JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat bakal kembali menyeret sejumlah perwira tinggi (pati) dan perwira menengah (pamen) Polri. Inspektorat Khusus (Itsus) Mabes Polri dikabarkan segera memeriksa sejumlah jenderal bintang dua untuk dimintai keterangan seputar kasus pembunuhan Yosua.
PERWIRA tinggi yang masuk daftar pemeriksaan Itsus Mabes Polri adalah tiga Kapolda yang bertugas di Pulau Jawa dan Sumatera. Ketiganya bakal diperiksa dalam waktu dekat. “Rencana (pemanggilan tiga Kapolda, Red) minggu depan,” kata sumber Jawa Pos yang enggan disebutkan namanya, kemarin (16/8).
Pemeriksaan tiga Kapolda tersebut dilakukan Itsus untuk mendalami dugaan merintangi proses hukum (obstruction of justice) dalam kasus pembunuhan Yosua. Di antara tiga Kapolda tersebut, kata sumber itu, keterangan Kapolda Metro Jaya dibutuhkan karena keterlibatan sejumlah pamen Polda Metro Jaya dalam olah tempat kejadian perkara (TKP) pada 8 Juli 2022. Selain itu, narasi awal dalam keterangan pers Kapolrestro Jakarta Selatan menyebut kasus pembunuhan Yosua sebagai akibat dari tembak-menembak setelah Yosua melakukan pelecehan kepada Putri Sambo. Polrestro Jakarta Selatan dan Polda Metro Jaya juga telah memproses kasus dugaan pelecehan serta percobaan pembunuhan yang dilaporkan Putri Sambo hingga tahap penyidikan.
Penanganan dua kasus tersebut akhirnya diambil alih Mabes Polri. Belakangan tuduhan pelecehan yang dilaporkan Putri Sambo itu juga dimentahkan penyidik Mabes Polri dan dinyatakan sebagai bagian dari obstruction of justice.
Sebelumnya Kadivhumas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo membenarkan bahwa 35 personel kepolisian ditengarai telah melanggar kode etik karena tidak profesional mengusut dugaan pembunuhan Yosua. Puluhan anggota itu diduga terlibat dalam rekayasa kasus dan menghilangkan barang bukti di TKP.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombespol Endra Zulpan menjelaskan, dari puluhan polisi yang diisolasi di Mako Brimob dan Biro Provos Mabes Polri tersebut, lima perwira di antaranya berdinas di Polda Metro Jaya. Lima perwira Polda Metro Jaya yang telah diisolasi itu adalah Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum AKBP Jerry Siagian, Kasubditresmob Ditreskrimum AKBP Handik Zusen, Kasubditkamneg Ditreskrimum AKBP Raindra Ramadhan Syah, Kasubditrenakta AKBP Pujiyarto, dan Kanit II Jatanras Kompol Abdul Rohim.
Sumber Jawa Pos menjelaskan, para perwira menengah tersebut sudah mengakui semua perbuatannya kepada Itsus. Mereka berdalih hanya menjalankan perintah dari dua orang atasannya di Polda Metro Jaya. “Pengakuan itu valid. Setelah dilakukan pemeriksaan silang, keterangan itu berkesesuaian satu sama lain,” ujarnya.
Pengakuan para perwira polisi itulah yang membuat Itsus perlu meminta keterangan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran. Itsus juga akan meminta keterangan Fadil terkait narasi baku tembak di rumah dinas Sambo di Duren Tiga yang disampaikannya kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 15 Juli lalu.
Hadir bersama Fadil dalam pertemuan dengan Kapolri tersebut dua Kapolda di wilayah Jawa dan Sumatera. Dua Kapolda itu mengaku datang ke Jakarta pada 15 Juli karena ditelepon salah satu perwira menengah di Mabes Polri. “Itu dimanfaatkan Sambo sehingga seolah-olah narasi tembak-menembak tersebut mendapat dukungan dari Kapolri,” ungkap sumber itu.
Jawa Pos telah berupaya melakukan konfirmasi kepada dua Kapolda tersebut, tapi keduanya tidak menjawab pesan dari Jawa Pos. Permintaan konfirmasi juga telah disampaikan kepada dua kepala bidang humas polda di tempat dua jenderal bintang dua itu bertugas. Namun, dua Kabidhumas tersebut mengaku tidak mendengar rencana pemeriksaan itu. “Silakan tanya ke Mabes Polri. Saya tidak monitor infonya,” ujar salah seorang Kabidhumas polda di wilayah Jawa tersebut.
Komisi III akan Panggil Kapolri
Pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir Yosua menjadi momentum untuk mendorong optimalisasi reformasi di tubuh Polri. Korps bhayangkara tersebut diminta menghindari dan meninggalkan praktik-praktik kekerasan. Terutama kekekerasan yang terjadi di tubuh kepolisian itu sendiri.
