JAKARTA. SUMUTPOS.CO – Pemerintah memberikan proyeksi kenaikan nilai subsidi energi Indonesia menjadi Rp 392 triliun. Namun, nilai tersebut masih diragukan oleh para pengamat. Pasalnya, proyeksi tersebut tak menyertakan perubahan volume kuota BBM bersubsidi sebagai faktor. Padahal, kemungkinan jebolnya kuota BBM masih terbuka.
Wakil Direktur ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyatakan, proyeksi yang diberikan pemerintah boleh dibilang sesuai dengan asumsi makro yang ada. Salah satunya, kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (USD) yang masih di kisaran Rp 11.500 per USD. Sehingga, kenaikan subsidi senilai Rp 110 triliun dinilai wajar. Tapi, dia menyayangkan pemerintah yang tak menyertakan perubahan proyeksi kuota subsidi.
“Untuk asumsi makro, memang sudah sesuai. Tapi yang sebenarnya berpotensi membuat subsidi ini jebol adalah konsumsi energi masyarakat. Apalagi, kuota BBM saat ini sama dengan tahun lalu yaki 48 juta kilo liter (kl). Padahal, proyeksi kami menunjukkan konsumsi ada di kisaran 50-54 juta kl,” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (27/5).
Dia menegaskan, realisasi penyaluran BBM selama semester satu tak bisa dijadikan acuan pemerintah. “Sebab, ada tiga momen penting dalam semester dua yang punya potensi menggerus kuota BBM bersubsidi. Yaitu, Lebaran, Pemilihan Presiden (pilpres), dan Natal. Meski tak begitu khawatir terkait pilpres, dua momen lainnya terkenal dengan hari besar yang mendongkrak konsumsi BBM bersubsidi. Terutama, momen lebaran.
“Yang perlu diingat, momen lebaran ini bukan hanya mudik. Termasuk ziarah, dan kegiatan masyarakat saat puasa. Apalagi, kegiatan komersial dan bisnis pasti meningkat. Dengan kata lain, penggunaan listrik meningkat sedangkan peningkatan jasa distribusi produk pasti mendongkrak penggunaan BBM. Ini kan kemungkinan besar membuat kuota jebol,” ungkapnya.
Karena itu, dia meminta pemerintah untuk mempertimbangkan penambahan kuota BBM. Jika tidak, besar kemungkinan pemerintah baru bakal menanggung beban. Pasalnya, pemerintah diprediksi baru memerintah di dua bulan terakhir. “Kalau misalnya harus mengurus APBN-P lagi, waktunya bakal tersita. Skenario terburuk adalah tak ada lagi jatah BBM bersubsidi sehingga masyarakat dipaksa membeli BBM harga keekonomian pada sisa tahun,” jelasnya.
Dia pun mengkritisi sikap pemerintah yang seakan sudah lepas tanggung jawab. Sebab, meski tak menutup kemungkinan perubahan kuota, pemerintah saat ini mengaku itu sudah tugas pemerintah baru nantinya. “APBN ini kan dirancang untuk tahun anggaran, bukan tahun kabinet. Jadi seharusnya kalau memang ada perkiraan kurang, jangan takut ditambah. Untuk subsidi seperti ini kan lebih baik kelebihan daripada kekurangan,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengaku masih optimistis dengan target tersebut dengan membatasi beberapa penyaluran. Meskipun, dia tak mengingkari bakal ada kenaikan konsumsi BBM pada momen lebaran. “Nanti ada satu hajatan penting yaitu lebaran. Itu diperkirakan akan banyak memakan BBM bersubsidi. Kami juga sedang persiapan. Pertanyaannya apakah akan menambah kuota. Kalau hitungan saya satu tahun kelihatannya 48 juta kilo liter masih cukup. Kita nanti rem sana-sini sambil menghimbau rakyat,” ujarnya.
Namun, dia mengaku bahwa evaluasi kuota biasa terjadi bulan November. Padahal, kabinet pemerintah yang sekarang bakal demisioner pada Oktober 2014. Dengan kata lain, Jero memberi sinyal bahwa perubahan volume BBM bersubsidi mungkin dilakukan oleh pemerintahan yang baru.
“Saya ingat waktu Oktober saya jadi menteri esdm langsung ada urusan kuota. Ya pasti harus disesuaikan. Karena prinsipnya, kalau sudah kebutuhan rakyat tidak bisa tidak. Undang-undangnya pun bunyinya begitu. Kalau untuk APBN pemerintah pasti toleransi untuk rakyat,” ungkapnya. (bil)