang identik dengan koin berbahan perak, pria berusia 38 ini belum pernah pernah memegang uang Dirham, apalagi mengoleksinya. Ia hanyalah nelayan kecil, yang bekerja pada tekong pemilik kapal di Desa Perlis Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Sumut.

“Sebelumnya, saya mencari nafkah sebagai nelayan jaring ikan. Sebagai nelayan dengan kapal kecil, kami biasanya mencari ikan jerbung (ikan tipis kecil yang biasanya dikeringkan, Red),” katanya saat diajak bincang-bincang, usai operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe bekerja sama dengan A New Vision dan Kodam I Bukit Barisan, di Rumkit Putri Hijau Medan, pertengahan Desember kemarin.

Pergi pagi pulang siang, atau pergi petang pulang malam, itulah kehidupannya bersama rekan-rekan satu profesi. Ia bahkan tidak mau menyebut dirinya nelayan. “Hanya kuli nelayan,” kata suami Mailida (34) ini sederhana.

Pendapatan sebagai kuli nelayan menurutnya nggak tentu. Tergantung cuaca. Kalau cuaca baik, setiap kuli nelayan bisa pulang membawa 10 kg  ikan jerbung ke rumah, di luar gaji dari toke. “Nantinya istri akan membelah ikan itu dan menjemurnya. Kalau udah kering, dijual Rp46 ribu per kg ke istri toke, untuk dijual lagi ke pasar,” tuturnya.

Ikan jerbung kering ini biasanya dibiarkan tawar, tidak diasinkan. Kalau digoreng, rasanya renyah seperti kerupuk.

Namun rezeki tak selalu melimpah. Kadang ikan yang terjaring tidak banyak. Jika demikian, nelayan pulanh dengan tangan hampa. Hanya berharap gaji yang tidak seberapa. Karena toke juga harus menanggung biaya bahan bakar dan perawatan kapal.

Dua tahun lalu, penglihatannya mulai kabur. Mata kanannya kena katarak. Apalagi saat memandang pantulan sinar matahari di atas permukaan laut. “Silau sekali. Saya tidak tahan,” cetusnya.

Namun anak istri harus makan. Ia pun memaksakan diri terus bekerja. Bahkan diakuinya, terkadang para kuli nelayan tetap degil pergi melaut untuk menambah penghasilan, meski tidak disuruh toke. Untuk menahan silau pantulan matahari, ia mencoba pakai kacamata hitam. Tetapi kurang mempan.

Sejumlah pengobatan tradisional dicobanya. Seperti meneteskan getah daun katarak ke mata, mencuci mata dengan air rebusan daun sirih, bahkan… meneteskan ASI yang diminta dari adik perempuannya, ke bola matanya. Hasilnya…. tak ada perubahan.

Setelah tidak mampu lagi melihat jelas, setahun lalu Dirham memutuskan mundur dari kehidupan laut. Ia beralih jadi penjaga masjid.

“Gaji Rp700 ribu per bulan, anak dua orang. Cukup beli beras segonilah,” kisahnya.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/