Penggunaan merkuri (air raksa) dan sianida oleh para penambang emas liar dan pengusaha galundung di Madina, disinyalir tidak terkontrol. Air sisa pengolahan emas dibuang begitu saja ke irigasi yang mengalir ke kolam, sawah, maupun sungai. Bahayanya tidak terlihat dalam jangka pendek. Tapi jangka panjang, bisa mengakibatkan bayi lahir cacat, IQ rendah, dan berbagai efek negatif lainnya.
Dame Ambarita, Panyabungan
Bahaya penggunaan merkuri dan sianida oleh para penambang emas liar sudah kerap disosialisasikan Pemkab Madina ke masyarakat, baik melalui brosur maupun lewat radio.
“Tapi penambang dan pengusaha galundung tidak peduli. Malah ada yang nantang: ’Mana? Bila perlu saya minum.’ Ada juga yang langsung mencelupkan tangannya ke air limbah pengolahan emas itu,” cetus anggota Komisi I DPRD Madina, Iskandar Hasibuan, di Panyabungan, akhir pekan lalu.
Pengamatan Sumut Pos di lapangan, para pekerja di galundung memang tidak mengenakan sarung tangan atau masker saat mengoperasikan galundung. Sementara air bekas pengolahan dan pemisahan emas dibuang begitu saja. Ada yang dibuang ke tanah, ada yang ke saluran air.
Informasi dihimpun, warga sekitar pertambangan sebenarnya sudah resah pasca banyaknya ikan di sungai Aek Simalagi yang mati mendadak. Kuat dugaan sungai Simalagi telah tercemar air raksa yang digunakan galundung. Sementara warga menggunakan air sungai Simalagi untuk Mandi, Cuci, Kakus (MCK), juga untuk bersawah dan air wudhu di masjid.
Franz Goetz, ahli pertanian dan peternakan asal Jerman —yang setahun terakhir mendampingi warga Hutabargot dan Naga Juang mengelola pertanian, peternakan, dan pembibitan pohon—, mengaku sangat khawatir dengan bahaya merkuri dalam jangka panjang. “Merkuri itu zat kimia berbahaya yang efeknya baru akan dirasakan setelah beberapa tahun. Jika merkuri masuk ke tubuh ikan, dan ikannya kita konsumsi, kita juga akan terpapar merkuri,” jelasnya.
Hasil penelitian menyebutkan, merkuri bisa menyebabkan kemandulan, keguguran, bayi lahir cacat, merusak gen manusia, IQ rendah, gatal-gatal, keracunan, dan efek negatif lainnya. “Merkuri adalah zat kimia yang mengendap dan tidak larut dalam air. Jika terhirup secara langsung, dapat menimbulkan penyakit seperti napas memendek, rasa panas di dada, serta peradangan paru,” katanya.
Pak Nur, pemerhati pertambangan liar di Madina menjelaskan, selain merugikan kesehatan warga Madina, aktivitas penambangan liar juga sangat merugikan pemerintah. Pertama, negara tidak memperoleh PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan) dari para penambang, kedua tidak ada dana reboisasi untuk hutan yang mereka rusak, ketiga tidak ada pajak dan IPK (Izin Pemanfaatan Kayu), keempat tidak ada royalti dari setiap hasil tambang yang digali, kelima tidak ada sewa tanah yang dibayar, dan keenam tidak ada retribusi daerah.
“Yang diuntungkan dari penambangan emas liar hanya pelakunya saja. Sementara kerusakan yang mereka akibatkan cukup banyak Seperti deforestasi, erosi, pencemaran sumber air, sampah berserakan. Belum lagi efek sosialnya,” cetusnya,.
Ekses negatif dari keberadaan penambang dari luar Madina, antara lain maraknya orang-orang yang berjudi, minum-minuman keras, serta pelacuran yang mereka lakukan di sejumlah penginapan di Panyabungan. “Bahkan ada penambang yang nekat mengganggu istri warga lokal,” sebutnya.
