30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sri Ayuningsih Ngadu ke Kontras Jakarta

Sri (kiri) mengadu ke Kontras Jakarta.
Sri (kiri) mengadu ke Kontras Jakarta.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Sri Ayuningsih tak sanggup menahan deraian air matanya yang terus mengalir membasahi kedua pipinya. Berkali-kali ia mencoba menguatkan diri untuk mulai bercerita betapa tragis peristiwa pembunuhan yang menewaskan seluruh anggota keluarga besarnya 9 Oktober 2013 lalu. Mulai dari sang ayah, ibunda tercinta hingga kedua orang adik berusia belasan tahun yang begitu ia kasihi.

Keperihan justru semakin membuncah, tatkala Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Putri Kanesia, mulai bercerita kronologis pembunuhan yang diduga dilakukan dua warga sipil dan dua oknum anggota militer dari sebuah kesatuan di Binjai, Sumatera Utara. Bahkan sang suami, Joko Setiono, yang semula berusaha tegar mendampingi, juga terlihat mulai berkaca-kaca.

“Saya cuma minta keadilan ditegakkan. Saya ingin pembunuh keluarga saya dihukum seadil-adilnya,” ujar Sri saat ditemui di sekretariat Kontras di Jakarta, Rabu (5/3). Melihat kondisi tersebut, Putri tidak tega membiarkan Sri mengisahkan sendiri apa yang dialami almarhum Misnan (46), Suliah (46), Dedek Ferianto (21) dan Tri Wananda Aulia (14).

“Dari hasil autopsi yang dilakukan Polres Langkat, Sumatera Utara, disebutkan kalau ini merupakan pembunuhan berencana. Tiga korban ditemukan dalam satu tempat, sementara seorang korban lain yaitu Ibunda Sri, ditemukan di tempat lain, di daerah Batang Serangan,” katanya.

Menurut Putri, para pelaku memang kini telah ditahan. Masing-masing Alamsyah dan Rendi yang merupakan warga sipil, ditahan Polres Langkat dan dikenakan Pasal 340 KUHP. Berdasarkan informasi yang dihimpun, berkas keduanya kini telah dilimpahkan ke Kejari Langkat.

Sementara dua tersangka lain, Praka Puji dan Praka Sumsunardi Saragih meski telah ditahan POM TNI Angkatan Darat, namun belum diketahui sejauh mana proses hukum yang telah berjalan. “Dengan adanya pemisahan proses hukum ini, semakin membuktikan bahwa peradilan militer tidak sepenuhnya tepat mengadili kasus-kasus tindak pidana umum,” katanya.

Karena itu atas kasus ini, Kontras Jakarta, Kontras Sumut, dan keluarga korban, kata Putri, mendesak Panglima TNI, Kementerian Pertahanan dan Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia untuk segera menetapkan peradilan koneksitas. Agar kasus tidak menjadi terpecah. Karena salah seorang tersangka oknum militer, diduga merupakan orang yang mencokok agar para korban menenggak baygon. Selain itu juga diduga terlibat dalam pembuangan jenazah korban.

Desakan pembentukan peradilan koneksitas juga dikemukakan karena sebagaimana pengakuan pengurus Kontras Sumut, Oka Laksemana, pihak POM TNI AD saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu menyatakan berkas kedua tersangka oknum TNI telah dilimpahkan ke auditor militer. “Dikatakan, soal pasal penadahan sudah pasti (dikenakan pada tersangka oknum militer). Tapi terkait pasal pembunuhan masih mau diselidiki,” katanya.

Peristiwa pembunuhan ini terjadi 9 Oktober 2013 lalu. Secara kronologis Putri memaparkan sekitar Pukul 17.00 WIB, tersangka Alamsyah menyuruh Rendi (tersangka warga sipil) meletakkan baygon, lakban, gelas, kayu serta batu ke dekat lokasi kejadian di Blok L Divisi satu Kebun Tanjung Keliling atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bukit Setan.

