MEDAN, SUMUTPOS.CO- Pertumbuhan industri keuangan dan pasar modal syariah di Indonesia tetap positif di tengah tekanan dampak pandemi Covid-19. Hal itu terlihat dari dominasi pasar saham syariah pada sisi volume, frekuensi, dan nilai transaksi.
Hingga awal Oktober 2020, nilai transaksi saham-saham syariah di pasar modal Indonesia mencapai Rp3.953 miliar, setara 64,31% dari nilai total transaksi yakni Rp6.146 miliar. Torehan tersebut menunjukkan besarnya daya tahan dan potensi perkembangan industri keuangan dan pasar modal syariah di tanah air.
Kinerja terjaga industri keuangan dan pasar modal syariah di Indonesia juga ditunjukkan PT Bank BRIsyariah Tbk. Buktinya, hingga Agustus lalu BRIsyariah berhasil mencatat kenaikan perolehan laba bersih sebesar 158,46% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp168 miliar. Pertumbuhan ini ditopang naiknya pendapatan dari penyaluran dana BRIsyariah sebesar 19,75% yoy menjadi Rp1,94 triliun.
Direktur Operasional BRIsyariah Fahmi Subandi menuturkan, pertumbuhan industri keuangan dan pasar modal syariah di Indonesia kedepannya bisa lebih masif lagi. Keyakinan ini muncul karena Indonesia memiliki modal besar yakni jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
Potensi pesatnya pertumbuhan industri keuangan syariah terlihat dari masih kecilnya market share perbankan syariah dibanding bank-bank konvensional, yaitu sebesar 6,18% per semester I/2020. Angka ini menunjukkan bahwa pasar industri perbankan syariah baru melayani 6% dari seluruh nasabah pengguna layanan perbankan di Indonesia.
“Kita memiliki ruang tumbuh besar untuk menggarap sektor-sektor yang sekarang masih dipegang bank konvensional. Apalagi saat ini pemerintah juga semakin menunjukkan dukungannya terhadap industri keuangan syariah dengan menerbitkan beberapa regulasi baru, dan menguatkan peran Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang berubah menjadi Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS),” ungkap Fahmi dalam workshop virtual perbankan syariah bertema Memacu Literasi Keuangan Syariah Mendorong Pemulihan Ekonomi Nasional, Senin (5/10).
Menurutnya, salah satu cara yang bisa ditempuh perbankan syariah untuk mewujudkan potensi tersebut adalah memberanikan diri untuk melantai di pasar modal syariah. Keberadaan perbankan syariah di lantai bursa dapat menjadi solusi untuk memperbesar struktur permodalan dan pendanaan, yang berujung pada meningkatnya kinerja perusahaan kedepannya.
Pertumbuhan nilai aset, pembiayaan, kecukupan modal (Capital Adequacy Rasio/CAR) hingga pendanaan murah (CASA) BRIsyariah sejak 2018 selalu di atas raihan sebelum bank ini melantai di bursa. Bahkan, kenaikan berkesinambungan ini juga tetap terjadi selama pandemi Covid-19.
“Nilai aset kami sebelum IPO tumbuh rata-rata 14% dalam kurun 3 tahun ke belakang. Pasca IPO nilai pertumbuhannya 16% lebih, pembiayaan yang sebelumnya tumbuh rata-rata satu digit sekarang bisadua digit secara tahunan. Komposisi dana murah kami juga tumbuh dari sebelumnya 30% sekarang menjadi 50% lebih. Ini bermanfaat karena peningkatan CASA menandakan efisiensi yang tumbuh dari penurunan biaya dana,” ujar Fahmi.
Karena itu, Fahmi mengajak seluruh pelaku industri keuangan syariah khususnya perbankan untuk segera mengikuti jejak BRIsyariah melantai di bursa. Diferensiasi sumber pendanaan dengan memanfaatkan keberadaan pasar modal syariah menjadihal penting yang harus dilakukan, agar perbaikan tata kelola bisa lebih baik lagi dilakukan perbankan syariah.
Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Hasan Fawzi menyebut, korporasi dan investor tak perlu ragu bertransaksi di pasar modal syariah karena pengaturan dan fatwa terkait pelaku, produk, dan ekosistem sesuai prinsip syariat Islam sudah banyak tersedia saat ini.
Kata Hasan, BEI adalah satu-satunya bursa efek di dunia yang sudah memastikan proses end-to-end pasar modal memenuhi prinsip-prinsip syariah. Buktinya, BEI sudah memisahkan proses pembukaan rekening nasabah pasar modal syariah dengan menyediakan Shariah Online Trading System (SOTS). Fatwa-fatwa untuk transaksi hingga penyimpanan efek juga sudah tersedia. Kemudian, rekening dana investor syariah bisa dibuka terpisah melalui perbankan syariah.
“Kami juga aktif bersinergi dan kerja sama dengan sejumlah komunitas. Kemudian, sampai kini BEI sudah melampaui capaian tahun lalu untuk edukasi online pasar modal syariah. Kami sudah selenggarakan 261 kegiatan yang diikuti 73.252 peserta hingga September 2020,” terang Hasan.
Hingga September, sebanyak 76% saham yang baru dicatat di lantai bursa merupakan saham syariah. Jumlahnya mencapai 35 dari 46 saham. Jumlah produk saham syariah saat ini pun mendominasi pasar modal. Dari 709 saham yang terdaftar di BEI per 2 Oktober lalu, 63,6% atau 451 saham merupakan produk syariah. Kapitalisasi ratusan saham syariah ini telah mencapai Rp2.962 triliun, atau setara 51,69% dari total kapitalisasi seluruh saham yang mencapai Rp5.730 triliun.
Sementara itu, sudah ada 7.316 juta saham syariah yang ditransaksikan, setara 77,2% dibanding seluruh transaksi di lantai bursa. Frekuensinya mencapai 446.527 kali, atau 71,88% dibanding seluruh transaksi IHSG. Kinerja positif pasar saham syariah juga terlihat dari pertumbuhan signifikan dana kelolaan pada reksadana syariah selama pandemi Covid-19. Menurut data OJK, hingga Agustus lalu Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana syariah tumbuh 29,7% yoy menjadi Rp69,7 triliun. Pada saat yang sama, NAB reksadana konvensional turun 7,6% yoy menjadi Rp451,1 triliun.
Sementara itu, pengamat senior Pasar Modal Budi Hikmat mengatakan, penetrasi industri keuangan dan pasar modal syariah kedepannya sangat berpotensi tumbuh lebih besar. Industri ini dianggap bisa menjadi solusi bagi masyarakat, khususnya generasi milenial dan Gen-Z, sebagai sarana penempatan dana investasi.
Budi mengingatkan agar generasi muda harus sejak dini mulai menyisihkan pendapatannya supaya diinvestasikan di instrumen yang tepat dan aman. Hal ini penting dilakukan agar tidak ada kesulitan yang dihadapi para milenial di masa tua kelak. “Kita harus menata diri mulai dari memetakan apakah sektor kita bekerja sekarang termasuk tangguh atau rapuh? Setelah itu, baru coba memanfaatkan pasar modal untuk membiayai masa depan atau istilahnya ‘pay yourself first’ yakni dengan membuat alokasi investasi lebih dulu daripada konsumsi,” ujar Budi. (ris/ram)