31.8 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Sah, Cukai Rokok Naik 21,55 Persen Awal 2020

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Sri Mulyani Indrawati resmi menjabat kembali sebagai Menteri Keuangan di kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di awal masa jabatan barunya ini, Sri Mulyani mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 tahun 2019 tentang tarif cukai hasil tembakau yang berlaku 1 Januari 2020.

Sikap pemerintah ini merupakan langkah negara untuk menekan konsumsi rokok sekaligus menggenjot penerimaan. Dalam PMK Nomor 152/PMK.010/2019 ini, rata-rata kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2020 sebesar 21,55 persen. Angka ini di bawah kenaikan tarif yang diumumkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebesar 23 persen beberapa waktu yang lalu.

Secara rata-rata, tarif CHT Sigaret Keretek Mesin (SKM) naik sebesar 23,29 persen, Sigaret Putih Mesin (SPM) naik 29,95 persen, dan Sigaret Keretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan naik 12,84 persen.

Di sisi lain, aturan tersebut menegaskan pada Pasal II ayat A yang menetapkan tarif cukai dengan dengan ketentuan sebagai berikut. Pertama, tarif cukai yang ditetapkan kembali tidak boleh lebih rendah dari tarif cukai yang berlaku. Kedua, Harga Jual Eceran (HJE) tidak boleh lebih rendah dari batasan HJE per Batang atau gram yang berlaku.

Sementara pada PMK sebelumnya, tidak ada penyataan tegas dari pemerintah terkait hal tersebut. PMK Nomor 146/PMK.010/2017 Bab XI Pasal 6 hanya mengatur HJE minimal sama dengan penerapan HJE pada tahun sebelumnya.

Oleh karenanya, dengan adanya PMK Nomor 152/PMK/2019 pemerintah memastikan keberlanjutan tarif HJE tidak lebih rendah daripada tarif sebelumnya. Artinya tahun 2021 harga jual eceran rokok harus lebih tinggi dari 35 persen.

Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Deni Surjantoro mengaku dikeluarkannya PMK 152 tersebut merupakan penegasan pemerintah dan sudah melalui pembahasan internal Kemenkeu, tim ahli, dan industri rokok. “Dari sisi industri tenaga kerjanya banyak sudah dipertimbangkan. Ke depan ini diharapkan mampu membawa pengaruh terhadap penurunan rokok illegal,” kata Deni.

Pihaknya beralasan, lebih tingginya kenaikan tarif beberapa hasil tembakau dari yang diumumkan Menkeu tersebut, lantaran memperhitungkan volume hasil tembakau golongan atas alias pabrikan. “23 persen merupakan rerata tertimbang. Tarif dalam PMK kalau dihitung rerata tertimbang, tetap naik 23 persen,” kata Kasubdit Tarif Cukai DJBC Sunaryo.

Ekonom Institude of Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan rata-rata tarif cukai 21,55 persen masih seharusnya disambut wajar oleh para pengusaha rokok. Sebab, tahun ini tidak ada kenaikan tarif. Menurutnya, tahun ini industri rokok sudah sangat diuntungkan.

Alasannya, 80 persen pergerakan ekonomi industri rokok karena regulas. Untuk itu, langkah pemerintah yang tidak menaikkan CHT di tahun ini dinilai sebagai insentif bagi industri. Namun demikian, tarif CHT 21,55 persen dan HJE 35 persen menurut Enny akan membuat penyebaran rokok ilegal semakin meluas.

Sebab harga yang jual tiba-tiba melonjak mahal akan semakin sulit bagi pemerintah untuk mengendalikan rokok ilegal. “Hal tersebut beresiko terhadap efektifitas pengendalian rokok ilegal dan jangan sampai malah penerimaan tidak tercapai,” ujar Enny.( dtc/kpc)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Sri Mulyani Indrawati resmi menjabat kembali sebagai Menteri Keuangan di kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di awal masa jabatan barunya ini, Sri Mulyani mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 tahun 2019 tentang tarif cukai hasil tembakau yang berlaku 1 Januari 2020.

Sikap pemerintah ini merupakan langkah negara untuk menekan konsumsi rokok sekaligus menggenjot penerimaan. Dalam PMK Nomor 152/PMK.010/2019 ini, rata-rata kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2020 sebesar 21,55 persen. Angka ini di bawah kenaikan tarif yang diumumkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebesar 23 persen beberapa waktu yang lalu.

Secara rata-rata, tarif CHT Sigaret Keretek Mesin (SKM) naik sebesar 23,29 persen, Sigaret Putih Mesin (SPM) naik 29,95 persen, dan Sigaret Keretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan naik 12,84 persen.

Di sisi lain, aturan tersebut menegaskan pada Pasal II ayat A yang menetapkan tarif cukai dengan dengan ketentuan sebagai berikut. Pertama, tarif cukai yang ditetapkan kembali tidak boleh lebih rendah dari tarif cukai yang berlaku. Kedua, Harga Jual Eceran (HJE) tidak boleh lebih rendah dari batasan HJE per Batang atau gram yang berlaku.

Sementara pada PMK sebelumnya, tidak ada penyataan tegas dari pemerintah terkait hal tersebut. PMK Nomor 146/PMK.010/2017 Bab XI Pasal 6 hanya mengatur HJE minimal sama dengan penerapan HJE pada tahun sebelumnya.

Oleh karenanya, dengan adanya PMK Nomor 152/PMK/2019 pemerintah memastikan keberlanjutan tarif HJE tidak lebih rendah daripada tarif sebelumnya. Artinya tahun 2021 harga jual eceran rokok harus lebih tinggi dari 35 persen.

Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Deni Surjantoro mengaku dikeluarkannya PMK 152 tersebut merupakan penegasan pemerintah dan sudah melalui pembahasan internal Kemenkeu, tim ahli, dan industri rokok. “Dari sisi industri tenaga kerjanya banyak sudah dipertimbangkan. Ke depan ini diharapkan mampu membawa pengaruh terhadap penurunan rokok illegal,” kata Deni.

Pihaknya beralasan, lebih tingginya kenaikan tarif beberapa hasil tembakau dari yang diumumkan Menkeu tersebut, lantaran memperhitungkan volume hasil tembakau golongan atas alias pabrikan. “23 persen merupakan rerata tertimbang. Tarif dalam PMK kalau dihitung rerata tertimbang, tetap naik 23 persen,” kata Kasubdit Tarif Cukai DJBC Sunaryo.

Ekonom Institude of Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan rata-rata tarif cukai 21,55 persen masih seharusnya disambut wajar oleh para pengusaha rokok. Sebab, tahun ini tidak ada kenaikan tarif. Menurutnya, tahun ini industri rokok sudah sangat diuntungkan.

Alasannya, 80 persen pergerakan ekonomi industri rokok karena regulas. Untuk itu, langkah pemerintah yang tidak menaikkan CHT di tahun ini dinilai sebagai insentif bagi industri. Namun demikian, tarif CHT 21,55 persen dan HJE 35 persen menurut Enny akan membuat penyebaran rokok ilegal semakin meluas.

Sebab harga yang jual tiba-tiba melonjak mahal akan semakin sulit bagi pemerintah untuk mengendalikan rokok ilegal. “Hal tersebut beresiko terhadap efektifitas pengendalian rokok ilegal dan jangan sampai malah penerimaan tidak tercapai,” ujar Enny.( dtc/kpc)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/