22.4 C
Medan
Saturday, January 18, 2025

CPO Terserap hanya 40 Persen, GAPKI Sarankan Percepat B20 dan B30

Sawit

SUMUTPOS.CO – Ketergantungan industri kelapa sawit Sumatera Utara dengan permintaan pasar ekspor, masih tinggi. Data dari Dinas Perkebunan Sumut, produksi TBS sawit yang diolah menjadi crude palm oil (CPO), hanya terserap 40 persen oleh industri lokal atau domestik. Sisanya 60 persen produksi CPO harus diekspor.

SAAT ini, luas perkebunan sawit di Sumatera Utara saat ini mencapai 1,2 juta hektar. Area terluas terdapat di Kabupaten Labuhanbatu dan Labuhanbatu Selatan.

“Dari 100 persen produksi CPO yang diperoleh, hanya 40 persen yang diserap industri domestik. Antara lain dijadikan minyak goreng dan biodiesel. Untuk pengolahan minyak goreng hanya terserap lebih kurang 10 persen,” kata Kepala Dinas Perkebunan Sumut, Herawati menjawab Sumut Pos, Jumat (30/11), terkait anjloknya harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit di tingkat petani, dari normalnya Rp1.300 per kg menjadi rata-rata Rp790 per kg.

Penyerapan CPO sebanyak 10 persen menjadi minyak goreng, menurut Herawati, sudah sangat cukup untuk kebutuhan di Sumut. Buktinya, sangat jarang terdengar kabar Sumut mengalami kelangkaan minyak goreng. “Sebetulnya hilirisasi domestik untuk produk turunan CPO inilah yang perlu diperluas. Sehingga produk yang kita miliki tidak kalah bersaing dengan produk dari negara lain,” katanya.

Tentang anjloknya harga TBS sawit, Herawati menolai, dikarenakan ekonomi global yang sedang lesu. Untuk itu, ia menyarankan petani agar mengurangi konsumsi rumah tangga. Juga menjaga soliditas komunitas petani sekaligus mencari bentuk usaha lain di luar yang dijalani sekarang. “Petani sudah bisa berpikir diversifikasi usaha, untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Sebab kita tidak bisa memegang kendali pasar saat ini terlebih untuk komoditas ekspor seperti sawit,” katanya.

GAPKI: Percepat B20 dan B30
Menanggapi anjloknya harga TBS sawit, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumatera Utara (Sumut) menyarankan pemerintah melakukan percepatan implementasi produksi biodiesel B20-B30.

“Solusi, salah satunya penghapusan sementara kutipan (biaya ekspor) sawit $50/ton. Ini sudah dilakukan kemarin. Tetapi yang terpenting adalah percepatan implementasi B20 dan kalau bisa B30,” ujar Sekretaris GAPKI Sumut, Timbas Prasad Ginting, kepada Sumut Pos, Jumat (30/11).

Percepatan implementasi penggunaan B20-B30, yakni penggunaan minyak sawit dalam campuran solar (biodiesel) berdasarkan angka persentase. Kata Timbas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bisa dimanfaatkan untuk penggunaan B20-B30.

“Kita minta agar pemerintah segera mengeluarkan surat agar BUMN, seperti PLN yang mesinnya menggunakan solar di 2018, segera menggunakan B50-B100. Sehingga penyerapan CPO di dalam negeri makin meningkat dan harga CPO bisa kembali stabil,” jelasnya.

Begitu juga dengan kendaraan bermotor, agar mengunakan bahan bakar solar B20. “Kalau CPO Indonesia digunakan untuk bahan bakar, maka produksi CPO kita akan terserap cukup banyak dalam negeri,” sebutnya

Dengan peningkatan pengunaan biosolar (dengan campuran minyak sawit) secara massal, otomatis produksi CPO tidak tergantung pada pasar global. Pasokan CPO dunia pun akan berkurang. Sehingga harga bisa dikendalikan. “Tak hanya petani dan perusahaan yang untung, negara juga ikut untung,” kata Timbas. Senada dengan Timbas, Pengamat Ekonomi, Gunawan Benjamin mengatakan, penerapan mandatory B20 sebenarnya menjadi jalan keluar atas anjloknya harga minyak sawit saat ini. Soal B20, menurutnya Indonesia lebih maju dibandingkan negara tetangga Malaysia, yang baru menerapkan B10.

“Namun jika ditanya mengenai solusi menaikkan harga TBS saat ini, jelas tidak ada solusi instan. Jangka pendek, kita tetap tidak bisa berbuat banyak. Kita hanya bisa berharap pada konsumsi CPO global,” ucap Dosen Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) itu, kemarin.

Alasannya, kata dia, saat ini stok CPO dunia terus membanjir pasar.

Sementara terjadi penguatan mata uang rupiah, ditambah lagi penurunan harga komoditas dunia. Termasuk komoditas yang jadi pesaing sawit, yakni kedelai.

Ia berharap, ada kebijakan dari negara pengimpor, khususnya yang bisa memperlonggar kebijakan tarif impor sawit. Contohnya oleh India, sebagai salah satu pengimpor besar CPO dari Indonesia.

