26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kenapa Saya yang Dijadikan Tumbal?

 

Foto: Bayu/PM Sidang kasus markup biaya perjalanan dinas anggota DPRD Langkat, di PN Stabat, Kamis (14/8/2014).
Foto: Bayu/PM
Sidang kasus markup biaya perjalanan dinas anggota DPRD Langkat, di PN Stabat, Kamis (14/8/2014).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sejak awal kasus korupsi perjalalanan dinas 50 anggota DPRD Langkat bergulir di polisi, H. Salman tetap kukuh mengaku dijadikan tumbal. Bahkan di sidang lanjutan kemarin (27/11) di Pengadilan Tipikor PN Medan, Sekretaris Dewsan (Sekwan) DPRD Langkat itu, juga berkata senada lewat pledoi (pembelaan) yang dibaca di hadapan majelis hakim.

Sambil menangis, Salman mengaku jadi tumbal dalam perkara ini. “Kenapa saya yang harus dijadikan tumbal dalam perkara ini? Padahal yang melaksanakan perjalanan dinas seluruh anggota dewan termasuk pimpinan, seharusnya mereka juga bertanggung jawab,” isaknya.

Apalagi, sambungnya, kala Kejari Stabat menetapkannya sebagai tersangka, tim penyidik belum sekalipun melakukan pemeriksaan terhadap pimpinan atau pun anggota DPRD Langkat. Parahnya, usai Salman jadi tersangka, pimpinan dan anggota dewan mengembalikan uang sebesar Rp100 juta kepada penyidik.

“Saya sangat heran, penetapan saya sebagai tersangka malah saya ketahui dari media cetak. Dan setelah saya ditetapkan sebagai tersangka, disitu pimpinan dan anggota dewan mengembalikan uang Rp100 juta yang dititipkan kepada Bendahara dan saya menyerahkannya ke penyidik,” terangnya.

Malah, tambah Salman dalam pembelaannya, berdasarkan keterangan saksi, Zulhendra Purnama alias Hendra, menaikkan harga tiket adalah inisiatifnya, dan uang tersebut sebagai jasa dan digunakan untuk pengurusan check in dan kursi pesawat.

“Dalam keterangan Hendra, di situ dia mengakui kalau menaikkan harga tiket adalah inisiatifnya sendiri, dan bukan atas perintah atau permintaan saya,” terangnya.

Bahkan dalam pembelaan tersebut, dirinya menjelaskan kalau dalam fakta persidangan pimpinan dan anggota dewan banyak yang melakukan perjalan fiktif terutama RHB selaku Ketua DPRD Langkat. “Saya sangat kecewa, kenapa yang jelas-jelas sudah ada fakta kalau pimpinan dan anggota dewan yang melakukan perjalanan fiktif tidak dijadikan tersangka,” terangnya.

Hal yang sama juga dikatakan H. Supono, mantan Sekwan DPRD Langkat yang juga jadi terdakwa bersama Salman. “Semua anggota dewan melakukan perjalanan, dan kenapa hanya kami saja yang dijadikan tersangka, seharusnya pimpinan dan anggota dewan harus bertanggung jawab,” ungkapnya.

Usai mendengarkan pembelaannya, majelis hakim yang diketuai oleh Parlindungan Sinaga,SH, ini pun menunda persidangan hingga minggu depan dengan agenda putusan. Menanggapi itu, pengamat hukum, Hermansyah, mengatakan kalau RHB selaku mantan Ketua DPRD Langkat seharusnya ditarik secara hukum sebagai pelaku utama dalam perkara ini. “Seharusnya RHB lah yang dijadikan pelaku utama dalam perkara ini. Karena dirinya yang mengetahui dan bertanggung jawab atas perjalanan tersebut. Kalau Sekwan tidak dapat merubah apa yang sudah menjadi keputusan,” terangnya.

