JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Penjagaan stabilitas ekonomi memacu dana asing mengalir deras masuk ke berbagai instrumen investasi di Indonesia. Tidak pelak, Bank Pembangunan Asia (ADB) mencatat porsi kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah pada akhir tahun lalu tertinggi jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia Timur. Surat utang pemerintah Indonesia lebih diminati ketimbang Tiongkok, Malaysia, Korea, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Kepala Kantor Integrasi Ekonomi Regional ADB Iwan Jaya Azis mengatakan, 32,5 persen dari total obligasi pemerintah Indonesia dimiliki asing. Itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia bahwa kepemilikan asing dalam obligasi pemerintahnya hanya 29,4 persen. “Indonesia menjadi serbuan investasi asing karena pertumbuhan ekonominya solid dan imbal hasilnya menarik,” ujarnya kemarin (20/3).
Bahkan, pada akhir kuartal keempat 2013, pasar obligasi Indonesia secara keseluruhan mencatatkan pertumbuhan tercepat kedua setelah Vietnam. Pasar obligasi Indonesia tumbuh 20,1 persen year-on-year (YoY) menjadi USD 108,0 miliar. Kontribusi obligasi pemerintah masih mayoritas, yakni tumbuh 20,9 persen YoY menjadi USD 90,0 miliar. Sementara itu, obligasi korporasi tumbuh 16,4 persen YoY menjadi USD 18,0 miliar.”
Menurut Iwan, Indonesia perlu menggenjot kontribusi pasar obligasi syariah. Sebab, sebetulnya pasar obligasi syariah di Indonesia adalah yang terbesar kedua setelah Malaysia. Lantaran perkembangannya masih cukup awal, kontribusinya hanya 7,4 persen dari total pasar obligasi. “Sukuk ini berpotensi besar sebagai sumber pembiayaan bagi proyek infrastruktur. Karena itu, pemerintah harus membuat regulasi yang tepat agar debitor semakin memanfaatkan sukuk,” jelasnya. Penjualan sukuk di negara-negara berkembang kawasan Asia Timur tahun lalu mencapai USD 91,7 miliar.
Di satu sisi, Iwan menambahkan, permasalahan seperti defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan di Indonesia secara serius perlu diperbaiki. Sebab, dia menilai, negara dengan tantangan fundamental ekonomi akan sangat rentan terhadap contagion risk atau penularan krisis.
“Data ekonomi yang bagus, imbal hasil menarik, serta pulihnya nilai tukar menunjukkan Asia masih menjadi tempat terbaik untuk investasi. Namun, risiko penularan krisisnya kini lebih tinggi daripada sebelumnya,” katanya. (gal/c4/sof)