25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

WN Tiongkok Untung Rp4 Miliar Sekali Panen

Sejumlah petani lokal terkejut dengan penangkapan empat WN Tiongkok, penyewa lahan tempat mereka bekerja, oleh petugas Imirasi Bogor, di Kampung Gunung Leutik, Desa Sukadamai, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Selasa (9/11) lalu.

BOGOR, SUMUTPOS.CO  – Petugas Imigrasi Bogor, terus melakukan pemeriksaan saksi pada kasus dugaan penyalahgunaan izin tinggal empat WN Tiongkok. Dari pemeriksaan itu, diketahui jika selama ini hasil pertanian cabai Tiongkok sudah beberapa kali panen dan dijual ke masyarakat luas.

“Ada lahan 20 hektar, tapi yang baru digarap empat hektar. Satu hektar menghasilkan lima ton atau 5.000 kilogram. Dijual Rp35 ribu sampai Rp40 ribu sesuai harga pasar. Kalau sudah di pasaran tembus Rp65 ribu per kilo,” ujar Usman (37) kepada Radar Bogor (Group Sumut Pos) usai memberi keterangan kepada Imigrasi Bogor, Senin (14/11).

Dengan asumsi itu, maka hasil yang didapat dari kebun cabai seluas empat hektar yang tergarap ini mencapai Rp800 juta sekali panen. Jika seluruh lahan 20 hektar tergarap, maka pendapatan yang dihasilkan mencapai Rp4 miliar.

Menurut Usman, awalnya, hanya ada dua WN Tiongkok yang datang ke kampungnya. Yakni Yu Wai Man (37) dan Xue Qingjiang (51). Sebelum keduanya bercocok tanam, lahan tersebut adalah lahan menganggur bekas peternakan sapi yang dikelola perusahaan Korea. Praktik dan izinnya tidak begitu jelas bagi warga, hingga berangsur bangkrut. “Lahan di sekitarnya dijadikan kebun, bekas kandang sapi jadi gudang dan kediaman,” bebernya.

Usman menambahkan, teknologi yang digunakanpara WN Tiongkok itu sebelumnya tak pernah diketahui petani lokal. Dia menjelaskan, ada sebuah selang air yang ditanam dalam tanah, dan tiang pemancang dilumuri aspal untuk melindungi tanaman dari sengat matahari. “Sekali putar keran, seribu pohon tereraliri dan tidak perlu orang buat menyiramnya. Kita warga banyak belajar,” jelasnya.

Di sisi lain, keberadaan para ahli pertanian Negeri Tirai Bambu, ini seakan menampar Kabupaten Bogor yang sarat akan pakar dari kampus IPB.

Akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Sofyan Sjaf, mengatakan, ada empat aspek yang perlu diamati dalam kasus ini. Pertama, aspek hukum. “Keberadaan para petani Tiongkok itu perlu diperiksa mendalam status kependudukannya. Negara harus tegas untuk meluruskan status para WN Tiongkok tersebut,” kata dia.

Kemudian aspek agraria. Status lahan yang diolah seluas 20 hektar, apakah bentuknya pemanfaatan atau kepemilikan. Jika sampai kepemilikan oleh WN asing, ini menjadi bahaya besar.

Aspek lainnya adalah sosiologis. Selain tambang, Tiongkok melihat potensi pertanian di Indonesia. Pasar komoditi pertanian yang potensial pun mulai digarap. Jika pemerintah tidak menyikapinya dengan cepat, maka ini sangat berbahaya. “Kita akan menjadi buruh di tanah air sendiri,” cetusnya.

Terakhir, aspek teknis. Sebenarnya, kata Sofjan, Indonesia tidak kalah dalam hal kemajuan pengetahuan dan teknologi pertanian. Hanya saja hal itu belum dioptimalisasi oleh pemerintah. Kebijakan impor untuk memenuhi kebutuhan pasar lebih berarti bagi pemerintah ketimbang mengembangkan komiditi pertanian di dalam negeri.

