KARO-Pemerintah Kabupaten (Pemkab) KAro makin terjepit. Lahan untuk hunian sementara bagi pengungsi belum juga ditemukan. Sementara, waktu penentuan relokasi telah ditetapkan Jumat (31/1) atau tiga hari mendatang.
Meski begitu, tampaknya Pemkab Karo belum juga menyerah. Mereka tetap saja percaya diri dan mengatakan dapat menemukan lahan yang dimaksud. Sebelumnya, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Bupati Kena Ukur Karo Jambi Surbakti memang telah mengklaim mendapatkan 15 hektare dari 25 hektare yang dibutuhkan. Padahal di lapangan, lahan yang telah diklaim pun ternyata belum ada.
Dan, keterangan Karo Jambi itu masih berusaha dipercayai. Setidaknya Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho mengungkapkan hal itu. “Jadi dari bupati, camat, dan seluruh SKPD optimis akan mendapatkan lahan dari 5-7 km dari radius yang ditentukan. Dan lahan ini sudah dilaporkan pada bapak presiden,” ujarnya, kemarin di Medan.
Nyatanya, relokasi warga di radius 3 km dari kawah aktif Sinabung belum juga terealisasi pasti. Hingga terakhir , Pemkab Karo dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) baru sebatas melakukan tinjauan lapangan. Sekali lagi ini membuktikan kalau SBY sempat dikelabui saat kunjungannya ke Karo terkait janji ketersediaan lahan.
“Saya belum dapat pastikan lokasinya. Namun, kita berupaya secepat mungkin untuk melakukan relokasi. Sejauh ini, perpindahan pemukiman penduduk radius 3 k, yang menjadi perioritas kita,” ujar Koordinator Humas, Tim Satgas Tanggap Darurat Penanggulangan Erupsi Sinabung, Kenan Ginting.
Pernyataan ini juga menihilkan pernyataan SBY yang menyebut kalau Pemkab Karo telah memiliki 15 ha. Ternyata, dari total keseluruhan 25 ha areal buat hunian tetap, baru dalam tahap pemantauan. “Bupati Karo dan Kepala BNPB Pusat, Samyul Maarif beserta tim, tadi siang (kemarin) melakukan tinjauan lapangan. Apakah sisanya harus menggunakan hutan register akan dipastikan hingga Jumat (31/1) mendatang. Seluruh kesimpulan relokasi dan hal-hal terkait lainnya akan diupayakan selesai pada hari Jumat sebelum Kepala BNPB pulang ke Jakarta,” tambah Kenan.
Berpotensi Erupsi Sosial
Jika lahan hunian saja masih jauh panggang dari api, lahan pertanian tentu saja mengambang. Karena sejauh ini, penduduk direncanakan masih tetap berladang di tempat biasa. “Sebagaimana pernyataan presiden, rumah mereka diupayakan berjarak 4-7 kilometer dari areal pemukiman sebelumnya agar tidak terlalu jauh berladang. Tetapi ini juga belum pasti,” tambah Kenan ragu.
Kebijakan yang masih samar samar ini menyentak pemerhati rekonstruksi bencana. Darma Lubis dari Source of Indonesia mengatakan hal ini seperti menyimpan bara. Pasalnya, bila warga hanya diberikan rumah tanpa lahan pertanian, itu dapat menimbulkan masalah baru. Erupsi sosial yang jauh lebih parah dari sekadar erupsi gunung api.
“Harus ada langkah langkah cepat bagi pemerintah, jangan melakukan kebijakan yang membuat masyarakat lepas dari mulut buaya masuk ke mulut harimau. Bila dengan pola seperti sekarang letusan konflik sosial dapat saja berlangsung,” terang Darma.
Kepala Desa Sukameriah, Amin Ginting, pun mengaku belum mendapat pemberitahuan detail terkait ke mana warga desanya akan direlokasi. Disinggung tentang perumahan yang akan diberikan pemerintah dan perladangan yang masih tetap berada di zona berbahaya sesuai rekomendasi PVMBG, dia berharap warga memperoleh rumah dan lahan pertanian di satu tempat. Selain itu, desa tanah kelahiran mereka tetap menjadi tanah ulayat penduduk desa.
“Terdapat pro kontra di tengah warga. Namun, mayoritas sudah setuju dipindahkan pemukimannya. Tapi , desa kami tetap menjadi milik kami. Karena bagaimanapun juga itu merupakan sejarah panjang dari leluhur hingga anak-cucu kami nantinya. Tapi itupun merupakan permintaan,bagaimana baiknya kami serahkan kepada pemerintah,” kata Amin.
Sebagaimana terpantau di lapangan, rumah dan milik warga mengalami kerusakan yang cukup signifikan. Secara kasat mata, perladangan warga harus mendapatkan perlakukan khusus dalam pengelolaan ke depan. Ketabalan debu vulkanik hasil erupsi yang saat ini terlihat menjadi sedimen diperkirakan mencapai ketebalan 30 centimeter.
Untuk mengolah lahan yang tertutup sedimen 30 cm itu, dibutuhkan keahlian dan permodalan yang cukup banyak. Belum ada hasil penelitian pasti dan paparan dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Pemkab Karo, sehubungan dampak itu. (nng/smg/rud/rbb)