MEDAN, SUMUTPOS.CO – Penghentian penuntutan terhadap Mujianto alias Anam dan rekannya Rosihan Anwar, oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) dianggap telah mencederai rasa keadilan. Kejatisu dinilai, telah mengambil alih tugas dari Pengadilan.
HAL ini disampaikan, Arizal selaku kuasa hukum korban Armen Lubis. Dia menyebut, apa yang disampaikan oleh Kepala Kejatisu, Fahkruddin terkait Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) perlu dipertanyakan.
“Pertama, inikan perkara telah memenuhi ketentuan formil dan materiil. Yang menyatakan kasus ini pidana kan jaksa juga. Berkas itukan dikirim penyidik ke kejaksaan, lalu diteliti bolak balik sampai berkas itu dinyatakan lengkap. Setelah P21, penyidik kan menyerahkan berkas perkara berikut tersangkanya ke kejaksaan,” ucapnya kepada Sumut Pos, Jumat (8/3).
Dari kasus ini, lanjut Arizal, perkara yang sudah dinyatakan P21 dan P22 wajib dilimpahkan ke Pengadilan.
“Diuji di pengadilan, kalau memang perkaranya pidana dihukum. Kalau memang tidak kan ada onslag, ada perbuatan tapi bukan pidana. Jadi jaksa jangan mengambil alih tugas dari pengadilan. Limpahkan saja ke pengadilan, demi keadilan dan kepastian hukum,” ujarnya.
Dia pun mengaku heran atas pernyataan Kajatisu tersebut. Sebab katanya, Kejatisu menyatakan berkasnya lengkap, namun Kejatisu juga yang menghentikan perkaranya.
“Tapi kalau itu benar terjadi, secara hukum kan korban mempunyai hak untuk menguji keabsahannya itu. Bisa saja kita melalui praperadilan dan bisa saja kita uji ke ranah PTUN. Tapi pun itu nanti kita diskusikan kepada klien, karena kan kita hanya dapat memberikan aktis hukum,” kata Arizal.
Dia sepenuhnya menyerahkan persoalan itu, kepada kliennya yang dalam kasus ini merupakan korban. Untuk sementara ini, kata Arizal, pihaknya masih menunggu arahan dari Armen Lubis.
“Dalam hal ini kita lihat dululah, apakah ini sekedar wacana, apakah benar. Kami saat ini fokus dulu terhadap gugatan perdata yang dilayangkan klien kami. Kalau memang itu yang terjadi, langkah-langkah hukum kan bisa kita buat. Sebagai warga negara yang baik, bermainlah kita di level hukum,” pungkasnya.
Tidak Punya Pengetahuan
Praktisi hukum dari Pusat Study Pembaharuan Hukum dan Peradilan (Pushpa), Nuriono menyebut penerbitan SKPP terhadap Mujianto merupakan preseden buruk peradilan. Nuriono menganggap, kejaksaan tidak profesional dalam menangani perkara yang disebutnya kasus pidana biasa.
“Kalau memang seperti itu berartikan jaksa tidak profesional dan tidak mempunyai pengetahuan. Kalau ini terjadi, berarti kan Kajatisu mencoreng anggotanya sendiri. Anggotanya perlu marah terhadap Kajatisu, harusnya seperti itu,” katanya.
Nuriono mengaku heran terhadap penghentian kasus Mujianto ini. Sebab katanya, kasus ini berbanding terbalik bila yang terkena imbasnya adalah masyarakat kecil.
“Tapi kenapa terhadap pengusaha yang mempunyai akses begitu kuat dengan begitu mudah menghentikan perkara yang sudah P21. Inikan persoalan bagaimana rasa keadilan itu di jaga oleh aparatur kejaksaan,” kesalnya.
Dalam hal ini, dia sepakat terhadap kuasa hukum korban, yang bisa meminta pembatalan SKPP melalui prapid.
“Dan saya pikir bisa kita dukung beramai-ramai kan, sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan,” pungkas Sekretaris Pushpa ini.
Sebelumnya, Kejatisu mengajukan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) untuk kasus penipuan senilai Rp3 miliar yang melibatkan pengusaha properti Medan, Mujianto dan bawahannya Rosihan Anwar. Kejatisu menilai, perkara itu tidak layak masuk ke persidangan.
Hal ini sebagaimana disampaikan Kepala Kejatisu, Fahkruddin kepada wartawan, Rabu (6/3). Fakhruddin berdalih, pengajuan SKPP karena menilai kasus ini tidak layak disidangkan.
“Kami berpendapat belum layak. Maka kami mengajukan ke pusat untuk menunggu dari pusat persetujuan untuk di SKPP,” ucap Fakhruddin.
Mujianto dan Rosihan Anwar ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sumut karena diduga melakukan penipuan tanah timbun terhadap Armen Lubis. Akibatnya, korban tertipu Rp3,5 miliar.(man/ala)