“Kesalahan fatal saat ini, pembangunan pertanian lebih berorientasi produksi ketimbang memperkuat petani dan kelembagaannya,” tukasnya. (ric/rp1/yuz/jpg/ije)

 

 

 

 

 

 

Sejumlah petani lokal terkejut dengan penangkapan empat WN Tiongkok, penyewa lahan tempat mereka bekerja, oleh petugas Imirasi Bogor, di Kampung Gunung Leutik, Desa Sukadamai, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Selasa (9/11) lalu.

BOGOR, SUMUTPOS.CO  – Petugas Imigrasi Bogor, terus melakukan pemeriksaan saksi pada kasus dugaan penyalahgunaan izin tinggal empat WN Tiongkok. Dari pemeriksaan itu, diketahui jika selama ini hasil pertanian cabai Tiongkok sudah beberapa kali panen dan dijual ke masyarakat luas.

“Ada lahan 20 hektar, tapi yang baru digarap empat hektar. Satu hektar menghasilkan lima ton atau 5.000 kilogram. Dijual Rp35 ribu sampai Rp40 ribu sesuai harga pasar. Kalau sudah di pasaran tembus Rp65 ribu per kilo,” ujar Usman (37) kepada Radar Bogor (Group Sumut Pos) usai memberi keterangan kepada Imigrasi Bogor, Senin (14/11).

Dengan asumsi itu, maka hasil yang didapat dari kebun cabai seluas empat hektar yang tergarap ini mencapai Rp800 juta sekali panen. Jika seluruh lahan 20 hektar tergarap, maka pendapatan yang dihasilkan mencapai Rp4 miliar.

Menurut Usman, awalnya, hanya ada dua WN Tiongkok yang datang ke kampungnya. Yakni Yu Wai Man (37) dan Xue Qingjiang (51). Sebelum keduanya bercocok tanam, lahan tersebut adalah lahan menganggur bekas peternakan sapi yang dikelola perusahaan Korea. Praktik dan izinnya tidak begitu jelas bagi warga, hingga berangsur bangkrut. “Lahan di sekitarnya dijadikan kebun, bekas kandang sapi jadi gudang dan kediaman,” bebernya.

Usman menambahkan, teknologi yang digunakanpara WN Tiongkok itu sebelumnya tak pernah diketahui petani lokal. Dia menjelaskan, ada sebuah selang air yang ditanam dalam tanah, dan tiang pemancang dilumuri aspal untuk melindungi tanaman dari sengat matahari. “Sekali putar keran, seribu pohon tereraliri dan tidak perlu orang buat menyiramnya. Kita warga banyak belajar,” jelasnya.

Di sisi lain, keberadaan para ahli pertanian Negeri Tirai Bambu, ini seakan menampar Kabupaten Bogor yang sarat akan pakar dari kampus IPB.

Akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Sofyan Sjaf, mengatakan, ada empat aspek yang perlu diamati dalam kasus ini. Pertama, aspek hukum. “Keberadaan para petani Tiongkok itu perlu diperiksa mendalam status kependudukannya. Negara harus tegas untuk meluruskan status para WN Tiongkok tersebut,” kata dia.

Kemudian aspek agraria. Status lahan yang diolah seluas 20 hektar, apakah bentuknya pemanfaatan atau kepemilikan. Jika sampai kepemilikan oleh WN asing, ini menjadi bahaya besar.

Aspek lainnya adalah sosiologis. Selain tambang, Tiongkok melihat potensi pertanian di Indonesia. Pasar komoditi pertanian yang potensial pun mulai digarap. Jika pemerintah tidak menyikapinya dengan cepat, maka ini sangat berbahaya. “Kita akan menjadi buruh di tanah air sendiri,” cetusnya.

Terakhir, aspek teknis. Sebenarnya, kata Sofjan, Indonesia tidak kalah dalam hal kemajuan pengetahuan dan teknologi pertanian. Hanya saja hal itu belum dioptimalisasi oleh pemerintah. Kebijakan impor untuk memenuhi kebutuhan pasar lebih berarti bagi pemerintah ketimbang mengembangkan komiditi pertanian di dalam negeri.

“Kesalahan fatal saat ini, pembangunan pertanian lebih berorientasi produksi ketimbang memperkuat petani dan kelembagaannya,” tukasnya. (ric/rp1/yuz/jpg/ije)

 

 

 

 

 

 

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/