31 C
Medan
Tuesday, May 7, 2024

Rp15 Triliun Dana Hibah Petani Sawit Mengendap di Kementan

MEDAN, SUMUTPOS – Wakil Ketua Komisi B DPRD Sumatera Utara, Zeira Salim Ritonga mengungkapkan, sedikitnya ada Rp15 triliun dana hibah untuk petani sawit melalui program PSR (Perkebunan Sawit Rakyat) saat ini mengendap di Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Menurutnya, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dan Koperasi Petani Sawit mesti merebutnya, guna meningkatkan pendapatan mereka.

“Dana hibah yang diambil dari hasil kutipan CPO (Crude Palm Oil) dan dikelola oleh BPDPKS  (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) ini diperuntukan untuk meningkatkan produktivitas petani sawit se Indonesia,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (18/11), seusai menemui Dirjen Perkebunan Kementan RI, Kasdi Subsgyono di Jakarta.

 Dari penjelasan Dirjen Perkebunan, terang Zeira, petani sawit akan mendapatkan dana hibah sebesar Rp30 juta/hektare dan setiap petani maksimal memeroleh bantuan lahan empat hektare, setelah lolos verifikasi dari Kementan RI.

“Jadi program PSR ini khusus untuk petani yang memiliki perkebunan kelapa sawit  sudah 25 tahun berproduksi dan ingin melakukan replanting atau penanaman baru (peremajaan),” tutur politisi Partai Kebangkitan Bangsa tersebut.

 Bagi masyarakat yang ingin mendapatkan bantuan hibah, sambung dia, segera mengusulkan melalui Gapoktan, kelompok tani maupun koperasi petani sawit ke Kementan Dirjen Perkebunan RI, untuk selanjutnya diserahkan kepada Dinas Pertanian kabupaten/kota di Sumut.

Zeira menyampaikan rasa kecewanya terhadap rendahnya serapan anggaran program PSR untuk Sumut yang hanya sebesar Rp250 miliar, dibandingkan dengan provinsi lain. “Minimnya serapan itu, karena kurangnya sosialisasi dari pemkab/pemko maupun Pemprov Sumut kepada masyarakat petani sawit, terkait  program PSR dimaksud,” kata sekretaris Fraksi Nusantara DPRD Sumut itu.

       Ia lantas menduga, rendahnya serapan atas program dimaksud disebabkan masih bertele-telenya birokrasi dalam pengusulan PSR yang dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah daerah, sehingga terkesan masih adanya mafia anggaran dalam penyalurannya.

Pengawasan Lemah

 Pengamat anggaran Elfenda Ananda mengatakan, permasalahan yang disampaikan Zeira Salim Ritonga tak semestinya terungkap jika pengawasan DPRD Sumut kuat dilakukan pada sektor dimaksud bersama DPRD kabupaten dan kota di Sumut.

“Terkait rendahnya serapan anggaran untuk program PSR ini untuk Sumut harusnya jadi perhatian lintas tingkatan di DPRD masing-masing dapil agar tidak ada semacam diskriminasi wilayah. Ini juga menunjukkan tugas pengawasan dari legislatif khususnya dapil Sumut rendah. Jangan sampai DPR RI dapil Sumut, DPRD provinsi dan kabupaten/kota seolah-olah buang badan dan tidak mau berempati terhadap permasalahan tersebut. Harus ada evaluasi dalam hal pengawasan kenapa hal ini bisa terjadi. Apakah birokrasi yang menghambat atau ada sistem yang masih menjadi persoalan,” katanya menanggapi persoalan dimaksud.

 Ia juga menyebut, persoalan ini takkan mengemuka andai tercipta transparansi dari program tersebut. “Harusnya tidak terjadi apabila ada transparansi. Tentu saja ini merugikan masyarakat khususnya petani kelapa sawit yang harusnya bisa produktif memanfaatkan bantuan tersebut. Dikarenakan tidak mendapat informasi tersebut akhirnya dana tersebut nganggur dan ekonomi tidak bergerak,” katanya.

 Terlebih dalam situasi pandemi, ujar mantan sekretaris eksekutif FITRA Sumut ini, seharusnya daya tahan petani harus dikuatkan dengan memberikan berbagai stimulus termasuk bantuan dana hibah. Selain itu hendaknya segala persoalan distribusi dan pemasaran juga dibantu agar para petani dapat tetap bertahan dalam situasi pandemi.

“Kan lumayan jumlahnya per hektare Rp30 juta. Bukankah hal tersebut dapat memperkuat perekonomian rakyat.

DPRD yang mewakili rakyat harusnya bekerja untuk membela kepentingan rakyat, kalau sudah tau permasalahan segera susun agenda kerja untuk mendorong terwujudnya realisasi program tersebut. Jangan sampai rakyat yang kurang akses informasi dan keterbatasan kemampuan lobi harus dirugikan haknya. Persoalan ini harus ditangani secara serius oleh DPRD agar hak rakyat dapat diperoleh,” katanya.

 Apalagi kata dia terhadap petani yang berhak sesuai dengan ketentuan yang kelapa sawitnya sudah usia 25 tahun berproduksi, dan ingin melakukan replanting atau penanaman baru (peremajaan) tentunya sangat membutuhkan pembiayaan. Saat ini, jangankan untuk penanaman baru, untuk bertahan hidup saja sudah cukup baik.

