33 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Pengendalian Inflasi Sumut Masih Berat

Foto: Sutan Siregar/Sumut Pos Penjual cabai merah di Pasar Petisah Medan, Harga cabai merah menjadi penyumbang inflasi terbesar di Medan.
Foto: Sutan Siregar/Sumut Pos
Penjual cabai merah di Pasar Petisah Medan, Harga cabai merah menjadi penyumbang inflasi terbesar di Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO  – Tahun 2016, Sumut kedodoran dalam upayanya untuk mengendalikan laju inflasi. Harga pangan masih menjadi momok yang menakutkan di akhir tahun ini. Oleh sebab itu, di tahun depan, 2017, tantangan untuk mengendalikan inflasi masih terbilang cukup berat.

Menurut ekonom Sumut, Gunawan Benjamin, tantangan yang dihadapi berupa faktor di dalam maupun luar negeri. Seperti, masalah ketidakpastian cuaca yang bisa saja melambungkan harga pangan hingga kebijakan pemerintah pusat.

“Salah satu kebijakan pemerintah pusat yang mempengaruhi adalah kenaikan tarif listrik. Harga-harga cenderung akan mengalami kenaikan saat tarif listrik 900 Volt Ampere (VA) subsidinya dihapus. Hal ini akan menjadi pemicu inflasi jika nantinya harga minyak mentah dunia juga terus berfluktuasi,” ujar Gunawan, kemarin.

Diutarakannya, sejauh ini harga minyak mentah dunia telah melambung di atas $50 per barelnya. Kondisi seperti ini diperkirakan akan terus berlangsung dalam jangka menengah panjang. Terlebih, OPEC telah menemui kata sepakat untuk memangkas produksinya. Dengan kenaikan harga minyak mentah di atas $50, maka ada peluang harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri nantinya disesuaikan.

“Sumbangan terhadap inflasi untuk kenaikan harga BBM maupun tarif listrik itu cukup signifikan. Jadi, kita berharap pemerintah daerah, seperti Bank Indonesia Sumut maupun institusi yang tergabung dalam TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah) memiliki program kerja yang komperhensif untuk mengatasi kemungkinan peningkatan tekanan laju inflasi di tahun depan,” sebut praktisi ekonomi lulusan Universitas Gadjah Mada ini.

Ia mengemukakan, selain itu inflasi juga sangat dipengaruhi oleh kenaikan gaji pekerja yang tertuang dalam upah minimum di akhir tahun ini. Untuk itu, pemerintah harus bisa melindungi masyarakat dari tekanan harga yang melemahkan daya beli. Jangan sampai harga yang tidak bisa ditekan memperburuk masalah belanja rumah tangga masyarkaat di Sumut.

“Kita semua harus belajar dari kejadian sebelumnya. Tahun 2016 ini saja sudah menjadi pukulan telak bagi kita, karena saya pikir kita gagal dalam mengendalikan laju inflasi. Inflasi bergerak liar yang dimotori oleh kenaikan harga cabai sebelumnya. Karena dengan inflasi yang tinggi, ini bisa membuat kenaikan gaji buruh tidak memberikan manfaat yang optimal untuk dibelanjakan bagi kebutuhan rumah tangga,” cetusnya.

Lebih lanjut Gunawan menuturkan, selama tahun 2016 lonjakan harga komoditas khususnya cabai menjadi gambaran buruk pengelolaan inflasi di Sumut. Realisasi inflasi yang melebihi angka 6 persen selama tahun berjalan, membuat target inflasi atas BI sebesar 5.5 persen terlampaui. Padahal, BI memiliki target inflasi tahunan sebesar 4,5 peren plus minus 1 persen.

“Di tahun ini, pemerintah daerah seharusnya menyadari serta belajar bahwa sisi pengelolaan kebutuhan masyarakat belum sepenuhnya terkelola dengan cukup baik. Sumut masih kedodoran jika dihadapkan dengan anomali cuaca yang membuat harga pangan menjadi sulit dikendalikan,” bebernya.

Meski demikian, sambung Gunawan, di tahun 2017 dinilai Sumut akan mampu merealisasikan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan tahun ini. Meskipun, targetnya masih tidak beranjak jauh dari tahun 2016.

“Saya melihat potensi pertumbuhannya masih bisa diakselerasi hingga ke angka 5,4 persen. Beberapa faktor yang mempengaruhi perbaikan pertumbuhan ekonomi di antaranya adalah belanja pemerintah serta adanya kemungkinan membaiknya harga komoditas unggulan Sumut, seperti sawit dan karet, walaupun tantangannya tidak sedikit,” pungkasnya.