Sekitar Pukul 19.00 WIB, Alamsyah merupakan tetangga korban dan Rendi mengajak Suwanto berkunjung ke rumah almarhum Misnan dengan alasan membeli 15 ekor kambing milik Misnan seharga Rp 8 juta. Sesampai di lokasi, kambing-kambing tersebut kemudian diangkut menggunakan sebuah mobil pick-up. Namun setelah kambing diantar, sekitar Pukul 21.00 WIB, Alamsyah justru menghubungi temannya Praka Puji. Ia pun menjelaskan rencana jahatnya merampok korban dengan berjanji memberi imbalan. Praka Puji kemudian mengajak seorang oknum TNI lainnya, Samsunardi Saragih.

“Kebetulan setelah menikah saya ikut suami tinggal di Bahorok. Kita mengetahui peristiwanya sehari setelah itu setelah salah seorang tetangga ayah di kampung menelpon. Mereka curiga kenapa di rumah tidak ada orang. Ia bertanya apakah keluarga saya lagi berkunjung ke Bahorok,” katanya. Mendengar informasi tersebut, Sri mulai khawatir, namun tidak menyangka kalau peristiwa yang dialami keluarganya dibunuh secara keji oleh orang yang telah dikenalnya. Alamsyah selama ini menurutnya merupakan pengangguran, namun kerap bolak balik terlihat membawa mobil baru.

“Saya baru tahu kepastiannya setelah seorang polisi menghubungi kita. Katanya ada mayat sekitar daerah Batang Serangan. Mayat dua laki-laki dan seorang anak perempuan usia sekitar 16 tahun pakai celana sekolah SMP Negeri 1 Salapian. Waktu itu juga saya masih merasa ah masa itu adik saya. Tapi perasaan saya makin tidak enak. Nggak lama kita disuruh ke sana untuk memastikan,” ujar Sri yang kembali terisak menahan derai air mata.

Sri mengaku benar-benar merasa sedih. Apalagi ia terakhir kali bertemu dengan keluarga saat Idul Fitri tahun lalu. “waktu seminggu sebelum lebaran ibu menelpon. Kita disuruh datang, katanya biar ramai. Tapi ternyata itu merupakan pertemuan terakhir kita. Saya tidak menyangka mengalami hal ini. Saya minta para pelaku dihukum seadil-adilnya dan seberat-beratnya atas perbuatan yang mereka lakukan,” katanya.(gir/deo)

Sri (kiri) mengadu ke Kontras Jakarta.
Sri (kiri) mengadu ke Kontras Jakarta.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Sri Ayuningsih tak sanggup menahan deraian air matanya yang terus mengalir membasahi kedua pipinya. Berkali-kali ia mencoba menguatkan diri untuk mulai bercerita betapa tragis peristiwa pembunuhan yang menewaskan seluruh anggota keluarga besarnya 9 Oktober 2013 lalu. Mulai dari sang ayah, ibunda tercinta hingga kedua orang adik berusia belasan tahun yang begitu ia kasihi.

Keperihan justru semakin membuncah, tatkala Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Putri Kanesia, mulai bercerita kronologis pembunuhan yang diduga dilakukan dua warga sipil dan dua oknum anggota militer dari sebuah kesatuan di Binjai, Sumatera Utara. Bahkan sang suami, Joko Setiono, yang semula berusaha tegar mendampingi, juga terlihat mulai berkaca-kaca.

“Saya cuma minta keadilan ditegakkan. Saya ingin pembunuh keluarga saya dihukum seadil-adilnya,” ujar Sri saat ditemui di sekretariat Kontras di Jakarta, Rabu (5/3). Melihat kondisi tersebut, Putri tidak tega membiarkan Sri mengisahkan sendiri apa yang dialami almarhum Misnan (46), Suliah (46), Dedek Ferianto (21) dan Tri Wananda Aulia (14).

“Dari hasil autopsi yang dilakukan Polres Langkat, Sumatera Utara, disebutkan kalau ini merupakan pembunuhan berencana. Tiga korban ditemukan dalam satu tempat, sementara seorang korban lain yaitu Ibunda Sri, ditemukan di tempat lain, di daerah Batang Serangan,” katanya.

Menurut Putri, para pelaku memang kini telah ditahan. Masing-masing Alamsyah dan Rendi yang merupakan warga sipil, ditahan Polres Langkat dan dikenakan Pasal 340 KUHP. Berdasarkan informasi yang dihimpun, berkas keduanya kini telah dilimpahkan ke Kejari Langkat.

