28 C
Medan
Thursday, June 27, 2024

Kenali Gejalanya Sejak Dini

Tangani Penderita Autis

Orangtua harus memperhatikan tumbuh kembang anak sejak dini. Karena bukan tidak mungkin anak mengalami masalah koordinasi motorik yang mengganggu prestasi akademik dan personal sosialnya. Untuk itu, intervensi dini sangat dibutuhkan karena masalah perkembangan anak akan sulit ditangani seiring bertambahnya usia anak.

“Anak semakin pasif, kurang bermain, bergerak, berinteraksi dan muncul berbagai macam keterlambatan. Ini termasuk gangguan perkembangan koordinasi gerak atau Developmental Coordination Disorder (DCD) atau biasa disebut dengan anak autis. Kondisi seperti ini ditandai dengan lemahnya kualitas otot tubuh secara keseluruhan,” kata Konsultan dan Praktisi Anak Berkebutuhan Khusus, Tri Budi Santoso dalam Seminar Pengaruh Koordinasi Motorik Terhadap Kemampuan Akademik Anak di Medan Club baru -baru ini.

Menurut Tri Budi Santoso, anak dengn DCD sering memperlihatkan performace yang bervariasi. DCD juga sangat berpengaruh pada fisik, sosial dan kesehatan emosi anak. “Misalnya anak sering terlihat lemah, geraknya lamban, kesulitan mengerjakan aktifitas sehari-hari, tidak suka duduk dilantai karena cepat capek dan keseimbangan duduk nya jelek,” jelasnya.

Dijelaskannya dampak DCD yaitu  anak sering mengurung diri, pasif tidak mau beraktifitas, perilaku menarik diri dan motivasi dalam belajar sagat lemah. Bahkan jika tidak ditangani dan mendapatkan terapi sejak dini maka kondisi tersebut akan berlanjut hingga remaja. Pada penelitian jangka pajang, anak yang didiagnosis DCD pada umur 15 tahun, sekitar 46 % tanda dan gejala DCD masih ada hingga usia 25 tahun.

“Biasanya DCD mulai terlihat saat anak berusia 6 tahun. Obat khusus pada anak yang mengalami DCD belum ada. Maka sebagai orangtua perkembangan anak harus diperhatikan. Anak DCD yang disertai kondisi penyakit atau syndroma yang lain diberikan intervensi sesuai tanda dan gejala yang ada seperti terapi bermain dengan bimbingan orangtua,” ungkapnya.

Namun, tidak semua aktifitas keseharian menjadi hambatan bagi anak dengan DCD. Peran orangtua sangat penting dengan memberikan dorongan pada anak untuk berpartisipasi pada semua aktifitas. Selain itu intervensi dini akan membuahkan hasil yang lebih baik. “Jangan malu jika anak mengalami gangguan perkembangan koordinasi gerak. Sebaiknya cepat tangani dengan memasukkannya ke sekolah berkebutuhan khusus,” urainya.

Sementara, Sekretaris FMPA (Forum Masyarakat Peduli Autis)  Sumut, Vita Lestari Nasution mengatakan seminar yang bekerjasama dengan Sakai Morrisons School dan FP5A (Forum Pemerhati dan Penulis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) Sumut tersebut diharapkan memberi manfaat terhadap orangtua agar mampu mendidik dan membina anak-anak mereka yang  berkebutuhan khusus.  (mag-11)

Tangani Penderita Autis

Orangtua harus memperhatikan tumbuh kembang anak sejak dini. Karena bukan tidak mungkin anak mengalami masalah koordinasi motorik yang mengganggu prestasi akademik dan personal sosialnya. Untuk itu, intervensi dini sangat dibutuhkan karena masalah perkembangan anak akan sulit ditangani seiring bertambahnya usia anak.

“Anak semakin pasif, kurang bermain, bergerak, berinteraksi dan muncul berbagai macam keterlambatan. Ini termasuk gangguan perkembangan koordinasi gerak atau Developmental Coordination Disorder (DCD) atau biasa disebut dengan anak autis. Kondisi seperti ini ditandai dengan lemahnya kualitas otot tubuh secara keseluruhan,” kata Konsultan dan Praktisi Anak Berkebutuhan Khusus, Tri Budi Santoso dalam Seminar Pengaruh Koordinasi Motorik Terhadap Kemampuan Akademik Anak di Medan Club baru -baru ini.

Menurut Tri Budi Santoso, anak dengn DCD sering memperlihatkan performace yang bervariasi. DCD juga sangat berpengaruh pada fisik, sosial dan kesehatan emosi anak. “Misalnya anak sering terlihat lemah, geraknya lamban, kesulitan mengerjakan aktifitas sehari-hari, tidak suka duduk dilantai karena cepat capek dan keseimbangan duduk nya jelek,” jelasnya.

Dijelaskannya dampak DCD yaitu  anak sering mengurung diri, pasif tidak mau beraktifitas, perilaku menarik diri dan motivasi dalam belajar sagat lemah. Bahkan jika tidak ditangani dan mendapatkan terapi sejak dini maka kondisi tersebut akan berlanjut hingga remaja. Pada penelitian jangka pajang, anak yang didiagnosis DCD pada umur 15 tahun, sekitar 46 % tanda dan gejala DCD masih ada hingga usia 25 tahun.

“Biasanya DCD mulai terlihat saat anak berusia 6 tahun. Obat khusus pada anak yang mengalami DCD belum ada. Maka sebagai orangtua perkembangan anak harus diperhatikan. Anak DCD yang disertai kondisi penyakit atau syndroma yang lain diberikan intervensi sesuai tanda dan gejala yang ada seperti terapi bermain dengan bimbingan orangtua,” ungkapnya.

Namun, tidak semua aktifitas keseharian menjadi hambatan bagi anak dengan DCD. Peran orangtua sangat penting dengan memberikan dorongan pada anak untuk berpartisipasi pada semua aktifitas. Selain itu intervensi dini akan membuahkan hasil yang lebih baik. “Jangan malu jika anak mengalami gangguan perkembangan koordinasi gerak. Sebaiknya cepat tangani dengan memasukkannya ke sekolah berkebutuhan khusus,” urainya.

Sementara, Sekretaris FMPA (Forum Masyarakat Peduli Autis)  Sumut, Vita Lestari Nasution mengatakan seminar yang bekerjasama dengan Sakai Morrisons School dan FP5A (Forum Pemerhati dan Penulis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) Sumut tersebut diharapkan memberi manfaat terhadap orangtua agar mampu mendidik dan membina anak-anak mereka yang  berkebutuhan khusus.  (mag-11)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/