Foto: Sutan Siregar/Sumut Pos Penjual cabai merah di Pasar Petisah Medan, Harga cabai merah menjadi penyumbang inflasi terbesar di Medan.
Foto: Sutan Siregar/Sumut Pos
Penjual cabai merah di Pasar Petisah Medan, Harga cabai merah menjadi penyumbang inflasi terbesar di Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO  – Tahun 2016, Sumut kedodoran dalam upayanya untuk mengendalikan laju inflasi. Harga pangan masih menjadi momok yang menakutkan di akhir tahun ini. Oleh sebab itu, di tahun depan, 2017, tantangan untuk mengendalikan inflasi masih terbilang cukup berat.

Menurut ekonom Sumut, Gunawan Benjamin, tantangan yang dihadapi berupa faktor di dalam maupun luar negeri. Seperti, masalah ketidakpastian cuaca yang bisa saja melambungkan harga pangan hingga kebijakan pemerintah pusat.

“Salah satu kebijakan pemerintah pusat yang mempengaruhi adalah kenaikan tarif listrik. Harga-harga cenderung akan mengalami kenaikan saat tarif listrik 900 Volt Ampere (VA) subsidinya dihapus. Hal ini akan menjadi pemicu inflasi jika nantinya harga minyak mentah dunia juga terus berfluktuasi,” ujar Gunawan, kemarin.

Diutarakannya, sejauh ini harga minyak mentah dunia telah melambung di atas $50 per barelnya. Kondisi seperti ini diperkirakan akan terus berlangsung dalam jangka menengah panjang. Terlebih, OPEC telah menemui kata sepakat untuk memangkas produksinya. Dengan kenaikan harga minyak mentah di atas $50, maka ada peluang harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri nantinya disesuaikan.

“Sumbangan terhadap inflasi untuk kenaikan harga BBM maupun tarif listrik itu cukup signifikan. Jadi, kita berharap pemerintah daerah, seperti Bank Indonesia Sumut maupun institusi yang tergabung dalam TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah) memiliki program kerja yang komperhensif untuk mengatasi kemungkinan peningkatan tekanan laju inflasi di tahun depan,” sebut praktisi ekonomi lulusan Universitas Gadjah Mada ini.

Ia mengemukakan, selain itu inflasi juga sangat dipengaruhi oleh kenaikan gaji pekerja yang tertuang dalam upah minimum di akhir tahun ini. Untuk itu, pemerintah harus bisa melindungi masyarakat dari tekanan harga yang melemahkan daya beli. Jangan sampai harga yang tidak bisa ditekan memperburuk masalah belanja rumah tangga masyarkaat di Sumut.

“Kita semua harus belajar dari kejadian sebelumnya. Tahun 2016 ini saja sudah menjadi pukulan telak bagi kita, karena saya pikir kita gagal dalam mengendalikan laju inflasi. Inflasi bergerak liar yang dimotori oleh kenaikan harga cabai sebelumnya. Karena dengan inflasi yang tinggi, ini bisa membuat kenaikan gaji buruh tidak memberikan manfaat yang optimal untuk dibelanjakan bagi kebutuhan rumah tangga,” cetusnya.

Lebih lanjut Gunawan menuturkan, selama tahun 2016 lonjakan harga komoditas khususnya cabai menjadi gambaran buruk pengelolaan inflasi di Sumut. Realisasi inflasi yang melebihi angka 6 persen selama tahun berjalan, membuat target inflasi atas BI sebesar 5.5 persen terlampaui. Padahal, BI memiliki target inflasi tahunan sebesar 4,5 peren plus minus 1 persen.

“Di tahun ini, pemerintah daerah seharusnya menyadari serta belajar bahwa sisi pengelolaan kebutuhan masyarakat belum sepenuhnya terkelola dengan cukup baik. Sumut masih kedodoran jika dihadapkan dengan anomali cuaca yang membuat harga pangan menjadi sulit dikendalikan,” bebernya.

Meski demikian, sambung Gunawan, di tahun 2017 dinilai Sumut akan mampu merealisasikan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan tahun ini. Meskipun, targetnya masih tidak beranjak jauh dari tahun 2016.

“Saya melihat potensi pertumbuhannya masih bisa diakselerasi hingga ke angka 5,4 persen. Beberapa faktor yang mempengaruhi perbaikan pertumbuhan ekonomi di antaranya adalah belanja pemerintah serta adanya kemungkinan membaiknya harga komoditas unggulan Sumut, seperti sawit dan karet, walaupun tantangannya tidak sedikit,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/