25.6 C
Medan
Thursday, May 9, 2024

Membatasi Pergaulan Anak

Banyak sekali perilaku orang tua yang membatasi pergaulan anaknya karena kurangnya rasa percaya orang tua terhadap anaknya dalam hal memilih teman sepergaulan dan takut bila anaknya terjerumus dalam pergaulan bebas.  Terutama saat usia anak menginjak masa-masa remaja.

Namun, pembatasan pergaulan ini hendaknya dilakukan dengan melihat serta mempelajari pergaulan yang dilakukan anak terlebih dahulu.

Jangan sampai hal ini justru berakibat buruk pada anak. Misalnya anak jadi kurang pergaulan, tidak percaya diri dan sebagainya.  Jika pembatasan pergaulan ini memang perlu dilakukan, maka tetaplah memberi keadilan kepada sang anak dengan memperbolehkan bergaul dan mengenal lingkungan yang ada di sekitarnya. Pembatasan pergaulan ini akan memberikan akibat yang baik apabila seorang anak itu memang berada dalam lingkungan yang tidak baik.

Jika Anda tetap melakukan pembatasan terhadap pergaulan anak, maka lengkapilah kebutuhan anak dengan fasilitas yang memungkinkan anak Anda untuk bisa mengakses dan menimba ilmu yang ada di dunia luar meskipun dia berada dalam pengawasan Anda.

“Anak juga harus diberi pemahaman berbagai konflik yang ada di lingkungan sosial yang dia lihat. Jadi ketika orang tua membatasi si anak karena pergaulan yang tidak baik,  dia akan paham sehingga tidak ada pemberontakan,” ucap Biro Psikologi HRTE Indonesia (Human Resource Training & Empowermen) Rahmadani Hidayatin, Psi beberapa waktu lalu saat dijumpai di ruang kerjanya di PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Daerah Sumut yang berada di Jalan Multatuli No.34 X Medan.

Biasanya, lanjutnya, ketika orang tua membatasi gerak anak dia akan bertanya-tanya, kenapa saya dibatasi dan diatur-atur. Padahal  saya yang tahu teman saya. “Pasti itu yang dipikirkan si anak, karena mereka masih memiliki tingkat egois yang tinggi. Itulah konfliknya,” sambungnya.

Sebagai orang tua, lanjutnya  kita tidak perlu marah-marah dan terus mencurigai temannya sebagai orang yang tidak baik. ‘’Itu yang akhirnya membuat kita bertentangan. Jadi ketika si anak menunjukkan siapa kawannya ya orang tua harus cari tahu. Dan coba berdialog dengan teman anak-anak kita. Jadi kita tahu mengarahkan anak kita dengan teman-temannya dan buka membatasi anak kita dengan teman-temannya,” ungkapnya. (mag-12)

Banyak sekali perilaku orang tua yang membatasi pergaulan anaknya karena kurangnya rasa percaya orang tua terhadap anaknya dalam hal memilih teman sepergaulan dan takut bila anaknya terjerumus dalam pergaulan bebas.  Terutama saat usia anak menginjak masa-masa remaja.

Namun, pembatasan pergaulan ini hendaknya dilakukan dengan melihat serta mempelajari pergaulan yang dilakukan anak terlebih dahulu.

Jangan sampai hal ini justru berakibat buruk pada anak. Misalnya anak jadi kurang pergaulan, tidak percaya diri dan sebagainya.  Jika pembatasan pergaulan ini memang perlu dilakukan, maka tetaplah memberi keadilan kepada sang anak dengan memperbolehkan bergaul dan mengenal lingkungan yang ada di sekitarnya. Pembatasan pergaulan ini akan memberikan akibat yang baik apabila seorang anak itu memang berada dalam lingkungan yang tidak baik.

Jika Anda tetap melakukan pembatasan terhadap pergaulan anak, maka lengkapilah kebutuhan anak dengan fasilitas yang memungkinkan anak Anda untuk bisa mengakses dan menimba ilmu yang ada di dunia luar meskipun dia berada dalam pengawasan Anda.

“Anak juga harus diberi pemahaman berbagai konflik yang ada di lingkungan sosial yang dia lihat. Jadi ketika orang tua membatasi si anak karena pergaulan yang tidak baik,  dia akan paham sehingga tidak ada pemberontakan,” ucap Biro Psikologi HRTE Indonesia (Human Resource Training & Empowermen) Rahmadani Hidayatin, Psi beberapa waktu lalu saat dijumpai di ruang kerjanya di PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Daerah Sumut yang berada di Jalan Multatuli No.34 X Medan.

Biasanya, lanjutnya, ketika orang tua membatasi gerak anak dia akan bertanya-tanya, kenapa saya dibatasi dan diatur-atur. Padahal  saya yang tahu teman saya. “Pasti itu yang dipikirkan si anak, karena mereka masih memiliki tingkat egois yang tinggi. Itulah konfliknya,” sambungnya.

Sebagai orang tua, lanjutnya  kita tidak perlu marah-marah dan terus mencurigai temannya sebagai orang yang tidak baik. ‘’Itu yang akhirnya membuat kita bertentangan. Jadi ketika si anak menunjukkan siapa kawannya ya orang tua harus cari tahu. Dan coba berdialog dengan teman anak-anak kita. Jadi kita tahu mengarahkan anak kita dengan teman-temannya dan buka membatasi anak kita dengan teman-temannya,” ungkapnya. (mag-12)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/