26.7 C
Medan
Sunday, May 12, 2024

Pembatasan BBM, Kado Getir untuk Rakyat

JAKARTA – Anggota Komisi VII DPR Dewi Aryani menilai, rencana pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan BBM, merupakan kado tahun baru bagi rakyat. Hanya saja, katanya, kado itu tidak membuat rakyat gembira.  “Kebijakan pembatasan BBM merupakan kado tahun baru yang sama sekali tak membuat rakyat bertepuk tangan gembira. Sebaliknya gaung kekecewaan dimana-mana,” ujar Dewi dalam keterangannya kepada koran ini, Rabu (18/1).
Langkah pemerintah saat ini dalam upaya mengatasi bengkaknya beban pemerintah, kata Dewi, seharusnya mulai diatasi dengan beberapa cara. Diantaranya, mengatur secepatnya pos-pos penting penerimaan negara dari sektor pajak dan memaksimalkan sumber penting dari migas dan pertambangan yang selama ini tidak maksimal. “Dan kebocoran di sektor ini hingga detik ini masih terus terjadi,” sebutnya.

Kearifan dan transparansi pemerintah dalam hal ini dipertaruhkan. “Berantas segala bentuk bad governance,” cetusnya.
Penghematan belanja negara harus dilaksanakan terutama pengeluaran belanja pegawai harus dipangkas, dihemat, dengan cara melakukan perampingan di semua sektor.

Reformasi birokrasi yang telah digaungkan harus diiringi dengan kebijakan penghematan dan efisiensi, termasuk pemberlakuan e-procurement.
“Perlunya kajian alternatif solusi berupa kenaikan pajak kendaraan ber-cc besar. Daripada pembatasan lebih baik menaikkan pajak kendaraan, hasil penerimaan di-posting sebagai pengganti pengeluaran subsidi,” sarannya.

Alternatif lain, menaikkan harga BBM bersubsidi antara Rp500 hingga Rp1000 dan melakukan judisial review terhadap UU APBN Nomor 22 tahun 2011 tentang APBN tahun 2012 pada pasal 7 ayat 6 untuk memayungi kebijakan ini. “Segera dilakukan kajian dan riset mendalam dari berbagai aspek agar proses pembuatan kebijakan publik tersebut mengandung kaidah-kaidah yang seharusnya ada dalam setiap kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah,” pungkasnya.

Menyitir buku The Quality of Government karya Bo Rothstein (2011), Dewi menyebutkan, buku itu mestinya bisa menjadi rujukan bagaimana sebuah pemerintahan seharusnya berbuat. Manfaat apa yang di peroleh masyarakat, menjadi cermin kualitas suatu pemerintahan.

“Kebijakan merupakan salah satu outcome kualitas sebuah pemerintahan. Lalu bagaimana dengan kebijakan pembatasan BBM yang secara paksa akan diberlakukan pemerintah mulai tanggal 1 April 2012?” ujar Dewi.

Diuraikan Kandidat Doktor Kebijakan Energi, Universitas Indonesia (UI) itu, dalam UU APBN Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN Tahun 2012 pada pasal 7 ayat 6 yang berbunyi harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Bunyi pasal itu, lanjutnya, menjadi ‘penjebak’ pemerintah menjadi seolah ‘alergi’ menaikkan harga BBM.

“Pasal dalam UU ini juga tidak pernah dibahas apalagi disetujui Komisi VII.  Di sisi lain maksud ‘pengendalian’ yang di jabarkan dalam UU tersebut ditangkap sebagai seolah-olah single solution yaitu pembatasan BBM bersubsidi,” jabarnya.

Politisi PDI Perjuangan itu menilai, landasan hukum lain yang digunakan pemerintah juga tak sinkron, hanya merujuk kepada rancangan Perpres Nomor 55 Tahun 2005 jo Perpres Nomor 9 Tahun 2006. “Lucunya seolah tak sadar bahwa landasan hukumnya juga ‘cacat’ karena jika pemerintah memaksakan rakyat beralih dari BBM bersubsidi ke Pertamax dan melepas fluktuasi harga sesuai harga pasar,maka pemerintah sudah melanggar keputusan MK. MK telah membatalkan pasal 28 ayat 2 UU Migas soal pelepasan harga minyak dan gas bumi untuk mengikuti harga pasar jelas melanggar hak asasi rakyat,” paparnya.

“Pemerintah harusnya sadar bahwa kebijakan harus menyeluruh. Jangan biarkan rakyat mencari sendiri solusi atas masalah publik,” imbuhnya.
Pemerintah, lanjutnya lagi, harus juga memberikan alternatif untuk memenuhi unsur public interest. Kebijakan energi bukan melulu persoalan energi tapi juga meliputi persoalan industri, transportasi, pertahanan dan lain lain. “Persoalan energi bukan hanya kebijakan saja tapi juga persoalan manajemen sektor publik dan juga budaya,” katanya.

