Namun, sang istri berhasil kabur setelah mengelabui pelaku. “Istrinya menyampaikan bahwa “sebelum saya kamu bunuh, saya minta diambilkan minum air putih”. Lalu diambilkan (oleh Petrus) dan dia (Windri) lari keluar sehingga dibantu oleh masyarakat,” katanya.
Saat ini, kasus tersebut sedang ditangani Polres Melawi. Haiti memastikan bahwa tes kejiwaan sudah dilakukan kepada anggota Polri termasuk Petrus. “Selama ini tes kejiwaan sudah dilakukan, tapi dia ini kesurupan,” kata Haiti. Namun, ia tak menjelaskan berapa tahun sekali tes kejiwaan terhadap anggota Polri dilakukan. “Dalam rekrutmen sudah ada upaya tes itu,” timpal Haiti.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Hamidah Abdurrahman mengaku prihatin dengan kasus ini. Dia mengatakan, Petrus harus bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya. Namun, kalau benar ada gangguan jiwa maka harus dirawat dulu di rumah sakit jiwa. Karenanya, dibutuhkan pemeriksaan psikiater terhadap kondisi kejiwaan pelaku.
“Kalau sehat harus proses hukum pidana,” tegasnya kepada Pontianak Post (grup Sumut Pos), Jumat (26/2) malam.
Dia mengatakan, kalau memang benar Petrus memiliki riwayat sakit jiwa, harus dikaji apakah pada saat diterima menjadi anggota Polri hal tersebut sudah terdeteksi.
“Kalau sudah terdeteksi, kenapa bisa lolos?” kata Hamidah.
Karenanya, Hamidah mengatakan, Kompolnas akan melakukan klarifikasi kepada Kapolda Kalbar terlebih dahulu untuk mengetahui lebih jelas persoalan tersebut. “Kemungkinannya bisa saja kami turun (ke Kalbar), namun kami akan coba hubungi Kapolda lebih dulu,” ujar Hamidah.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengutuk kasus ini. Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh menegaskan bahwa ini merupakan sebuah tindakan biadab yang menistakan kehormatan kemanusiaan. Karenanya, ia menegaskan, pelaku harus dihukum mati. “Pelaku yang seharusnya bertanggungjawab dalam pengasuhan dan perlindungan anak, justru menjadi pelaku pembunuhan dengan sangat kejam,” kata Asrorun di Jakarta, Jumat (26/2).
KPAI meminta Polri melakukan langkah-langkah internal untuk mendalami faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan biadab ini. “Termasuk evaluasi untuk lebih selektif dalam melakukan penjaringan anggota,” pintanya.
Niam juga mengimbau masyarakat dan media tidak menyebarkan foto-foto korban mutilasi tersebut termasuk melalui media sosial, karena bertentangan dengan Undang-undang dan bisa dikenai sanksi. (ody/jpnn/adz)