“Seharusnya majelis hakim harus berani mengambil sikap untuk menjadikan seluruh anggota dewan bertnggung jawab. Jangan ada indikasi tebang pilih, runcing ke bawah tetapi tumpul ke atas,” ujarnya.

Sebelumnya dalam agenda tuntutan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Stabat, Arif, dalam tuntutannya, meminta kepada majelis hakim untuk menjatuhkan pidana kurungan penjara selama 1 tahun 6 bulan penjara, denda Rp 50 juta dan subsidair 3 bulan kurungan. Kedua terdakwa pun dikenakan pasal 3 jo Pasal 18 UU RI Nomor 30/1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Dalam dakwaan sebelumnya, jaksa mengatakan, pada Tahun Anggaran (TA) 2012, Pemkab Langkat mengalokasikan dana Rp27,1 miliar untuk biaya perjalanan dinas 50 anggota DPRD Langkat. Anggaran tersebut tertuang dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2012.

Dari jumlah itu, menurut jaksa, yang terealisasi hingga akhir 2012 sebesar Rp17,3 miliar. Biaya perjalanan dinas di antaranya untuk pembelian tiket pesawat Garuda Indonesia dan Lion Air itu telah dimark-up kedua terdakwa, yakni untuk Garuda Indonesia di mark-up Rp100 ribu per tiker dan Lion Air Rp80 ribu per tiket.

“Terdakwa menaikkan harga tiket pesawat Garuda Indonesia dan Lion Air sebanyak 173 tiket,” kata jaksa. Selain harga tiket dinaikkan, ada juga nama anggota dewan yang tercantum dalam database Garuda Indonesia dan Lion Air, namun tidak berangkat.

Ada juga nomor tiket tetapi tidak ada dalam database di kedua maskapai tersebut. Meski begitu, tiket tetap dibayarkan. Akibat perbuatan kedua terdakwa tersebut, kata jaksa, negara dirugikan Rp665,9 juta. “Dari Juli-Desember 2012, kerugian negara sebesar Rp330,4 juta,” ujar jaksa.(bay/trg)

 

Foto: Bayu/PM Sidang kasus markup biaya perjalanan dinas anggota DPRD Langkat, di PN Stabat, Kamis (14/8/2014).
Foto: Bayu/PM
Sidang kasus markup biaya perjalanan dinas anggota DPRD Langkat, di PN Stabat, Kamis (14/8/2014).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sejak awal kasus korupsi perjalalanan dinas 50 anggota DPRD Langkat bergulir di polisi, H. Salman tetap kukuh mengaku dijadikan tumbal. Bahkan di sidang lanjutan kemarin (27/11) di Pengadilan Tipikor PN Medan, Sekretaris Dewsan (Sekwan) DPRD Langkat itu, juga berkata senada lewat pledoi (pembelaan) yang dibaca di hadapan majelis hakim.

Sambil menangis, Salman mengaku jadi tumbal dalam perkara ini. “Kenapa saya yang harus dijadikan tumbal dalam perkara ini? Padahal yang melaksanakan perjalanan dinas seluruh anggota dewan termasuk pimpinan, seharusnya mereka juga bertanggung jawab,” isaknya.

Apalagi, sambungnya, kala Kejari Stabat menetapkannya sebagai tersangka, tim penyidik belum sekalipun melakukan pemeriksaan terhadap pimpinan atau pun anggota DPRD Langkat. Parahnya, usai Salman jadi tersangka, pimpinan dan anggota dewan mengembalikan uang sebesar Rp100 juta kepada penyidik.

“Saya sangat heran, penetapan saya sebagai tersangka malah saya ketahui dari media cetak. Dan setelah saya ditetapkan sebagai tersangka, disitu pimpinan dan anggota dewan mengembalikan uang Rp100 juta yang dititipkan kepada Bendahara dan saya menyerahkannya ke penyidik,” terangnya.

