JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Tekanan pada rupiah belum juga mereda. Setelah Selasa lalu (24/6) menembus level psikologis baru di level 12.000 per dolar AS (USD), rupiah kemarin kembali terpeleset ke level 12.027 per USD.
Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, saat ini rupiah memang tertekan oleh banyak faktor, mulai dari fundamental ekonomi, situasi politik, hingga geopolitik internasional. ‘Tapi, ke depan akan kembali menguat,’ ujarnya Selasa malam (24/6).
Menurut Chatib, sepanjang Januari – Mei 2014, rupiah sebenarnya sempat mencatat kinerja positif dengan penguatan atau apresiasi sekitar 6 – 8 persen dibanding posisi akhir 2013. ‘Jadi, rupiah sempat menjadi second best performance (kinerja ke dua terbaik) sampai Mei lalu,’ katanya.
Namun, memasuki Juni, rupiah mulai tertekan. Salah satu pemicunya adalah kinerja neraca perdagangan April yang mencatat defisit sangat besar, hingga USD 1,96 miliar akibat lonjakan impor dan turunnya ekspor. Nilai tersebut mengejutkan karena beberapa bulan sebelumnya berhasil mencatat surplus. ‘Tapi, saya optimistis neraca dagang nanti (periode Mei yang diumumkan BPS pada awal Juli) akan surplus, itu akan jadi sentimen positif (bagi rupiah),’ katanya.
Faktor ke dua yang menekan rupiah, lanjut Chatib, adalah suhu politik yang kian memanas karena sengitnya persaingan calon presiden dan calon wakil presiden antara Prabowo – Hatta dan Jokowi – Jusuf Kalla. ‘Karena itu, begitu Pilpres selesai Juli nanti maka pelaku bisnis sudah akan mendapat kepastian dan confidence (percaya diri) dengan Indonesia,’ ucapnya.
Faktor ke tiga, kata Chatib, adalah geopolitik di Irak. Sebagaimana diketahui, jika situasi di Irak makin kacau, maka suplai minyak dunia akan terganggu sehingga mendongkrak harga minyak dunia. Jika itu terjadi, Indonesia sebagai net importer minyak akan menghadapi nilai impor yang kian melambung sehingga berpotensi menekan neraca dagang dan kemampuan fiskal. ‘Hanya faktor ini yang agak sulit diprediksi, dua faktor lainnya sepertinya akan positif sehingga rupiah berpotensi menguat kembali,’ ujarnya.
Sebagaimana diketahui, data Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) yang dirilis Bank Indonesia (BI) menunjukkan, rupiah kemarin (25/6) ditutup di level 12.027 per USD, melemah dibanding penutupan Selasa (24/6) yang di posisi 12.000 per USD.
Sementara itu, di pasar spot, data Bloomberg menunjukkan rupiah kemarin ditutup di posisi 12.090 per USD, melemah 0,84 persen dibanding penutupan hari sebelumnya. Jika dicermati, hampir mata uang utama di Asia Pasifik melemah terhadap USD, namun pelemahan rupiah adalah yang terbesar. Sebagai gambaran, mata uang yang mengalami depresiasi terbesar ke dua setelah rupiah adalah ringgit Malaysia yang melemah 0,34 persen. (owi)