MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ibu tersangka pelaku penyodomi 8 anak SMP, Jumini mempersoalkan masalah hasil visum dari 6 anak yang melapor ke polisi. Menurut Jumini hasil visum para korban tidak jelas dan hanya satu anak saja yang positif mengalami luka pada dubur.
“Nggak jelas visumnya itu! Mana mungkin kemaluan anakku sebesar itu? Katanya ’kan lukanya lebar dan duburnya lecet. Tapi kemaluan anakku ’kan kecil, mana mungkin bisa melakuin sampai gitu?” ungkap Jumini.
Selain hasil visum, Jumini juga menjelaskan kalau warga sekitar iri melihat usaha kolam lele mereka yang mulai ramai dikunjungi pelanggan.
“Orang itu ngada-ngada. Iri lihat anakku yang pintar dan iri lihat kami punya kolam,” ujar Jumini.
Menurutnya, anaknya terus menangis di penjara. “Anakku itu lihat tahanan di penjara terus ketakutan dan selalu menangis,” ujar Jumini.
AG sudah dipindah ke tahanan Mapolresta Medan dan ditangani Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Hal itu semakin membuat AG ketakutan.
“Anakku itu kan masih anak-anak kali. Kok diperlakukan kayak teroris,” ujar Jumini.
Dia sangat khawatir dengan kondisi jiwa anaknya dan berharap kepada kepolisian agar tidak terlalu mengintervensi AP (13).
“Saya hanya mohon jangan dikasari anak saya,” ujarnya sambil menangis.
Kanit Reskrim Polsek Delitua, Iptu Martualesi Sitepu saat dikonfirmasi mengatakan, kalau laporan korban dan hasil visum sudah diserahkan ke Unit PPA Polresta Medan. “Polres yang menanganinya,” ungkap Martualesi.
Hingga kemarin penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Satuan Reskrim Polresta Medan masih tutup mulut mengenai kasus pelajar kelas I SMP yang menyodomi 8 bocah berusia di bawah 10 tahun itu.
Kanit PPA Polresta Medan, AKP Uli Lubis yang hendak dikonfirmasi Sumut Pos tak kunjung keluar dari ruang kerjanya, Rabu (21/5) siang.
Ketika dihubungi berkali-kali via seluler wanita berpangkat tiga balok emas ini seakan tak memperdulikannya. Bahkan, pesan singkat yang dilayangkan tak kunjung dibalas.
Kasat Reskrim Polresta Medan, Kompol Jean Calvijn Simanjuntak mengatakan, masih mendalami laporan dugaan sodomi yang dilakukan oleh AP (13), pelajar kelas I SMP terhadap korbannya masing-masing RA (6), TI (5), AL (8), BI (7), DI (7) dan SU (7), warga Jl. Besar Delitua, Gang Perwira.
“Laporannya sudah kita terima dan dugaan sementara memang korban disodomi, namun hasil visumnya belum kita terima sepenuhnya, karena semalam sebatas memeriksa keterangan dari para pelapor,”terangnya.
Mengenai positifnya, polisi belum bisa memastikannya karena masih pendalaman dan penyelidikan.
“Mungkin besok (hari ini) hasilnya, karena mulai semalam dan hari ini (kemarin), kami masih mendalaminya, apalagi ini kasus anak di bawah umur. Harus benar-benar diteliti. Tahap awal. Pelapor dan terlapor sudah kita panggil dan kita mintai keterangannya secara terpisah. Namun, hasil penuhnya belum dilaporkan penyidik, mungkin masih ada yang perlu dilengkapi, intinya, kasus ini tetap kami dalami dan secepatnya kami beritahukan hasilnya,” ucapnya.
BERMULA DARI MENGAKSES SITUS PORNO
Komisioner KPAID Sumut, Elvi Hadriany yang ditemui kru koran ini dikantornya mengungkapkan, sejauh ini perkembangan kasus tersebut masih sebatas pemeriksaan. Hal itu dikatakan berdasarkan pemantauannya menyoroti kasus ini dan koordinasi dari AKP Uli Lubis.