Solusi jangka panjang, menurut Gunawan, adalah memperbanyak konsumsi sawit dalam negeri. Solusi ini akan mampu menstabilkan harga TBS Sawit ke harga normal. “Dibutuhkan kesiapan investor, termasuk ketersediaan infrastrukturnya,” tutur Gunawan. (prn/bal/gus)

Sawit

SUMUTPOS.CO – Ketergantungan industri kelapa sawit Sumatera Utara dengan permintaan pasar ekspor, masih tinggi. Data dari Dinas Perkebunan Sumut, produksi TBS sawit yang diolah menjadi crude palm oil (CPO), hanya terserap 40 persen oleh industri lokal atau domestik. Sisanya 60 persen produksi CPO harus diekspor.

SAAT ini, luas perkebunan sawit di Sumatera Utara saat ini mencapai 1,2 juta hektar. Area terluas terdapat di Kabupaten Labuhanbatu dan Labuhanbatu Selatan.

“Dari 100 persen produksi CPO yang diperoleh, hanya 40 persen yang diserap industri domestik. Antara lain dijadikan minyak goreng dan biodiesel. Untuk pengolahan minyak goreng hanya terserap lebih kurang 10 persen,” kata Kepala Dinas Perkebunan Sumut, Herawati menjawab Sumut Pos, Jumat (30/11), terkait anjloknya harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit di tingkat petani, dari normalnya Rp1.300 per kg menjadi rata-rata Rp790 per kg.

Penyerapan CPO sebanyak 10 persen menjadi minyak goreng, menurut Herawati, sudah sangat cukup untuk kebutuhan di Sumut. Buktinya, sangat jarang terdengar kabar Sumut mengalami kelangkaan minyak goreng. “Sebetulnya hilirisasi domestik untuk produk turunan CPO inilah yang perlu diperluas. Sehingga produk yang kita miliki tidak kalah bersaing dengan produk dari negara lain,” katanya.

Tentang anjloknya harga TBS sawit, Herawati menolai, dikarenakan ekonomi global yang sedang lesu. Untuk itu, ia menyarankan petani agar mengurangi konsumsi rumah tangga. Juga menjaga soliditas komunitas petani sekaligus mencari bentuk usaha lain di luar yang dijalani sekarang. “Petani sudah bisa berpikir diversifikasi usaha, untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Sebab kita tidak bisa memegang kendali pasar saat ini terlebih untuk komoditas ekspor seperti sawit,” katanya.

GAPKI: Percepat B20 dan B30
Menanggapi anjloknya harga TBS sawit, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumatera Utara (Sumut) menyarankan pemerintah melakukan percepatan implementasi produksi biodiesel B20-B30.

“Solusi, salah satunya penghapusan sementara kutipan (biaya ekspor) sawit $50/ton. Ini sudah dilakukan kemarin. Tetapi yang terpenting adalah percepatan implementasi B20 dan kalau bisa B30,” ujar Sekretaris GAPKI Sumut, Timbas Prasad Ginting, kepada Sumut Pos, Jumat (30/11).

Percepatan implementasi penggunaan B20-B30, yakni penggunaan minyak sawit dalam campuran solar (biodiesel) berdasarkan angka persentase. Kata Timbas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bisa dimanfaatkan untuk penggunaan B20-B30.

“Kita minta agar pemerintah segera mengeluarkan surat agar BUMN, seperti PLN yang mesinnya menggunakan solar di 2018, segera menggunakan B50-B100. Sehingga penyerapan CPO di dalam negeri makin meningkat dan harga CPO bisa kembali stabil,” jelasnya.

Begitu juga dengan kendaraan bermotor, agar mengunakan bahan bakar solar B20. “Kalau CPO Indonesia digunakan untuk bahan bakar, maka produksi CPO kita akan terserap cukup banyak dalam negeri,” sebutnya

Dengan peningkatan pengunaan biosolar (dengan campuran minyak sawit) secara massal, otomatis produksi CPO tidak tergantung pada pasar global. Pasokan CPO dunia pun akan berkurang. Sehingga harga bisa dikendalikan. “Tak hanya petani dan perusahaan yang untung, negara juga ikut untung,” kata Timbas. Senada dengan Timbas, Pengamat Ekonomi, Gunawan Benjamin mengatakan, penerapan mandatory B20 sebenarnya menjadi jalan keluar atas anjloknya harga minyak sawit saat ini. Soal B20, menurutnya Indonesia lebih maju dibandingkan negara tetangga Malaysia, yang baru menerapkan B10.

“Namun jika ditanya mengenai solusi menaikkan harga TBS saat ini, jelas tidak ada solusi instan. Jangka pendek, kita tetap tidak bisa berbuat banyak. Kita hanya bisa berharap pada konsumsi CPO global,” ucap Dosen Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) itu, kemarin.

Alasannya, kata dia, saat ini stok CPO dunia terus membanjir pasar.

Sementara terjadi penguatan mata uang rupiah, ditambah lagi penurunan harga komoditas dunia. Termasuk komoditas yang jadi pesaing sawit, yakni kedelai.

Ia berharap, ada kebijakan dari negara pengimpor, khususnya yang bisa memperlonggar kebijakan tarif impor sawit. Contohnya oleh India, sebagai salah satu pengimpor besar CPO dari Indonesia.

Solusi jangka panjang, menurut Gunawan, adalah memperbanyak konsumsi sawit dalam negeri. Solusi ini akan mampu menstabilkan harga TBS Sawit ke harga normal. “Dibutuhkan kesiapan investor, termasuk ketersediaan infrastrukturnya,” tutur Gunawan. (prn/bal/gus)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/