MEDAN, SUMUTPOS.CO – Dosen Universitas Sumatera Utara (USU), Himma Dewiyana Lubis, menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Medan, Rabu (9/1). Dia harus duduk di kursi pesakitan, karena didakwa dengan sengaja menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian berbau SARA melalui media sosial facebook, pasca teror bom di Surabaya tahun 2018.
“Bahwa pada 12-13 Mei 2017 di Jalan Melinjo 2 Komplek Johor Permai, Gedung Johor, Kecamatan Medan Johor, Kota Medan, terdakwa dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA),” ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Tiorida Juliana Hutagaol di ruang sidang Cakra 2, Rabu (9/1).
Saat itu, petugas Subdit II Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Sumut sedang melakukan patroli siber dengan sasaran media sosial yang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian.
Petugas menemukan postingan terdakwa dan mulai melakukan penyelidikan. Pada hari itu juga, petugas menginterogasi dan terdakwa mengakui tulisan tersebut merupakan tulisannya.
“Bahwa terdakwa Himma Dewiyana membuat caption (kutipan tulisan) di dalam akun facebooknya karena merasa kesal, jengkel dan sakit hati atas kepemimpinan Bapak Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia. Dimana sembako pada naik/mahal, tarif listrik naik/mahal dan semua kebutuhan sehari-hari pada naik/mahal,” ucap JPU Tiorida di depan majelis hakim yang diketuai Riana Pohan.
Padahal lanjut JPU, sebelumnya terdakwa sangat mengagung-agungkan Jokowi sebelum menjadi Presiden RI. “Di mana Janji-janji Bapak Jokowi pada saat kampanye pemilihan Presiden RI tahun 2014 sangat mendukung terdakwa dalam kehidupan sehari-hari,” sebut Tiorida lagi.
Namun, perbuatannya itu justru menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu.
“Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 28 Ayat (2) Juncto Pasal 45A Ayat (2) UU RI No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No 11 Tahun 2008 tentang Informasi Teknologi Elektronik,” sebut JPU.
Usai mendengarkan dakwaan JPU, majelis hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa mengajukan eksepsi pada hari itu juga. Terdakwa melalui
penasihat hukumnya dari Tim Bantuan Hukum Korp Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Medan, menyatakan keberatan atas dakwaan karena dianggap kabur dan tidak cermat.
Dalam eksepsinya, penasihat hukum menyampaikan beberapa dasar keberatan mereka. Utamanya terkait proses penyelidikan dan penyidikan yang tidak sesuai dengan KUHAP.
Salah satunya terkait tidak adanya masyarakat yang melapor sebagai korban ujaran kebencian ini. Laporan justru dibuat penyidik.
“Tindakan pelapor yang sekaligus menjadi penyelidik tidak selaras dengan KUHAP,” ucap penasihat hukum terdakwa.
Tim penasihat hukum juga menyoroti dakwaan yang dinilai tidak memenuhi syarat.
“Kami penasihat hukum terdakwa Himma Dewiyana Lubis alias Himma, menyatakan surat dakwaan kabur sebagai dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum atau harus dibatkan atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima,” kata Rina Melati Sitompul, salah seorang penasihat hukum.
Dalam perkara ini, Himma sempat ditahan penyidik di Polda Sumut pada 20 Mei 2018 hingga 8 Juni 2018. Setelah itu penahanannya ditangguhkan.(man/ala)