“Pelaku (AP) masih tertutup. Dia terlihat masih syok. Jadi, belum bisa digali keterangannya,” kata Elvi.
Ia menjelaskan, menurut pengakuan AP, awal mulanya pelaku melakukan perbuatan asusila itu dari mengakses jejaring sosial facebook di warnet dekat rumahnya pada akhir Januari lalu. Saat itu, AN melihat gambar kemaluan laki-laki. “Lalu, pelaku meng-klik gambar tersebut dan kemudian tampil situs porno sehingga akhirnya ditontonlah situs tersebut,” jelas Elvi.
Setelah menonton itu, lanjut Elvi, rasa ingin tahu dan mencoba dari pelaku begitu kuat, sehingga ia mempraktikan apa yang ditontonnya itu kepada para korbannya.
“Pelaku penasaran seperti apa rasannya. Lalu dia mempraktikan kepada anak-anak yang tak tetangganya sendiri. Rata-rata pelaku melakukan perbuatannya itu di siang hari selepas pulang sekolah. Setelah membersihkan rumah dan kebetulan kedua orangtuanya tidak berada di rumah, pelaku mengajak para korban untuk berenang di kolam ikan gurame (bukan ikan lele). Kode pelaku ketika hendak berbuat yaitu ‘heeh yok’,” bebernya.
Elvi melanjutkan, korban yang pertama adalah AL dan DM. Eksekusi dilakukan pada awal Februari lalu. Selanjutnya, beberapa hari kemudian para korban lainnya, yaitu BI dan SH. Terakhir dilakukannya kepada RA dan TI pada awal Maret lalu.
Dari pengakuan pelaku, korban tidak hanya 6 anak tetapi 8 anak. Hanya saja dua orang lagi enggan melaporkan. “Akan tetapi, kita belum bisa berbicara banyak karena pelaku masih tertutup dan kondisinya juga syok. Kita juga tidak bisa memaksakan, karena pelaku masih berusia di bawah umur,” sebutnya.
Menurut Elvi, sebenarnya pelaku adalah korban dari kelalaian pengawasan orangtua yang tidak memantau tingkah laku anaknya sendiri. “Bapak pelaku adalah seorang sopir, sedangkan ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga di rumah warga. Jadi, sibuknya orang sehingga lupa mengawasi tingkah laku anak memungkinan terjadi penyimpangan prilaku anak,” katanya.
Ia menyebut, pelaku merupakan anak paling besar dari 3 bersaudara. Dua adiknya masih kecil, yang pertama berstatus sekolah dasar dan kedua berusia 4 tahun.
Dengan demikian, masih kata Elvi, AP tidak bisa juga disalahkan semata-mata. Karena, lemahnya pengawasan dari orang tua memungkinkan terjadinya itu. “Jadi, pengawasan kedua orangtua harus ekstra ketat. Misalnya, ketika menonton televisi harus diawasi juga. Ketika hendak ke warnet perlu juga dipantau. Satu hal lagi, orangtua harus peka terhadap emosi atau tingkah laku anaknya yang tak seperti biasanya,” tuturnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, di sekolah, anak-anak sekarang seharusnya bisa diperkenalkan mengenai anggota tubuhnya. Tetapi, tidak langsung ke bagian sensitif. Bisa dimulai dari organ tubuh yang mudah diingat kemudian berlanjut memperkenalkan bagian-bagian sensitif. “Bagian-bagian tubuh sensitif itu harus diterapkan dalam pemikiran anak, bahwasanya tidak boleh disentuh. Hanya dirinya sendiri yang boleh menyentuh,” jelasnya.
Karena itu, Elvi menambahkan, pihaknya berupaya akan mendampingi psikologis terhadap para korban untuk mencegah supaya jangan sampai korban menjadi pelaku. Karena, kebanyakan yang terjadi para pelaku pencabulan pernah menjadi korban.
“Selain itu, kita akan menjalin kerja sama dengan psikolog dari beberapa universitas untuk melakukan pembekalan terhadap calon-calon guru guna mencegah terjadinya seksual terhadap anak,” imbuhnya. (mri/gib/mag-8/smg)