Terkait aktivitas penambangan liar di Madina, Kepala Bagian Humas Pemkab Madina, Muhamad Haposan Nasution, menyatakan, Pemkab Madina masih bingung mengambil langkah untuk penertiban tambang rakyat dan juga maraknya galundung. Kebingungan itu mengingat ribuan masyarakat saat ini bergantung hidup dari hasil tambang rakyat. “Sebenarnya ada berkembang rencana untuk melokalisasi galundung dalam satu area khusus. Itu untuk melindungi pendapatan masyarakat, sekaligus meminimalisir meluasnya ancaman kerusakan lingkungan akibat tambang liar,” katanya. Namun rencana itu masih sebatas wacana. Belum ada langkah merealisasikannya.
Anggota Komisi I DPRD Madina, Iskandar Hasibuan, mengatakan, penambangan liar di Madina seperti buah simalakama. “Jika memang mau ditertibkan, Muspida harus tegas. Jangan pilih kasih, jangan plintat plintut. Tertibkan mulai dari atas. Termasuk menertibkan galundung,” tegasnya.
Selama ini, kata dia, aparat kepolisian hanya sekedar menangkap tukang langsir atau tukang gebos (mengecek kandungan emas). Sementara toke lubang tambang tidak diganggu. “Kalau polisi beralasan tidak tau siapa tokenya, tak masuk akallah,” kritiknya tajam.
Ia melihat, masyarakat umumnya belum paham bahaya merkuri. “Tak ada sosialiasi yang berkelanjutan. Kalau masyakarat paham bahayanya, pasti mereka mundur. Saya sudah lihat sendiri efek penggunaan merkuri pada tambang emas di Nusa Tenggara Timur. Ada bayi lahir cacat, gatal-gatal, dan sebagainya. Ngerilah,” kata dia.
Anggota dewan dari Fraksi Perjuangan Reformasi ini menegaskan, sepanjang ada niat pemerintah daerah dan pusat, penambangan liar pasti bisa diberantas.
Kapolres Madina, AKBP Achmad Fauzi Dalimunthe SIK, yang dikonfirmasi wartawan Metro Tabagsel (grup Sumut Pos) belum lama ini, membantah tuduhan bahwa Polres membackingi penambangan liar di Nagajuang dan Hutabargot. Hanya
saja Kapolres mengaku, mungkin ada beberapa yang membandel ikut naik ke atas.
“Tidak ada personel Polres yang membacking kegiatan tambang liar di Hutabargot atau di Nagajuang. Yang naik memang mungkin saja ada, itupun personil yang bandel,” ujarnya.
Dilanjutkannya, pihaknya sendiri sebenarnya terkendala dalam penertiban tambang liar, ini akibat tidak adanya tanggapan dari Pemkab Madina. Selama ini kata dia, Pemkab belum terlihat serius menangani tambang liar, dan masyarakat masih bebas melakukan kegiatan tambang.
Untuk diketahui, kegiatan pertambangan seharusnya mempunyai izin. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Izin pertambangan dapat diajukan kepada Bupati, Gubernur, atau Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, tergantung pada luas lahan yang dimintakan izinnya. Tidak boleh ada izin yang tumpang tindih.
Di Hutabargot dan Naga Juang, saat ini izin penambangan bijih emas dipegang oleh PT Sorikmas Mining. Dalam Kontrak Karya dengan pemerintah pusat dinyatakan, Sorikmas Mining menjadi kontraktor tunggal melakukan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah dimaksud.
Government and Media Relations Superintendent PT Sorikmas Mining, Nurul Fazrie, mengatakan, UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan jelas mengatur bagaimana seseorang atau perusahaan atau koperasi untuk mendapatkan izin penambangan. Jika seseorang atau sebuah perusahaan melaksanakan kegiatan penambangan tanpa izin, maka sanksinya cukup berat, yaitu hukuman penjara maksimal 10 tahun dan denda uang maksimal Rp 10 miliar.
“Bukan hanya penambang yang mendapatkan sanksi hukum seperti itu, tapi juga orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, dan penjualan bijih emas,” tandasnya.
Adapun cadangan emas di Bukit Sihayo (Hutabargot dan Sambung (Nagajuang), kata Nurul, diperkirakan mencapai 46 ton. Cadangan itu direncanakan akan dieksploitasi Sorikmas Mining selama 7 sampai 10 tahun. Meski Kontrak Karya Sorikmas sudah ditandatangani sejak tahun 1999, namun hingga saat ini pihak Sorikmas belum memasuki tahap operasi dan produksi emas. Direncanakan, tahap produksi baru mulai beberapa tahun lagi. (Habis)