“Maka program pemerintah sudah tepat, jangan sampai tertunda program tersebut. Di sisi lain tentunya harus ada audit di Kementan RI terhadap tertundanya program ini, untuk memastikan bahwa parkirnya angggaran program ini bukan ada faktor disengaja agar ada keuntungan pihak tertentu. Ini untuk membersihkan praktik ketidak terbukaan anggaran yang seringkali merugikan rakyat,” pungkasnya. (prn)

MEDAN, SUMUTPOS – Wakil Ketua Komisi B DPRD Sumatera Utara, Zeira Salim Ritonga mengungkapkan, sedikitnya ada Rp15 triliun dana hibah untuk petani sawit melalui program PSR (Perkebunan Sawit Rakyat) saat ini mengendap di Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Menurutnya, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dan Koperasi Petani Sawit mesti merebutnya, guna meningkatkan pendapatan mereka.

“Dana hibah yang diambil dari hasil kutipan CPO (Crude Palm Oil) dan dikelola oleh BPDPKS  (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) ini diperuntukan untuk meningkatkan produktivitas petani sawit se Indonesia,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (18/11), seusai menemui Dirjen Perkebunan Kementan RI, Kasdi Subsgyono di Jakarta.

 Dari penjelasan Dirjen Perkebunan, terang Zeira, petani sawit akan mendapatkan dana hibah sebesar Rp30 juta/hektare dan setiap petani maksimal memeroleh bantuan lahan empat hektare, setelah lolos verifikasi dari Kementan RI.

“Jadi program PSR ini khusus untuk petani yang memiliki perkebunan kelapa sawit  sudah 25 tahun berproduksi dan ingin melakukan replanting atau penanaman baru (peremajaan),” tutur politisi Partai Kebangkitan Bangsa tersebut.

 Bagi masyarakat yang ingin mendapatkan bantuan hibah, sambung dia, segera mengusulkan melalui Gapoktan, kelompok tani maupun koperasi petani sawit ke Kementan Dirjen Perkebunan RI, untuk selanjutnya diserahkan kepada Dinas Pertanian kabupaten/kota di Sumut.

Zeira menyampaikan rasa kecewanya terhadap rendahnya serapan anggaran program PSR untuk Sumut yang hanya sebesar Rp250 miliar, dibandingkan dengan provinsi lain. “Minimnya serapan itu, karena kurangnya sosialisasi dari pemkab/pemko maupun Pemprov Sumut kepada masyarakat petani sawit, terkait  program PSR dimaksud,” kata sekretaris Fraksi Nusantara DPRD Sumut itu.

       Ia lantas menduga, rendahnya serapan atas program dimaksud disebabkan masih bertele-telenya birokrasi dalam pengusulan PSR yang dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah daerah, sehingga terkesan masih adanya mafia anggaran dalam penyalurannya.

Pengawasan Lemah

 Pengamat anggaran Elfenda Ananda mengatakan, permasalahan yang disampaikan Zeira Salim Ritonga tak semestinya terungkap jika pengawasan DPRD Sumut kuat dilakukan pada sektor dimaksud bersama DPRD kabupaten dan kota di Sumut.

“Terkait rendahnya serapan anggaran untuk program PSR ini untuk Sumut harusnya jadi perhatian lintas tingkatan di DPRD masing-masing dapil agar tidak ada semacam diskriminasi wilayah. Ini juga menunjukkan tugas pengawasan dari legislatif khususnya dapil Sumut rendah. Jangan sampai DPR RI dapil Sumut, DPRD provinsi dan kabupaten/kota seolah-olah buang badan dan tidak mau berempati terhadap permasalahan tersebut. Harus ada evaluasi dalam hal pengawasan kenapa hal ini bisa terjadi. Apakah birokrasi yang menghambat atau ada sistem yang masih menjadi persoalan,” katanya menanggapi persoalan dimaksud.

 Ia juga menyebut, persoalan ini takkan mengemuka andai tercipta transparansi dari program tersebut. “Harusnya tidak terjadi apabila ada transparansi. Tentu saja ini merugikan masyarakat khususnya petani kelapa sawit yang harusnya bisa produktif memanfaatkan bantuan tersebut. Dikarenakan tidak mendapat informasi tersebut akhirnya dana tersebut nganggur dan ekonomi tidak bergerak,” katanya.

 Terlebih dalam situasi pandemi, ujar mantan sekretaris eksekutif FITRA Sumut ini, seharusnya daya tahan petani harus dikuatkan dengan memberikan berbagai stimulus termasuk bantuan dana hibah. Selain itu hendaknya segala persoalan distribusi dan pemasaran juga dibantu agar para petani dapat tetap bertahan dalam situasi pandemi.

“Kan lumayan jumlahnya per hektare Rp30 juta. Bukankah hal tersebut dapat memperkuat perekonomian rakyat.

DPRD yang mewakili rakyat harusnya bekerja untuk membela kepentingan rakyat, kalau sudah tau permasalahan segera susun agenda kerja untuk mendorong terwujudnya realisasi program tersebut. Jangan sampai rakyat yang kurang akses informasi dan keterbatasan kemampuan lobi harus dirugikan haknya. Persoalan ini harus ditangani secara serius oleh DPRD agar hak rakyat dapat diperoleh,” katanya.

 Apalagi kata dia terhadap petani yang berhak sesuai dengan ketentuan yang kelapa sawitnya sudah usia 25 tahun berproduksi, dan ingin melakukan replanting atau penanaman baru (peremajaan) tentunya sangat membutuhkan pembiayaan. Saat ini, jangankan untuk penanaman baru, untuk bertahan hidup saja sudah cukup baik.

“Maka program pemerintah sudah tepat, jangan sampai tertunda program tersebut. Di sisi lain tentunya harus ada audit di Kementan RI terhadap tertundanya program ini, untuk memastikan bahwa parkirnya angggaran program ini bukan ada faktor disengaja agar ada keuntungan pihak tertentu. Ini untuk membersihkan praktik ketidak terbukaan anggaran yang seringkali merugikan rakyat,” pungkasnya. (prn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/