JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Resesi global sudah di depan mata. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan menyebut ada 63 negara yang sudah mengantre pinjaman utang dari lembaga internasional.
Ani, sapaannya, menjelaskan bahwa negara-negara itu tengah terlilit persoalan utang akibat tekanan ekonomi. ‘’Di dalam statistik, ada 63 negara di dunia yang kondisi utangnya mendekati atau sudah tidak sustainable,’’ ujarnya dalam CEO Banking Forum di Jakarta, kemarin (9/1).
Kondisi itu tentu patut diwaspadai. Sebab, saat ini ekonomi global mengalami ketidakpastian yang tinggi. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) pun sudah memperkirakan sepertiga negara di dunia mengalami resesi tahun ini.
‘’Jadi dunia pada 2023 harus menjinakkan inflasi dan dipaksa menaikan suku bunga saat utangnya tinggi. Pasti akan memberikan dampak tidak hanya resesi, tapi di berbagai negara yang utangnya sangat tinggi kemungkinan mengalami krisis utang,’’ jelas Menkeu.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Ani menyebutkan, posisi utang pemerintah per 30 November 2022 telah mencapai Rp 7.554,25 triliun atau tumbuh Rp 57,55 triliun jika dibandingkan posisi Oktober 2022 yang sebesar Rp 7.496,7 triliun.
Dengan posisi ini, maka rasio utang Indonesia hingga November 2022, mencapai 38,65 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). ‘’Rasio utang terhadap PDB dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal,’’ jelasnya.
Besaran utang tersebut terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 6.697,83 triliun dan pinjaman sebesar Rp 856,42 triliun. Berdasarkan jenisnya, utang pemerintah didominasi oleh instrumen SBN yang mencapai 88,66 persen dari seluruh komposisi utang akhir November 2022.
Sedangkan berdasarkan mata uang, utang pemerintah didominasi oleh mata uang domestik (Rupiah), yaitu 70,36 persen.
Menurut Menkeu, langkah itu menjadi salah satu tameng pemerintah dalam menghadapi volatilitas yang tinggi pada mata uang asing dan dampaknya terhadap pembayaran kewajiban utang luar negeri. ‘’Dengan strategi utang yang memprioritaskan penerbitan dalam mata uang Rupiah, porsi utang dengan mata uang asing ke depan diperkirakan akan terus menurun dan risiko nilai tukar dapat makin terjaga,’’ ujarnya.
Sementara itu, kepemilikan SBN saat ini didominasi oleh perbankan dan diikuti Bank Indonesia (BI). Sedangkan kepemilikan investor asing terus menurun sejak tahun 2019 yang mencapai 38,57 persen, hingga akhir 2021 tercatat 19,05 persen, dan per 15 Desember 2022 mencapai 14,64 persen. Â (dee/dio/jpg)