JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Integrasi ekonomi dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC) mulai 2015 menawarkan banyak peluang sekaligus tantangan. Salah satu kompetisi ketat yang harus dihadapi Indonesia adalah pasar tenaga kerja.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana mengatakan, dalam pelaksanaan AEC tahun depan, ASEAN sudah sepakat meliberalisasi pasar tenaga kerja di 12 sektor usaha. “Itu terdiri atas tujuh sektor perdagangan industri dan lima sektor jasa,” ujarnya kemarin (26/3).
Armida mengakui, tenaga kerja atau sumber daya manusia (SDM) Indonesia di 12 sektor tersebut masih memiliki kelemahan karena kurangnya keterampilan atau skill. Apalagi, ada delapan bidang yang sudah masuk mutual recognition arrangement (MRA). Yakni, insinyur, perawat, surveyor, arsitek, tenaga pariwisata, praktisi medis, dokter gigi, dan akuntan. “Artinya, sektor-sektor tersebut akan disertifikasi kompetensi tenaga kerjanya untuk bisa masuk ke negara-negara ASEAN,” katanya.
Meski demikian, lanjut Armida, Indonesia yang saat ini menguasai 38 persen dari penduduk usia produktif ASEAN berpeluang mengirimkan tenaga kerja terampil ke negara-negara lain yang kekurangan penduduk usia produktif. “Negara seperti Singapura dan Thailand itu penduduk usia produktifnya kecil. Kita berpeluang masuk ke situ,” ucapnya. Sebagai gambaran, data Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2013 menyebut, ada 300 juta kesempatan kerja yang terbuka di kawasan ASEAN dan Pasifik.
Ekonom Centre of Reform Economics (CORE) yang juga guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Ina Primiana mengatakan, selain persiapan SDM, Indonesia harus menyiapkan industri unggulan untuk bersaing di era AEC tahun depan. “Jangan sampai industri kita kalah bersaing. Sebab, kalau itu terjadi, akan banyak produsen yang alih profesi menjadi pedagang dan akan banyak pengangguran,” ujarnya.
Ina menyebutkan, pemerintah mesti menata dan membantu pelaku usaha untuk mengembangkan usaha dari hulu hingga hilir. Misalnya, jika pemerintah ingin mendorong pengembangan produksi minuman kaleng, harus dipikirkan perkebunan untuk pasokan buahnya hingga produksi dan pemasarannya. “Untuk alas kaki juga demikian. Harus dipastikan pasokan bahan bakunya. Nah, yang seperti ini butuh sinkronisasi kebijakan,” ucapnya. (owi/c10/oki)