Sesuai laporan anggota, lanjut Siswaya, lokasi penabangan kayu itu adalah milik warga Desa Tanjung. Namun saat ditanya, apakah mungkin masyarakat punya bukti kepemilikan lahan di Bukit Barisan? Siswaya mengaku, pihaknya belum melakukan pengecekan ke lokasi penebangan. “Katannya penebangan dilakukan di perladangan milik masyarakat. Kami memang belum ada turun ke lokasi, kami tak mengetahui pinus-pinus tersebut berada di kawasan Bukit Barisan,” elaknya.
Meski belum turun ke TKP, namun Siswaya mengaku, sudah melaporkan masalah tersebut ke Polres Karo. “Saya sudah lapor ke Polres Karo, karena pihak Tipiter Polres yang punya hak melakukan penindakan. Lokasinya juga berada di wilayah hukum Polres Simalungun. Hanya lokasi penampungan sementara yang berada di wilayah kami,” ungkapnya.
Sementara Kapolres Simalungun AKBP Marudut Liberty, yang dikonfirmasi juga terkesan santai menanggapi masalah tersebut. “Akan saya infokan ke jajaran,” katanya. Liberty juga membantah oknum polisi yang mem-backup penebangan kayu pinus itu sebagai anggotanya. “Polisi itu bukan anggota Polres Simalungun, tapi Polres Siantar,” katanya.
Firdaus Ginting (27), seorang warga Desa Pertumbuken, yang ditemui wartawan, menyesalkan penebangan kayu di kawasan Bukit Barisan terus terjadi tanpa adanya tindakan dari pemerintah dan aparat penegak hukum. “Sudah gundul hutan itu kami lihat. Bukan hanya di Desa Tanjung, sebelumnya penebangan juga terjadi di Desa Tambak Bawang, yang memang berbatasan dengan Desa Tanjung,” bebernya, diamini warga lain.
Jika terus dibiarkan, penebangan itu dipastikan tak hanya merusak ekosistem hutan, tapi juga menutup sumber mata air. “Air minum yang setiap hari dikonsumsi warga tiga desa itu berasal dari mata air yang tak jauh dari lokasi penebangan. Jika terus dibiarkan, sumber air bersih ini bakal habis. Ini yang warga takutkan,” pungkasnya. (deo/saz)