Diuraikan, tiga hal mendasar dalam proses pembuatan kebijakan harus terpenuhi, yakni pertama, public support, yaitu legitimasi dan akseptansi masyarakat. Kedua, public value yaitu berupa nilai tambah dan benefit untuk masyarakat dan menjamin setiap warga negara terpenuhi hak hak konstitusionalnya. Ketiga, capacity to implement, kebijakan harus bisa dilaksanakan tanpa menimbulkan masalah baru pada publik.
Dalam hal pembatasan BBM, kata Dewi, harus dipahami bahwa birokrasi sektor publik pun sudah saatnya direformasi. “Sudah sangat kritis, karena fasilitas publik hingga sistem manajemen sektor publik sangat tidak kompeten dan tidak moral hazard. Leading sektor publik ini harus segera dilakukan reformasi,” desaknya. (sam)

JAKARTA – Anggota Komisi VII DPR Dewi Aryani menilai, rencana pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan BBM, merupakan kado tahun baru bagi rakyat. Hanya saja, katanya, kado itu tidak membuat rakyat gembira.  “Kebijakan pembatasan BBM merupakan kado tahun baru yang sama sekali tak membuat rakyat bertepuk tangan gembira. Sebaliknya gaung kekecewaan dimana-mana,” ujar Dewi dalam keterangannya kepada koran ini, Rabu (18/1).
Langkah pemerintah saat ini dalam upaya mengatasi bengkaknya beban pemerintah, kata Dewi, seharusnya mulai diatasi dengan beberapa cara. Diantaranya, mengatur secepatnya pos-pos penting penerimaan negara dari sektor pajak dan memaksimalkan sumber penting dari migas dan pertambangan yang selama ini tidak maksimal. “Dan kebocoran di sektor ini hingga detik ini masih terus terjadi,” sebutnya.

Kearifan dan transparansi pemerintah dalam hal ini dipertaruhkan. “Berantas segala bentuk bad governance,” cetusnya.
Penghematan belanja negara harus dilaksanakan terutama pengeluaran belanja pegawai harus dipangkas, dihemat, dengan cara melakukan perampingan di semua sektor.

Reformasi birokrasi yang telah digaungkan harus diiringi dengan kebijakan penghematan dan efisiensi, termasuk pemberlakuan e-procurement.
“Perlunya kajian alternatif solusi berupa kenaikan pajak kendaraan ber-cc besar. Daripada pembatasan lebih baik menaikkan pajak kendaraan, hasil penerimaan di-posting sebagai pengganti pengeluaran subsidi,” sarannya.

Alternatif lain, menaikkan harga BBM bersubsidi antara Rp500 hingga Rp1000 dan melakukan judisial review terhadap UU APBN Nomor 22 tahun 2011 tentang APBN tahun 2012 pada pasal 7 ayat 6 untuk memayungi kebijakan ini. “Segera dilakukan kajian dan riset mendalam dari berbagai aspek agar proses pembuatan kebijakan publik tersebut mengandung kaidah-kaidah yang seharusnya ada dalam setiap kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah,” pungkasnya.

Menyitir buku The Quality of Government karya Bo Rothstein (2011), Dewi menyebutkan, buku itu mestinya bisa menjadi rujukan bagaimana sebuah pemerintahan seharusnya berbuat. Manfaat apa yang di peroleh masyarakat, menjadi cermin kualitas suatu pemerintahan.

“Kebijakan merupakan salah satu outcome kualitas sebuah pemerintahan. Lalu bagaimana dengan kebijakan pembatasan BBM yang secara paksa akan diberlakukan pemerintah mulai tanggal 1 April 2012?” ujar Dewi.

Diuraikan Kandidat Doktor Kebijakan Energi, Universitas Indonesia (UI) itu, dalam UU APBN Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN Tahun 2012 pada pasal 7 ayat 6 yang berbunyi harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Bunyi pasal itu, lanjutnya, menjadi ‘penjebak’ pemerintah menjadi seolah ‘alergi’ menaikkan harga BBM.

“Pasal dalam UU ini juga tidak pernah dibahas apalagi disetujui Komisi VII.  Di sisi lain maksud ‘pengendalian’ yang di jabarkan dalam UU tersebut ditangkap sebagai seolah-olah single solution yaitu pembatasan BBM bersubsidi,” jabarnya.

Politisi PDI Perjuangan itu menilai, landasan hukum lain yang digunakan pemerintah juga tak sinkron, hanya merujuk kepada rancangan Perpres Nomor 55 Tahun 2005 jo Perpres Nomor 9 Tahun 2006. “Lucunya seolah tak sadar bahwa landasan hukumnya juga ‘cacat’ karena jika pemerintah memaksakan rakyat beralih dari BBM bersubsidi ke Pertamax dan melepas fluktuasi harga sesuai harga pasar,maka pemerintah sudah melanggar keputusan MK. MK telah membatalkan pasal 28 ayat 2 UU Migas soal pelepasan harga minyak dan gas bumi untuk mengikuti harga pasar jelas melanggar hak asasi rakyat,” paparnya.

“Pemerintah harusnya sadar bahwa kebijakan harus menyeluruh. Jangan biarkan rakyat mencari sendiri solusi atas masalah publik,” imbuhnya.
Pemerintah, lanjutnya lagi, harus juga memberikan alternatif untuk memenuhi unsur public interest. Kebijakan energi bukan melulu persoalan energi tapi juga meliputi persoalan industri, transportasi, pertahanan dan lain lain. “Persoalan energi bukan hanya kebijakan saja tapi juga persoalan manajemen sektor publik dan juga budaya,” katanya.

Diuraikan, tiga hal mendasar dalam proses pembuatan kebijakan harus terpenuhi, yakni pertama, public support, yaitu legitimasi dan akseptansi masyarakat. Kedua, public value yaitu berupa nilai tambah dan benefit untuk masyarakat dan menjamin setiap warga negara terpenuhi hak hak konstitusionalnya. Ketiga, capacity to implement, kebijakan harus bisa dilaksanakan tanpa menimbulkan masalah baru pada publik.
Dalam hal pembatasan BBM, kata Dewi, harus dipahami bahwa birokrasi sektor publik pun sudah saatnya direformasi. “Sudah sangat kritis, karena fasilitas publik hingga sistem manajemen sektor publik sangat tidak kompeten dan tidak moral hazard. Leading sektor publik ini harus segera dilakukan reformasi,” desaknya. (sam)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/