26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Jasa Keuangan Syariah Tumbuh Subur

Bank Syariah
Bank Syariah

MEDAN, SUMUTPOS.CO  – Kondisi ekonomi global yang kurang baik, ternyata tak mempengaruhi industri perbankan syariah, khususnya di Sumatera Utara (Sumut). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 5 Sumatra Bagian Utara (Sumbagut) mencatat, pertumbuhan sektor keuangan syariah telah tumbuh positif.

Direktur Pengawasan Perbankan OJK Sumbagut, Mulyanto menyebutkan, berdasarkan data perbankan per September 2016 total aset perbankan syariah secara year on year (yoy) mengalami peningkatan 14,21%. Yaitu, dari Rp10,11 triliun tahun 2015 periode yang sama menjadi Rp11,55 triliun.

Selain itu, peningkatan juga terjadi pada penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) yang tumbuh 22,14% atau Rp9,65 triliun, pembiayaan 12,99% atau mencapai Rp8,87 triliun, dan financing deposit ratio (FDR) mencapai 91,93%.

“Peluang penetrasi pasar untuk jasa keuangan syariah di Sumut masih sangat luas. Pertumbuhannya pun masih cenderung di atas konvensional. Kami akan terus mendorong untuk pertumbuhan keuangan syariah,” ujar Mulyanto kepada wartawan baru-baru ini.

Oleh karenanya, tambah Mulyanto, masyarakat Sumut dapat lebih sadar bahwa industri jasa keuangan syariah termasuk perbankan, pembiayaan hingga pasar modal, juga bisa melayani kebutuhan.

Terpisah, Kepala Departemen Riset Kebanksentralan Bank Indonesia, Darsono mengemukakan, perbankan syariah di Indonesia diyakini mampu menjadi referensi dalam penerapan perbankan syariah di dunia. Baik itu di negara tetangga Malaysia maupun Timur Tengah dan Eropa, lantaran Indonesia memiliki ciri khas tersendiri.

Menurutnya, indikator Indonesia akan menjadi model perbankan syariah dunia yaitu memiliki ‘akar’ yang lebih kuat. Di mana, perkembangan perbankan syariah di Indonesia didukung oleh komitmen dari instrumen masyarakat. Seperti, majelis ulama, badan otoritas dan lain sebagainya.

“Lapisan masyarakat tersebut cukup kuat, dan perbankannya menjangkau luas nasabah. Ini berbeda dengan model pengembangannya di Malaysia atau negara lainnya,” ungkap Darsono ketika mengisi Seminar Perjalanan Perbankan Syariah di Indonesia dan Kesiapan Tenaga Kerja Indonesia untuk 8 Jasa Liberalisasi MEA, di kampus Universitas Islam Negeri Sumatera Utara belum lama ini.

Diutarakan Darsono, selain akar yang kuat, perkembangan perbankan syariah didukung oleh lembaga dewan syariah nasional (DSN). Oleh karenanya, ini menjadi kelebihan, dan lembaga tersebut di negara lain belum tentu ada.

“DSN itu dibentuk secara independen. Fatwa yang dikeluarkan DSN bersifat mengikat bagi semua instansi perbankan syariah di Indonesia untuk tunduk atau mematuhi. Beda di negara lain, karena lembaga fatwa atau DSN dimaksud ada pada bank syariah itu sendiri. Sehingga, dengan begitu banyak lahir fatwa-fatwa dari masing-masing bank dan berbeda-beda,” jelasnya.

Oleh sebab itu, dia menyebutkan, maka memungkinkan Indonesia menjadi model pengembangan perbankan syariah yang bagus dan kuat.

“Memang perjalanan perbankan syariah dibandingkan dengan perbankan konvensional masih singkat di Indonesia. Untuk itu, kita tidak mudah mengubahnya menjadi langsung besar. Artinya, butuh suatu proses atau perjalanan. Oleh karena itu, kita kuatkan dulu pondasi atau akar dari perbankan syariah di Indonesia,” cetusnya.

Sementara, Ekonom Sumut Gunawan Benjamin menuturkan pandangan berbeda. Menurutnya, jika mengacu kepada perkembangan industri keuangan syariah di Sumut, dilihat tren pertumbuhannya melambat akhir-akhir ini. Sejumlah faktor seperti perlambatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan harga komoditas dunia menjadi pemicu pelemahan tersebut. Ditambah lagi, ditutupnya sejumlah cabang Bank Syariah di Sumut membuat penetrasi industri perbankan syariah dalam melayani masyarakat diyakini mengalami kemerosotan.

“Secara keseluruhan saya melihat modal masih menjadi masalah utama. Beberapa bank syariah yang ditopang oleh bank induk konvensional terlihat lebih tahan banting. NPL yang tinggi memaksa pencadangan bank syariah harus lebih besar. Ekspansi menjadi terganjal karena laba mau tidak mau harus tergerus oleh NPL,” sebutnya.

Gunawan melanjutkan, segmen pasar bank syariah disinyalir belum mampu menggarap pangsa pasar pembiayaan komersial atau korporasi. Akibat persaingan yang ketat, bank syariah dipaksa untuk mengambil segmen pembiayaan yang tidak seluas bank konvensional. Disisi lain, perebutan DPK perbankan juga memicu terjadinya perang harga untuk menarik minat investor menabung di bank syariah.

“Sejauh ini andil pemerintah untuk memperkuat bank syariah memang telah dilakukan. Salah satunya adalah dengan mengikutsertakan dalam proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Namun, masalah fundamentalnya adalah bagaimana bank syariah mampu menggaet investor dengan biaya murah serta memberikan pelayanan prima. Sehingga mereka bisa bersaing dengan bank besar dan diharapkan mampu meningkatkan pangsa pasar yang lebih optimal,” tandas Gunawan. (ris/ije)

Bank Syariah
Bank Syariah

MEDAN, SUMUTPOS.CO  – Kondisi ekonomi global yang kurang baik, ternyata tak mempengaruhi industri perbankan syariah, khususnya di Sumatera Utara (Sumut). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 5 Sumatra Bagian Utara (Sumbagut) mencatat, pertumbuhan sektor keuangan syariah telah tumbuh positif.