Sementara dua tersangka lain, Praka Puji dan Praka Sumsunardi Saragih meski telah ditahan POM TNI Angkatan Darat, namun belum diketahui sejauh mana proses hukum yang telah berjalan. “Dengan adanya pemisahan proses hukum ini, semakin membuktikan bahwa peradilan militer tidak sepenuhnya tepat mengadili kasus-kasus tindak pidana umum,” katanya.

Karena itu atas kasus ini, Kontras Jakarta, Kontras Sumut, dan keluarga korban, kata Putri, mendesak Panglima TNI, Kementerian Pertahanan dan Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia untuk segera menetapkan peradilan koneksitas. Agar kasus tidak menjadi terpecah. Karena salah seorang tersangka oknum militer, diduga merupakan orang yang mencokok agar para korban menenggak baygon. Selain itu juga diduga terlibat dalam pembuangan jenazah korban.

Desakan pembentukan peradilan koneksitas juga dikemukakan karena sebagaimana pengakuan pengurus Kontras Sumut, Oka Laksemana, pihak POM TNI AD saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu menyatakan berkas kedua tersangka oknum TNI telah dilimpahkan ke auditor militer. “Dikatakan, soal pasal penadahan sudah pasti (dikenakan pada tersangka oknum militer). Tapi terkait pasal pembunuhan masih mau diselidiki,” katanya.

Peristiwa pembunuhan ini terjadi 9 Oktober 2013 lalu. Secara kronologis Putri memaparkan sekitar Pukul 17.00 WIB, tersangka Alamsyah menyuruh Rendi (tersangka warga sipil) meletakkan baygon, lakban, gelas, kayu serta batu ke dekat lokasi kejadian di Blok L Divisi satu Kebun Tanjung Keliling atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bukit Setan.

Sekitar Pukul 19.00 WIB, Alamsyah merupakan tetangga korban dan Rendi mengajak Suwanto berkunjung ke rumah almarhum Misnan dengan alasan membeli 15 ekor kambing milik Misnan seharga Rp 8 juta. Sesampai di lokasi, kambing-kambing tersebut kemudian diangkut menggunakan sebuah mobil pick-up. Namun setelah kambing diantar, sekitar Pukul 21.00 WIB, Alamsyah justru menghubungi temannya Praka Puji. Ia pun menjelaskan rencana jahatnya merampok korban dengan berjanji memberi imbalan. Praka Puji kemudian mengajak seorang oknum TNI lainnya, Samsunardi Saragih.

“Kebetulan setelah menikah saya ikut suami tinggal di Bahorok. Kita mengetahui peristiwanya sehari setelah itu setelah salah seorang tetangga ayah di kampung menelpon. Mereka curiga kenapa di rumah tidak ada orang. Ia bertanya apakah keluarga saya lagi berkunjung ke Bahorok,” katanya. Mendengar informasi tersebut, Sri mulai khawatir, namun tidak menyangka kalau peristiwa yang dialami keluarganya dibunuh secara keji oleh orang yang telah dikenalnya. Alamsyah selama ini menurutnya merupakan pengangguran, namun kerap bolak balik terlihat membawa mobil baru.

“Saya baru tahu kepastiannya setelah seorang polisi menghubungi kita. Katanya ada mayat sekitar daerah Batang Serangan. Mayat dua laki-laki dan seorang anak perempuan usia sekitar 16 tahun pakai celana sekolah SMP Negeri 1 Salapian. Waktu itu juga saya masih merasa ah masa itu adik saya. Tapi perasaan saya makin tidak enak. Nggak lama kita disuruh ke sana untuk memastikan,” ujar Sri yang kembali terisak menahan derai air mata.

Sri mengaku benar-benar merasa sedih. Apalagi ia terakhir kali bertemu dengan keluarga saat Idul Fitri tahun lalu. “waktu seminggu sebelum lebaran ibu menelpon. Kita disuruh datang, katanya biar ramai. Tapi ternyata itu merupakan pertemuan terakhir kita. Saya tidak menyangka mengalami hal ini. Saya minta para pelaku dihukum seadil-adilnya dan seberat-beratnya atas perbuatan yang mereka lakukan,” katanya.(gir/deo)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/