MEDAN, SUMUTPOS.CO – Henri Donald Siregar (39) warga asal Tapanuli Utara (Taput) jalani sidang perdana secara virtual, di Ruang Cakra 7 Pengadilan Negeri Medan, Selasa (1/11). Petani ini didakwa atas kasus jual beli sisik Trenggiling sebanyak 50 kilogram.
Jaksa Penutut Umum (JPU) Liani Elisa Pinem menghadirkan 3 saksi dari Polisi Kehutanan. Ketiga saksi tersebut ialah Arianto, Musriadi, Syofian. Mereka bertiga hadir dengan mengenakan seragam Polisi Hutan (Polhut) yang bewarna hijau.
Majelis hakim Sulhanuddin menanyakan kronologi penangkapan kepada para saksi.
“Mengetahui dari Facebook, Hendri memberikan komentar di kolom kalau dirinya memiliki barang sisik dan lidah tringgiling,” kata Arianto.
Mendapat informasi tersebut, para anggota Polhut itu langsung mendalami informasi terdakwa, dan melakukan undercover agar dapat mengamankan terdakwa.
Ketika para saksi menghubungi terdakwa, Henri mengaku mempunyai 50 kg sisik dan 15 lidah tringgiling.
“Dari Tarutung, dia mengatakan ada rencana ke Medan, dia juga menjanjikan akan membawa 19kg sisik dan 8 lidah tringgiling,” ujar Arianto.
Kemudian saat Henri datang ke Medan, mereka bertemu pada siang hari di Jalan STM depan hotel OYO.
Saat bertemu, belum sempat Henri memberikan sisik dan lidah tringgiling itu, para anggota Polhut langsung mengamankan terdakwa.
Ketika di introgasi, terdakwa mengaku sebagai seorang pengepul tringgiling yang nantinya dikumpulkan oleh terdakwa untuk diperjualbelikan.
“Dia seorang pengepul, mengumpul tringgiling dari orang lain atau saat dia ke hutan menemukan tringgiling dikumpulkannya,” ujarnya.
Saat Hakim menanyakan kepada saksi mengenai berapa jumlah tringgiling yang sudah jadi korban dari terdakwa, ketiga saksi tidak mengetahui persis totalnya.
“Tidak tahu yang mulia, karena kalau tringgilingnya berukuran kecil sisiknya sedikit, semakin besar ukurannya semakin banyak sisiknya,” jawab Arianto.
Ditambahkan Musriadi, perbuatan terdakwa terbukti bersalah melanggar pasal UU Nomor 5 Tahun 1990 tanggal 10 Agustus 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Menurut Arianto, walaupun populasi tringgiling masih besar, namun hewan itu ditetapkan sebagai hewan yang dilindungi karena sisiknya bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan narkotika jenis sabu.
“Sisiknya bisa digunakan untuk bahan baku pembuatan sabu, dan lidahnya biasa digunakan sebagai penglaris makanya harga jualnya yang tinggi dan ditetapkan sebagai hewan yang dilindungi untuk mengurangi hal yang tidak diinginkan yang mulai,” jelas Arianto.
Usai mendengar keterangan saksi, Majelis hakim diketuai Sulhanuddin, menunda persidangan hingga pekan depan dengan agenda tuntutan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Liana Pinem, mendakwa terdakwa dengan Pasal Pasal 40 ayat (2) Jo Pasal 21 ayat (2) huruf d Undang-Undang RI Nomor 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.106/MENLHK /SEKJEN/KUM.1/12/2018, tentang Perubahan kedua Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : P.20/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi. (man/tri)