Malah, tambah Salman dalam pembelaannya, berdasarkan keterangan saksi, Zulhendra Purnama alias Hendra, menaikkan harga tiket adalah inisiatifnya, dan uang tersebut sebagai jasa dan digunakan untuk pengurusan check in dan kursi pesawat.

“Dalam keterangan Hendra, di situ dia mengakui kalau menaikkan harga tiket adalah inisiatifnya sendiri, dan bukan atas perintah atau permintaan saya,” terangnya.

Bahkan dalam pembelaan tersebut, dirinya menjelaskan kalau dalam fakta persidangan pimpinan dan anggota dewan banyak yang melakukan perjalan fiktif terutama RHB selaku Ketua DPRD Langkat. “Saya sangat kecewa, kenapa yang jelas-jelas sudah ada fakta kalau pimpinan dan anggota dewan yang melakukan perjalanan fiktif tidak dijadikan tersangka,” terangnya.

Hal yang sama juga dikatakan H. Supono, mantan Sekwan DPRD Langkat yang juga jadi terdakwa bersama Salman. “Semua anggota dewan melakukan perjalanan, dan kenapa hanya kami saja yang dijadikan tersangka, seharusnya pimpinan dan anggota dewan harus bertanggung jawab,” ungkapnya.

Usai mendengarkan pembelaannya, majelis hakim yang diketuai oleh Parlindungan Sinaga,SH, ini pun menunda persidangan hingga minggu depan dengan agenda putusan. Menanggapi itu, pengamat hukum, Hermansyah, mengatakan kalau RHB selaku mantan Ketua DPRD Langkat seharusnya ditarik secara hukum sebagai pelaku utama dalam perkara ini. “Seharusnya RHB lah yang dijadikan pelaku utama dalam perkara ini. Karena dirinya yang mengetahui dan bertanggung jawab atas perjalanan tersebut. Kalau Sekwan tidak dapat merubah apa yang sudah menjadi keputusan,” terangnya.

“Seharusnya majelis hakim harus berani mengambil sikap untuk menjadikan seluruh anggota dewan bertnggung jawab. Jangan ada indikasi tebang pilih, runcing ke bawah tetapi tumpul ke atas,” ujarnya.

Sebelumnya dalam agenda tuntutan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Stabat, Arif, dalam tuntutannya, meminta kepada majelis hakim untuk menjatuhkan pidana kurungan penjara selama 1 tahun 6 bulan penjara, denda Rp 50 juta dan subsidair 3 bulan kurungan. Kedua terdakwa pun dikenakan pasal 3 jo Pasal 18 UU RI Nomor 30/1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Dalam dakwaan sebelumnya, jaksa mengatakan, pada Tahun Anggaran (TA) 2012, Pemkab Langkat mengalokasikan dana Rp27,1 miliar untuk biaya perjalanan dinas 50 anggota DPRD Langkat. Anggaran tersebut tertuang dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2012.

Dari jumlah itu, menurut jaksa, yang terealisasi hingga akhir 2012 sebesar Rp17,3 miliar. Biaya perjalanan dinas di antaranya untuk pembelian tiket pesawat Garuda Indonesia dan Lion Air itu telah dimark-up kedua terdakwa, yakni untuk Garuda Indonesia di mark-up Rp100 ribu per tiker dan Lion Air Rp80 ribu per tiket.

“Terdakwa menaikkan harga tiket pesawat Garuda Indonesia dan Lion Air sebanyak 173 tiket,” kata jaksa. Selain harga tiket dinaikkan, ada juga nama anggota dewan yang tercantum dalam database Garuda Indonesia dan Lion Air, namun tidak berangkat.

Ada juga nomor tiket tetapi tidak ada dalam database di kedua maskapai tersebut. Meski begitu, tiket tetap dibayarkan. Akibat perbuatan kedua terdakwa tersebut, kata jaksa, negara dirugikan Rp665,9 juta. “Dari Juli-Desember 2012, kerugian negara sebesar Rp330,4 juta,” ujar jaksa.(bay/trg)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/