BINJAI, SUMUTPOS.CO – Direktur Utama PT Kiat Unggul, Indramawan bersama dua menejernya masing-masing Burhan dan Lismawarni menjalani sidang perdana. Ketiganya merupakan orang yang paling bertanggung jawab atas melayangnya 30 nyawa karena pabrik korek api gas ilegal di Langkat meledak, Jumat 21 Juni 2019.
SIDANG dipimpin Ketua Majelis Hakim Fauzul Hamdi didampingi Dedy dan Tri Syahriawani digelar di Ruang Cakra Pengadilan Negeri Binjai, Kamis (19/9).
Terungkap dalam sidang, selama 8 tahun usaha ilegalnya beroperasi, Indramawan tak mengetahui siapa saja pekerjanya. Pasalnya, Indramawan hanya meneruskan perintah kerja kepada Lismawarni dan Burhan untuk melakukan pemantauan aktifitas di lapangan.
Sidang perdana diawali dengan pembacaan dakwaan. Sebelum membuka sidang, Fauzul mewakili keluarga besar PN Binjai mengungkapkan rasa belasungkawa terhadap keluarga korban kebakaran.
Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Binjai, Fahmi Jalil menjadi ketua tim sebagai penuntut umum dengan dua jaksa lainnya. Masing-masing Linda Sembiring dan Hamidah. Dalam dakwaan jaksa, ketiganya didakwa dengan pasal berlapis. Fahmi membacakan dakwaan pertama untuk Terdakwa Burhan.
Burhan didakwa Pasal 188 Subsider Pasal 359 KUHP dan atau Pasal 74 huruf d Juncto Pasal 18 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan atau Pasal 76i Juncto Pasal 88 Undang-Undang Nomor 35/2024 tentang perubahan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Menurut Fahmi, Burhan selaku Menejer Operasional tidak menjalankan standart operasional prosedur dalam menjalankan perakitan korek gas.
“Kemudian juga tidak menyediakan jalur evakuasi, tidak membuat penanggulangan kebakaran. Pintu depan rumah (pabrik rumahan korek gas) selalu ditutup dan digembok,” jelas Fahmi.
Diduga langkah yang dilakukan Burhan untuk menutupi usaha PT Kiat Unggul yang ilegal lantaran tidak mengantongi izin. Dalam dakwaannya disebutkan, dari 30 nyawa yang tewas terpanggang, 5 di antaranya merupakan anak daripara pekerja.
“Terdakwa (Burhan) mengetahui kalau usaha perakitan korek gas tidak ada izin apapun,” sambung dia.
Usai dakwaan Burhan, Linda Sembiring membacakan dakwaan Terdakwa Lismawarni. Dalam dakwaannya, Lismawarni menyewa sebuah rumah yang sejatinya dijadikan untuk hunian disulapnya menjadi pabrik rumahan perakitan korek gas. Tugas lain Lismawarni, mencari pekerja untuk dijadikan karyawan tanpa Surat Keterangan yang diterbitkan PT Kiat Unggul. Selain mencari pekerja, Lismawarni juga yang mengajari pekerja merakit korek gas.
Dalam dakwaan Linda, Lismawarni juga merekrut pekerja yang masih di bawah umur sebanyak 7 orang. Selain itu, korban dalam bekerja juga tidak diberikan baju ataupun seragam pelindung diri dari bahan berbahaya.
Dakwaan Lismawarni hampir serupa dengan dengan Burhan. Terakhir Bos atau Dirut PT Kiat Unggul, Indramawan yang dibacakan dakwaannya oleh Hamidah.
Dalam dakwaannya, Bos PT Kiat Unggul ini tidak memenuhi tanggung jawabnya kepada para bawahan sehingga dianggap lalai. Bahkan, kata jaksa, Indramawan juga tidak pernah melihat atau mengecek langsung mengambil tanggung jawabnya.
“Selaku Dirut, terdakwa (Indramawan) tidak memperhatikan keselamatan kerja. Terdakwa juga tidak mengetahui siapa saja karyawannya selama 8 tahun pabrik rumahan ini beroperasi,” beber jaksa.
Saat akan makan siang, sidang sempat diskors untuk istirahat. Sidang kemudian dilanjutkan dengan mendengar keterangan saksi dari keluarga korban dan pekerja yang selamat.
Ayu Anita Sari, korban selamat yang dihadirkan di persidangan membeber oknum pemerintahan yang mengetahui usaha ilegal tersebut. Menurut Ayu, Kades Sambirejo dan Camat Binjai, Kabupaten Langkat tahu soal usaha itu.
“Izinnya enggak pernah ada diperiksa. Lurah (Kades) dan Camat mengetahui (adanya perakitan korek gas),” beber Ayu.
Ayu mengetahui kobaran api langsung membesar lantaran sedang di dalam pabrik rumahan. Dia langsung lari meninggalkan lokasi kejadian melalui pintu belakang.
“Ada alat memadamkan api (racun api), saya enggak sempat gunakan,” kata dia.
Api berasal dari salah satu korek gas yang bocor dan menyambar sijago merah. Menurut Ayu, Mandor Lia yang menjadi korban tewas mengajari cara perakitan sebelum resmi bekerja.
Soal korban anak-anak, kata Ayu, mereka merupakan anak para pekerja yang setiap hari ikut orangtuanya bekerja. Seharusnya, anak-anak memang dilarang masuk ke dalam area pabrik.
Ayu menambahkan, ada beberapa kali kejadian terbakar saat perakitan. Menurut Ayu, PT Kiat Unggul tidak ada memberi pelatihan secara khusus dalam perakitan korek gas maupun upaya memadamkan sijago merah jika sewaktu-waktu meledak.
Sebelum Ayu, majelis mencecar pertanyaan kepada Sri Maya selaku pemilik rumah yang dijadikan pabrik rumahan. Menurut Sri, rumah hunian ini disewa Lismawarni sejak 2011 laku.
“Saya tinggal di belakangnya sekitar 100 meter. Harga sewa diawal Rp4 juta, terus berjalan menjadi Rp5 juta setahunnya,” ujar Sri. Dia tahu, rumah orangtuanya ini dijadikan pabrik rumahan perakitan korek gas. Soalnya, dia pernah masuk ke dalam dan sering melihat korek yang sudah terisi gas serta tinggal dirakit menjadi sebuah korek gas. “Tidak ada (aparat pemerintah) datang jumpai saya,” tandasnya.
Dalam perakitan korek gas ini, pekerja membeberkan bahwa sistem yang dibuat mirip budak. Mereka digaji rendah tanpa jaminan keselamatan kerja.(ted/ala)