Anggota Tim Advokat Penegakan Hukum & Keadilan (Tampak) Judianto Simanjuntak menyebut, kekerasan harus dihindari lantaran berseberangan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM). Meninggalkan budaya kekerasan, kata dia, juga merupakan upaya meninggalkan homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lain). “Ini penting untuk reformasi Polri,” katanya, Rabu (17/8). Kasus pembunuhan Yosua yang diduga dilakukan atasannya sendiri, yakni Irjen Pol Ferdy Sambo menjadi pelajaran penting bagi Polri. Ini menjadi fakta bahwa praktik kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan masih belum hilang. “Pelakunya adalah perangkat negara yang seharusnya berkewajiban melindungi dan menghormati HAM,” paparnya.
Hal tersebut tentu menjadi preseden buruk Polri di kalangan masyarakat. Meskipun masyarakat sejatinya sudah mafhum dengan keburukan-keburukan polisi. Misalnya, saat polisi menghadapi aksi rakyat dengan cara kekerasan, bahkan tak jarang melakukan penyiksaan kepada warga yang ditangkap. “Kekerasan dan kriminalisasi kepada petani dan masyarakat adat juga banyak terjadi,” ujarnya.
Tampak yang berisi kumpulan puluhan advokat itu pun terus mendesak Polri agar mengungkap kasus pembunuhan Yosua secara terang benderang. Tanpa menutupi fakta, atau malah mengarang cerita baru untuk sekadar memuaskan keinginan publik. “Kematian Yosua ini harus ditangani secara profesional, transparan dan akuntabel,” imbuhnya.
Judianto menambahkan, tangisan ibu Yosua, Rosti Simanjuntak di makam anaknya kemarin juga harus menjadi perhatian Polri. Kemarin, keluarga besar Yosua mengadakan perayaan HUT Kemerdekaan RI di makam Brigadir J di Jambi sebagai bentuk penghormatan. Nah, Rosti terus-menerus menangis sembari memegang nisan anaknya. “Ratapan ibu tak berkesudahan,” ungkapnya.
Anggota Komisi III DPR Taufik Basari menambahkan Polri mesti betul-betul bekerja secara baik dan benar untuk mengungkap kasus Yosua. Apalagi, kasus tersebut mendapat perhatian yang besar dari Presiden Joko Widodo. “Presiden empat kali menyampaikan terkait kasus itu,” tuturnya, kemarin.
Tobas, sapaan akrabnya menegaskan, kasus pembunuhan Brigadir J menjadi perhatian serius Komisi III. Menurut dia, pada Kamis (18/8) hari ini, komisinya akan menggelar rapat untuk menyusun agenda rapat. Salah satu yang akan diagendakan adalah pemanggilan Kapolri, kejaksaan, Komnas HAM, LPSK terkait kasus pembunuhan berencana itu.
Politisi Partai Nasdem itu mengatakan, selain pembunuhan berencana, yang menjadi catatan penting adalah upaya rekayasa kasus yang akhirnya bisa digagalkan. “Ini pelajaran terpenting bagi kita bahwa parktik rekayasa kasus terjadi. Kami harap kepolisian lakukan pembenahan internal,” tegasnya.
Dia menyatakan, upaya rekayasa kasus jangan sampai terjadi lagi. Hal itu menjadi pelajaran bagi polisi di seluruh Indonesia. Pimpinan polri harus membongkar semua perkara yang diduga ada upaya rekayasa kasus. Tobas menegaskan bahwa ada dua pekerjaan rumah (PR) bagi polisi dalam perkara tersebut. Pertama, polisi harus membongkar dan mengusut tuntas kasus pembunuhan terhadap Brigadir J. Kedua, polisi harus mengungkap semua pihak yang bertanggungjawab dalam upaya rekayasa kasus.
Jadi, kata dia, bukan hanya satu kasus, pembunuhan saja, tapi juga rekayasa kasusnya. Dua-duanya harus dituntaskan. Jika ada kekeliruan dalam penanganan kasus itu, maka menjadi pertaruhannya adalah kepercayaan publik kepada polri. “Ini sangat krusial, jangan sampai keliru, jangan ada yang ditutup-tutupi, dan jangan sampai penyidikannya terkendala, karena ada kepentingan tertentu,” bebernya.
Legislator asal Lampung itu menambahkan, jika kasus tersebut selesai, maka pihaknya akan mendorong Polri untuk menyelesaikan kasus serupa yang selama ini mendapat perhatian masyarakat. Menurut dia, perkara pembunuhan berencana dan rekayasa kasus itu bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan pembenahan di internal Polri. (tyo/lum/ygi/edi/oni/c9/noe)