Direktur Pengawasan Perbankan OJK Sumbagut, Mulyanto menyebutkan, berdasarkan data perbankan per September 2016 total aset perbankan syariah secara year on year (yoy) mengalami peningkatan 14,21%. Yaitu, dari Rp10,11 triliun tahun 2015 periode yang sama menjadi Rp11,55 triliun.

Selain itu, peningkatan juga terjadi pada penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) yang tumbuh 22,14% atau Rp9,65 triliun, pembiayaan 12,99% atau mencapai Rp8,87 triliun, dan financing deposit ratio (FDR) mencapai 91,93%.

“Peluang penetrasi pasar untuk jasa keuangan syariah di Sumut masih sangat luas. Pertumbuhannya pun masih cenderung di atas konvensional. Kami akan terus mendorong untuk pertumbuhan keuangan syariah,” ujar Mulyanto kepada wartawan baru-baru ini.

Oleh karenanya, tambah Mulyanto, masyarakat Sumut dapat lebih sadar bahwa industri jasa keuangan syariah termasuk perbankan, pembiayaan hingga pasar modal, juga bisa melayani kebutuhan.

Terpisah, Kepala Departemen Riset Kebanksentralan Bank Indonesia, Darsono mengemukakan, perbankan syariah di Indonesia diyakini mampu menjadi referensi dalam penerapan perbankan syariah di dunia. Baik itu di negara tetangga Malaysia maupun Timur Tengah dan Eropa, lantaran Indonesia memiliki ciri khas tersendiri.

Menurutnya, indikator Indonesia akan menjadi model perbankan syariah dunia yaitu memiliki ‘akar’ yang lebih kuat. Di mana, perkembangan perbankan syariah di Indonesia didukung oleh komitmen dari instrumen masyarakat. Seperti, majelis ulama, badan otoritas dan lain sebagainya.

“Lapisan masyarakat tersebut cukup kuat, dan perbankannya menjangkau luas nasabah. Ini berbeda dengan model pengembangannya di Malaysia atau negara lainnya,” ungkap Darsono ketika mengisi Seminar Perjalanan Perbankan Syariah di Indonesia dan Kesiapan Tenaga Kerja Indonesia untuk 8 Jasa Liberalisasi MEA, di kampus Universitas Islam Negeri Sumatera Utara belum lama ini.

Diutarakan Darsono, selain akar yang kuat, perkembangan perbankan syariah didukung oleh lembaga dewan syariah nasional (DSN). Oleh karenanya, ini menjadi kelebihan, dan lembaga tersebut di negara lain belum tentu ada.

“DSN itu dibentuk secara independen. Fatwa yang dikeluarkan DSN bersifat mengikat bagi semua instansi perbankan syariah di Indonesia untuk tunduk atau mematuhi. Beda di negara lain, karena lembaga fatwa atau DSN dimaksud ada pada bank syariah itu sendiri. Sehingga, dengan begitu banyak lahir fatwa-fatwa dari masing-masing bank dan berbeda-beda,” jelasnya.

Oleh sebab itu, dia menyebutkan, maka memungkinkan Indonesia menjadi model pengembangan perbankan syariah yang bagus dan kuat.

“Memang perjalanan perbankan syariah dibandingkan dengan perbankan konvensional masih singkat di Indonesia. Untuk itu, kita tidak mudah mengubahnya menjadi langsung besar. Artinya, butuh suatu proses atau perjalanan. Oleh karena itu, kita kuatkan dulu pondasi atau akar dari perbankan syariah di Indonesia,” cetusnya.

Sementara, Ekonom Sumut Gunawan Benjamin menuturkan pandangan berbeda. Menurutnya, jika mengacu kepada perkembangan industri keuangan syariah di Sumut, dilihat tren pertumbuhannya melambat akhir-akhir ini. Sejumlah faktor seperti perlambatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan harga komoditas dunia menjadi pemicu pelemahan tersebut. Ditambah lagi, ditutupnya sejumlah cabang Bank Syariah di Sumut membuat penetrasi industri perbankan syariah dalam melayani masyarakat diyakini mengalami kemerosotan.

“Secara keseluruhan saya melihat modal masih menjadi masalah utama. Beberapa bank syariah yang ditopang oleh bank induk konvensional terlihat lebih tahan banting. NPL yang tinggi memaksa pencadangan bank syariah harus lebih besar. Ekspansi menjadi terganjal karena laba mau tidak mau harus tergerus oleh NPL,” sebutnya.

Gunawan melanjutkan, segmen pasar bank syariah disinyalir belum mampu menggarap pangsa pasar pembiayaan komersial atau korporasi. Akibat persaingan yang ketat, bank syariah dipaksa untuk mengambil segmen pembiayaan yang tidak seluas bank konvensional. Disisi lain, perebutan DPK perbankan juga memicu terjadinya perang harga untuk menarik minat investor menabung di bank syariah.

“Sejauh ini andil pemerintah untuk memperkuat bank syariah memang telah dilakukan. Salah satunya adalah dengan mengikutsertakan dalam proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Namun, masalah fundamentalnya adalah bagaimana bank syariah mampu menggaet investor dengan biaya murah serta memberikan pelayanan prima. Sehingga mereka bisa bersaing dengan bank besar dan diharapkan mampu meningkatkan pangsa pasar yang lebih optimal,” tandas Gunawan. (ris/ije)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/