25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Saksi Tegaskan Lahan Masih Aset Negara

Ketika disinggung soal keterkaitan dengan Tamin Sukardi, saksi tidak mengetahui permasalahan lahan 106 hektare di desa Helvetia tersebut.

Senada dengan Parlin, saksi Darwin mengaku waktu itu ia adalah bagian dari tim B Plus yang dibentuk Gubernur.

Ia membenarkan bahwa hingga saat ini Menteri BUMN belum mengambil sikap terkait permasalahan tanah tersebut.

Amatan Sumut Pos, sekira pukul 13.25 WIB, tampak 7 JPU sudah duduk di tempatnya dan bersiap untuk bersidang. Disusul, 8 orang kuasa hukum Tamin Sukardi duduk di tempatnya.

Sekira pukul 14.10 WIB, majelis hakim memasuki ruang sidang. Disusul terdakwa Tamin Sukardi mengenakan kemeja putih.

Dalam perkara itu, Tamin Sukardi sebagai terdakwa dijerat dalam kasus dugaan penjualan lahan seluas 74 hektare di Pasar II Desa Helvitia, Kecamatan Labuhandeli, Deliserdang.

Namun lahan tersebut masih tercatat sebagai aset PT Perkebunan Nusantara 2 (Persero). Sehingga diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp134 miliar lebih.

Dalam dakwaan JPU sebelumnya, kasus tersebut bermula pada tahun 2002. Saat itu, terdakwa Tamin Sukardi mengetahui diantara tanah HGU milik PTPN II di Perkebunan Helvetia Kabupaten Deliserdang, ada tanah seluas 106 hektar yang dikeluarkan atau tidak diperpanjang HGU nya.

Kemudian terdakwa ingin menguasai dan memiliki tanah tersebut. Berbekal 65 lembar Surat Keterangan Tentang Pembagian Dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang (SKTPPSL), terdakwa melancarkan aksinya.

Terdakwa Tamin Sukardi kemudian meminta bantuan Tasman Aminoto, Misran Sasmita dan Sudarsono.

Lalu mereka membayar sejumlah warga agar mengaku sebagai pewaris hak garap di lokasi tersebut. Untuk mengelabui dan menguatkan, SKTPPSL seolah-olah dibuat pada tahun 1954.

Mereka mengkoordinir dan mengarahkan 65 orang warga untuk mengaku sebagai ahli waris dari nama yang tertera pada SKPPTSL tahun 1954 tersebut.

Warga-warga tersebut dijanjikan akan mendapatkan tanah masing-masing seluas 2 hektar dengan menyerahkan KTP.

Padahal nama yang tertera dalam 65 lembar SKPPTSL tersebut bukanlah nama orang tua dari warga-warga tersebut. Warga juga sama sekali tidak pernah memiliki tanah di lokasi tersebut.

Kemudian, warga juga dikoordinir untuk datang ke notaris dan menandatangani dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tanah tersebut.

Ketika disinggung soal keterkaitan dengan Tamin Sukardi, saksi tidak mengetahui permasalahan lahan 106 hektare di desa Helvetia tersebut.

Senada dengan Parlin, saksi Darwin mengaku waktu itu ia adalah bagian dari tim B Plus yang dibentuk Gubernur.

Ia membenarkan bahwa hingga saat ini Menteri BUMN belum mengambil sikap terkait permasalahan tanah tersebut.

Amatan Sumut Pos, sekira pukul 13.25 WIB, tampak 7 JPU sudah duduk di tempatnya dan bersiap untuk bersidang. Disusul, 8 orang kuasa hukum Tamin Sukardi duduk di tempatnya.

Sekira pukul 14.10 WIB, majelis hakim memasuki ruang sidang. Disusul terdakwa Tamin Sukardi mengenakan kemeja putih.

Dalam perkara itu, Tamin Sukardi sebagai terdakwa dijerat dalam kasus dugaan penjualan lahan seluas 74 hektare di Pasar II Desa Helvitia, Kecamatan Labuhandeli, Deliserdang.

Namun lahan tersebut masih tercatat sebagai aset PT Perkebunan Nusantara 2 (Persero). Sehingga diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp134 miliar lebih.

Dalam dakwaan JPU sebelumnya, kasus tersebut bermula pada tahun 2002. Saat itu, terdakwa Tamin Sukardi mengetahui diantara tanah HGU milik PTPN II di Perkebunan Helvetia Kabupaten Deliserdang, ada tanah seluas 106 hektar yang dikeluarkan atau tidak diperpanjang HGU nya.

Kemudian terdakwa ingin menguasai dan memiliki tanah tersebut. Berbekal 65 lembar Surat Keterangan Tentang Pembagian Dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang (SKTPPSL), terdakwa melancarkan aksinya.

Terdakwa Tamin Sukardi kemudian meminta bantuan Tasman Aminoto, Misran Sasmita dan Sudarsono.

Lalu mereka membayar sejumlah warga agar mengaku sebagai pewaris hak garap di lokasi tersebut. Untuk mengelabui dan menguatkan, SKTPPSL seolah-olah dibuat pada tahun 1954.

Mereka mengkoordinir dan mengarahkan 65 orang warga untuk mengaku sebagai ahli waris dari nama yang tertera pada SKPPTSL tahun 1954 tersebut.

Warga-warga tersebut dijanjikan akan mendapatkan tanah masing-masing seluas 2 hektar dengan menyerahkan KTP.

Padahal nama yang tertera dalam 65 lembar SKPPTSL tersebut bukanlah nama orang tua dari warga-warga tersebut. Warga juga sama sekali tidak pernah memiliki tanah di lokasi tersebut.

Kemudian, warga juga dikoordinir untuk datang ke notaris dan menandatangani dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tanah tersebut.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/